Oleh Gunoto Saparie
Ketua Satupena Jawa Tengah
Apa kabar penataan ruang di Indonesia? Benarkah penataan ruang di republik ini belum dilakukan secara utuh dan menyeluruh? Benarkah kita suka kurang disiplin dan mengabaikan tata ruang?
Pertanyaan-pertanyaan di atas tentu saja membuat kita tertegun. Betapa tidak? Kita sering menemukan bagaimana tata ruang yang ada tidak seperti yang diharapkan, sehingga menimbulkan berbagai dampak negatif, terutama bagi lingkungan hidup. Bahkan konon di negeri pengelolaan tata ruangnya tidak pernah komplet. Padahal, seharusnya, prinsip kerja dalam melakukan penataan ruang adalah dengan melakukan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, pemantauan, dan aksi. Akan tetapi, sering kita tidak melaksanakan secara lengkap prinsip-prinsip tersebut sehingga hasilnya tidak maksimal.
Tidak mengherankan ketika kita menemukan bagaimana pembangunan bangunan komersial ternyata tidak sesuai tata ruang. Ia dibangun tidak pada tempatnya, seperti di kawasan hutan lindung maupun dekat pemukiman warga. Ada pula pembangunan perkebunan sawit di lahan gambut. Akibatnya, kerusakan ekosistem dan lingkungan pun terjadi. Oleh karena itu, perlu segera dilakukan penertiban pengelolaan tata ruang agar dalam pelaksanaannya bisa berjalan dengan baik dan sesuai dengan tata ruang yang telah dibuat.
Memang, banyak contoh kasus bagaimana rencana tata ruang yang telah dibuat dan bahkan telah mendapat legalitas ternyata menjadi sia-sia ketika pelaksanaannya di lapangan masih menyimpang. Rencana tata ruang sering tidak menjadi acuan, bahkan kerap diabaikan, dalam pelaksanaan pembangunan. Pembangunan yang dilaksanakan tidak sesuai dengan pedoman yang terkandung di dalam rencana tata ruang. Rencana tata ruang pun kehilangan kewibawaannya. Padahal rencana tata ruang itu, seharusnya dapat dirasakan keberadaan dan manfaatnya oleh masyarakat. Tanpa hal itu masyarakat tentu tidak merasa memiliki dan merasa tidak perlu menaati rencana tata ruang.
Padahal pembuatan rencana tata ruang sesungguhnya telah melalui proses cukup panjang. Ada sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi sejak proses perencanaan, pelaksanaan, monitoring (pemantauan), sampai kepada evaluasinya, sehingga rencana tata ruang dapat dipertanggungjawabkan, baik secara legal maupun teknis.
Dalam proses penyusunan rencana tata ruang, pemerintah daerah sebagai pemrakarsa harus melibatkan peran masyarakat atau para pemangku kepentingan. Jangan sampai terkesan rencana tata ruang dibuat hanya atas keinginan pemerintah daerah semata, sehingga menjadi kurang aspiratif. Penyerapan aspirasi masyarakat harus dilakukan secara sungguh-sungguh, bukan hanya sekadar formalitas semata sehingga hasilnya tidak maksimal.
Di samping itu, dibutuhkan waktu yang cukup dalam penyusunan rencana tata ruang, sehingga diperoleh hasil yang berkualitas. Kita tidak perlu tergesa-gesa dalam penyusunan rencana tata ruang. Ketergesaan membuat kita tidak dapat “mengcover” seluruh data/informasi yang diperlukan dalam merumuskan strategi pembangunan yang berdimensi jangka panjang.
Padahal diperlukan proses penganalisisan segala permasalahan yang ada, di mana tentu sangat kompleks, karena rencana tata ruang bersifat multisektor dan multidisiplin ilmu, di mana perlu dikaji dan dirumuskan secara mendalam. Penyusunan rencana tata ruang membutuhkan data-data yang lebih lengkap dan bersifat time series, baik kuantitatif maupun kualitatif.
Harus diakui, di sejumlah pemerintah daerah memang ada keterbatasan sumber daya manusia yang memiliki kemampuan sebagai perencana tata ruang. Celakanya, kalaupun ada, aparat yang mempunyai keahlian di bidang perencanaan tata ruang ini sering ditempatkan pada satuan kerja yang tidak ada kaitan dengan profesinya. Akibat kelangkaan aparat yang memiliki kompetensi di bidang penyusunan rencana tata ruang ini, membuat pemerintah daerah sering menunjuk pihak ketiga (konsultan) di bidang perencanaan tata ruang.
