Oleh: Sahara Titania
Saya terlahir dari keluarga yang sangat mendukung pendidikan. Ibu saya selalu mempermasalahkan sebuah chiki seharga 15.000 akan tetapi sangat royal dengan buku yang hampir menghabiskan 1 juta rupiah. Betapa tidak bersyukurnya saya karena masih banyak hal yang saya keluhkan selama masa-masa sekolah. Salah satunya sikap malas yang mengganggu saya untuk berkembang. Apalagi di zaman digital saat ini. Terkadang menghabiskan waktu berjam-jam hanya melihat konten-konten yang kurang bermanfaat.
Saya sadar berbagai macam sosial media telah memanjakan. Namun di sosial media juga saya menemukan orang-orang yang tidak seberuntung saya. Disaat saya digampangkan dengan kendaraan untuk bersekolah, ada orang yang harus berangkat dari subuh agar bisa sampai ke sekolah tepat waktu. Ada juga yang harus melewati sungai dengan jembatan reyot agar bisa sampai ke sekolah.
Di saat saya dimudahkan dengan teknologi dan internet setiap bulan yang ibu belikan, ada seorang guru yang rela datang kerumah muridnya untuk mengajar karena sang murid tidak memiliki smartphone dan internet. Di saat saya pulang sekolah hanya memikirkan tugas sekolah menumpuk, ada yang memikirkan “bagaimana saya menghasilkan uang sambil tetap sekolah” demi membiayai ibunya yang tidak bisa bekerja karena sakit dan keluarganya agar bisa makan sesuap nasi. Dan di saat saya sangat mampu bersekolah dengan biaya yang tidak murah, ada yang terpaksa melepaskan mimpinya karena tidak memiliki uang yang cukup.
Inspirasi Sebuah Novel
Seperti yang dikisahkan sebuah novel Laskar Pelangi. Novel yang menjadi favorit saya sampai sekarang. Sebuah cerita tentang 10 anak madrasah yang berjuang dengan cita-cita mereka. Ada satu tokoh yang cukup menarik perhatian saya saat itu. “Lintang” anak cerdas dengan 2 orang adik dan ayah seorang pelaut. Buaya yang menghalangi jalannya saat akan bersepeda untuk mengikuti sebuah lomba cerdas cermat tingkat SD.
Tokoh ini memiliki cerita yang cukup membuat hati saya tersayat. Ayahnya meninggal tertelan ombak ketika melaut, bersamaan dengan Lintang menjadi juara lomba cerdas cermat. Sebuah piagam yang ingin dia banggakan kepada ayahnya pupus. Dan itu menjadi kisah akhir perjalanan Lintang menuntut ilmu. Lintang yang masih berumur 12 tahun memilih tidak melanjutkan sekolah dan menjadi tulang punggung keluarga demi menghidupi kedua adiknya.
Mengingat hal itu, ternyata masih ada Lintang di negeri ini. Di usia 78 tahun, Indonesia belum mampu mengentaskan seluruh anak Indonesia untuk mengenyam pendidikan. Data BPS menggambarkan tahun 2022 sebanyak 0,71% anak tingkat SD tidak bersekolah, 6,94% anak tingkat SMP tidak bersekolah, dan 22,52% anak tingkat SMA tidak bersekolah. Seharusnya seluruh anak Indonesia berhak mendapat pendidikan. Anak-anak berhak mendapat fasilitas yang bagus, infrastruktur yang memadai untuk menuntut ilmu.
Harga Sebuah Pendidikan
Namun bukan hanya infrastruktur saja yang perlu kita lihat, melainkan juga minat anak terhadap sekolah. Memiliki teman yang beraneka ragam kondisi tentu menyadarkan saya, bahwa ada seseorang yang lebih memilih menghasilkan uang dibandingkan dengan bersekolah tinggi hingga jenjang diploma/sarjana.
Dulu saya bertanya-tanya, bukankah sekolah negeri sekarang sudah gratis? Bukankah bantuan untuk anak tidak mampu agar tetap bisa bersekolah sudah banyak? Tetapi ternyata pemikiran mereka tidak sesederhana pemikiran saya. Memang benar sekarang sekolah negeri gratis dan bantuan untuk pendidikan juga banyak. Tapi bagaimana dengan mereka yang tidak hanya memikirkan sekolah? Tetapi juga memikirkan ekonomi keluarga yang tidak bisa dikatakan cukup.
Jadi mereka memilih jalan untuk bekerja dan menghasilkan uang dibandingkan bersekolah gratis. Hal itu tentu juga dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang mereka tempati. Dimana orang tuanya lebih mendukung anaknya untuk menghasilkan uang dibandingkan bersekolah. Belum lagi permasalahan infrastruktur sekolah yang belum merata seperti di wilayah terpencil terutama daerah Indonesia Timur. Tentu menyulitkan bagi mereka mengenyam pendidikan dengan infrastruktur yang rendah.
Masih banyak PR untuk Indonesiaku yang sudah memasuki usia 78 tahun. Terutama anak putus sekolah. Tidak hanya sekedar memberikan pendidikan gratis dan fasilitas infrastruktur yang memadai. Akan tetapi kesadaran anak dan orang tua tentang pendidikan tidak kalah penting. Karena dari pendidikan kita tidak hanya diajarkan tentang ilmu akan tetapi bagaimana caranya menjadi manusia berkarakter.
Sahara Titania, Mahasiswa Universitas Negeri Yogyakarta. Jatengdaily.com-St