JAKARTA (Jatengdaily.com)- Masalah pakaian bekas impor kembali mengemuka dalam beberapa waktu terakhir. Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan mengecam belanja pakaian bekas impor atau yang sering disebut thrifting itu karena mengganggu industri tekstil dalam negeri.
Presiden Jokowi pun memerintahkan jajarannya untuk segera mencari sebab dan solusi mengatasi permasalahan maraknya importasi pakaian bekas. Terkait hal ini tersebut, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai angkat bicara.
Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (Bea Cukai) Nirwala Dwi Heryanto mengatakan bahwa pada dasarnya setiap barang yang diimpor ke Indonesia harus dalam keadaan baru, kecuali untuk barang tertentu yang ditetapkan lain dan dikecualikan oleh aturan.
“Aturan mengenai larangan impor pakaian bekas illegal ini diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 51 Tahun 2015 dan juga Permendag Nomor 18 tahun 2021 yang telah diubah menjadi Permendag Nomor 40 tahun 2022,” kata Nirwala di Jakarta, dilansir dari Infopublik, Jumat (17/3/2023).
Nirwala memaparkan, larangan importasi pakaian bekas illegal tersebut merupakan kebijakan pemerintah dalam melindungi masyarakat dari dampak negatif pakaian bekas terhadap kesehatan dan juga untuk melindungi industri tekstil dalam negeri serta UMKM yang sangat dirugikan akibat importasi tersebut.
Hal ini sesuai dengan komitmen pemerintah dalam mendorong konsumsi produk lokal melalui Gerakan Nasional Bangga Buatan Indonesia (BBI).
“Bea Cukai senantiasa menjalankan tugasnya sebagai community protector dalam menjaga dan mengawasi perbatasan Indonesia dari masuknya barang-barang yang dilarang dan dapat membahayakan masyarakat, termasuk pakaian bekas illegal. Dalam hal ini, Bea Cukai berperan sebagai instansi yang melaksanakan law enforcement,” ujar Nirwala.
Ditambahkannya, sepanjang tahun 2022 Bea Cukai telah melakukan penindakan terhadap impor pakaian bekas illegal melalui laut dan darat sebanyak 234 kali dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp24,21 miliar.
Nilai tersebut mengalami peningkatan dari beberapa tahun sebelumnya, yakni 165 kali penindakan dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp17,42 milliar di tahun 2021 dan 169 kali penindakan dengan perkiraan nilai barang sebesar Rp10,37 milliar di tahun 2020.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan tersebut, sekaligus mendukung penegakan hukum pelanggaran laut, Bea Cukai juga menjalin sinergi dan koordinasi dengan aparat penegak hukum lain yang terkait, seperi Polairud, KPLP, Bakamla, TNI AL, dll.
Secara umum dapat disampaikan bahwa titik rawan pemasukan pakaian bekas di Indonesia serta modus yang kerap digunakan antara lain sebagai berikut, Pesisir Timur Sumatera, Batam, Kepulauan Riau via Pelabuhan tidak resmi dengan modus disembunyikan pada barang lain (undeclare).
Kemudian, Perbatasan Kalimantan, utamanya di Kalimantan Barat seperti Jagoi Babang, Sintete, Entikong dengan modus menyembunyikan pakaian bekas pada barang Pelintas batas, barang bawaan penumpang, atau menggunakan jalur-jalur kecil melewati hutan yang sulit terdeteksi oleh petugas.
Berdasarkan data Bea Cukai, pada tahun 2022 terjadi kenaikan volume impor pakaian bekas (dengan HS Code 63090000) sebesar 227,75% menjadi 26,22 ton dibanding tahun sebelumnya yang hanya 8 ton, dengan nilai devisa impor sejumlah USD272.146 atau setara Rp4,21 miliar.
Namun, perlu dijelaskan bahwa data tersebut merupakan data importasi pakaian bekas yang merupakan personal effect (barang pindahan), dan juga diplomatic cargo. Diluar hal ini, pemerintah melarang importasi pakaian bekas sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan yang telah disebutkan sebelumnya.
Bea Cukai menyampaikan terima kasih atas perhatian dan peran aktif masyarakat yang telah banyak membantu dalam upaya menjaga dan mengawasi perbatasan Indonesia dari importasi pakaian bekas illegal. Selain itu, Bea Cukai juga berterima kasih kepada masyarakat yang senantiasa mendukung dan dengan bangga menggunakan produk dalam negeri buatan anak bangsa.
“Kita semua perlu memahami bahwa permasalahan importasi pakaian bekas illegal ini bukan hanya menjadi tanggung jawab satu instansi pemerintah tertentu saja, diperlukan sinergi dan koordinasi antar berbagai instansi yang terkait untuk dapat bersama-sama menyelesaikan permasalahan ini dari hulu ke hilir. Mulai dari aspek regulasi dan sosialisasi di Kementerian Perdagangan, pengawasan di daerah perbatasan oleh Bea Cukai, Polairud, dan TNI AL, serta pemeriksaan atas pakaian impor bekas yang dapat dilakukan sampai ke tingkat pengecer atau retailer oleh aparat penegak hukum terkait,” ujar Nirwala. she