Tidak Berwibawa
Mengapa rencana tata ruang sebagai acuan pelaksanaan pembangunan sering tidak berwibawa? Mengapa rencana tata ruang tidak mempunyai kekuatan hukum untuk mengikat kepada seluruh pelaksana pembangunan, baik pemerintah maupun masyarakat? Mengapa pelaksanaan rencana tata ruang tidak dapat dilakukan secara konsisten, tegas, dan tanpa pandang bulu? Mengapa pemerintah daerah selama ini terkesan masih setengah-setengah dalam penegakan hukum bagi pelanggar tata ruang? Mengapa rencana tata ruang hanya berhenti sebagai rencana tata ruang belaka, dokumen yang tidak berarti sama sekali, sia-sia, bagaikan macan ompong?
Rencana tata ruang dibikin tidak semata-mata hanya untuk menarik investasi yang sebesar-besarnya. Ia juga merupakan unsur pengendalian dalam rangka menyelamatkan lingkungan fisik, sosial, dan budaya masyarakat. Dalam kaitan ini, sekali lagi, konsistensi aparat pemerintah daerah diperlukan dalam pelaksanaan rencana tata ruang.
Rencana tata ruang bukan hanya diberlakukan bagi masyarakat dan dunia usaha yang akan membangun suatu kegiatan semata. Ia diperuntukkan bagi seluruh pelaku pembangunan, baik masyarakat, dunia usaha maupun pemerintah daerah sendiri. Oleh karena itu, kita menjadi geleng-geleng kepala ketika menemukan program-program pembangunan tidak mengacu kepada rencana tata ruang.
Harus diakui, sebagian besar masyarakat kita kurang informasi mengenai rencana tata ruang di daerahnya. Oleh karena itu, ketika terjadi inkonsistensi pelaksanaan rencana tata ruang, masyarakat tidak tahu. Dalam hal ini, agar produk rencana tata ruang lebih memasyarakat, diperlukan adanya sosialisasi secara terus-menerus. Kesadaran masyarakat mengenai rencana tata ruang harus lebih ditingkatkan.
Kesadaran akan pentingnya peran perencanaan tata ruang untuk pengurangan risiko bencana termasuk cukup lambat, tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Amerika Serikat. Pendekatan yang lebih umum dipakai adalah mitigasi fisik dan persiapan respon/untuk tanggap darurat. Mitigasi fisik meliputi pembuatan dam, penguatan tanggul, serta pemasangan instalasi perangkat peringatan dini.
Hyogo Framework for Action (HFA; Kerangka Aksi Hyogo), yang diputuskan pada Konferensi Pengurangan Risiko Bencana Dunia di Kobe pada tahun 2005, mengamanatkan bahwa perencanaan guna lahan (land use planning) atau perencanaan tata ruang sebagai salah satu alat untuk pengurangan risiko bencana. Peran perencanaan tata ruang dalam pengurangan risiko bencana telah banyak diusulkan dalam praktik perencanaan, baik di negara-negara maju maupun negara-negara berkembang.
Mengacu pada pendapat Burby dan French (1981), peran perencanaan tata ruang adalah untuk pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang rawan terhadap bahaya yang terkait dengan alam. Hal ini termasuk dengan pembatasan pembangunan di daerah rawan banjir dan pembuatan kode bangunan (building code) untuk daerah-daerah yang rawan terhadap bencana gempa bumi dan tsunami.
Dampak dari pembatasan pembangunan di daerah-daerah yang berbahaya akan meminimalisasi potensi paparan, pengurangan terhadap kerugian jiwa, serta kerusakan harta benda di daerah-daerah berbahaya. Pembangunan yang tidak mengindahkan aspek kebencanaan akan dapat berakibat pada besarnya risiko bencana yang timbul, seperti pembangunan permukiman dan lokasi pariwisata di sepanjang pantai berpotensi terkena dampak tsunami. Selain bencana-bencana yang berskala sangat besar, bencana yang terjadi tahunan, seperti banjir dan tanah longsor juga mengindikasikan alokasi tata ruang yang tidak tepat.
Perencanaan tata ruang kota yang tidak jelas dan inkonsistensi pembuat kebijakan dalam melaksanakan perencanaan pembangunan masih menjadi persoalan serius hari-hari ini. Memang, setiap pemerintah daerah telah membuat berbagai peraturan tertulis maupun imbauan kepada masyarakat tentang aturan-aturan mengenai lingkungan dalam hidup bermasyarakat. Salah satunya adalah tentang tata ruang wilayah perkotaan. Akan tetapi, kebijakan atau kesepakatan bersama tidak akan berguna jika tidak diimbangi dengan konsistensi pelaksanaan secara berkelanjutan. Bahkan kepala daerah masih banyak yang belum mengenal konsep pembangunan perkotaan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Jatengdaily.com-st