Oleh : Pudjo Rahayu Risan
Luar biasa. Gibran Rakabuming Raka, Mas Walikota Solo, dengan cepat menyelesaikan tunggakan utang tiga mandor pembangunan Masjid Raya Sheikh Zayed Kota Solo, Sugiyantoro (Sgy), Sunandar (Snd), dan Guntur Mustofa (GM) akhirnya melunasi utang mereka ke pemilik warung Dian Ekasari. Diketahui, mandor tersebut memiliki utang terhadap Dian Ekasari total sebesar Rp 145 juta. Namun setelah pembangunan Masjid Raya Sheikh Zayed Solo rampung, mereka pergi begitu saja.
“Utang selama tiga tahun, selesai dalam satu malam”, komentar pemilik warung Dian Ekasari, dengan wajah berbinar kepada media (23/03/2023). “Prosesnya Sabtu malam (18/03/2023) sudah terlunasi, dari pihak Waskita telah memfasilitasi ketiga mandor untuk bertemu kami disuatu tempat dan disitu kita terjadi pelunasan Rp 145 juta sudah lunas semua”, ditegaskan oleh pemilik warung.
Langkah dan kebijakan Gibran Rakabuming Raka (lahir 1 Oktober 1987) adalah seorang pengusaha dan politisi Indonesia yang menjabat sebagai Wali Kota Surakarta yang dilantik pada 26 Februari 2021, sampai saat ini prestasinya relatif memuaskan. Hampir semua ide dan gagasannya bisa terlaksana.
Secara kasat mata pembangunan baik fisik maupun nonfisik perkembangannya benar-benar signifikan. Dana yang diperlukan lebih banyak dari luar APBD Solo. Relasi posisi Gibran di samping Walikota sekaligus putra Presiden, sedikit banyak mempengaruhi guyuran dari berbagai Organisasi lewat Corporate Social Responsibility (CSR). Bahkan para pengusaha kelas kakap di Indonesia seperti berlomba berinvestasi di Solo untuk berbagai varian.
Berlomba-lomba pejabat tinggi di samping para pengusaha, wira-wiri ke Solo. TNI Polri yang bertugas di Solo juga kompak memback-up total semua langkah Gibran, termasuk secara pisik figur putra Jokowi terjaga dengan baik. Dua Kraton, baik Kasunanan maupun Mangkunegaran di era Gibran bisa dibanggakan. Tempat-tempat baik itu destinasi maupun yang mengandung historical kota Bengawan, dengan tangan dingin Gibran semua menjadi moncer.
Ternyata nama Gibran Rakabuming Raka berarti kakak laki-laki yang pandai namun tetap rendah hati. Sangat indah bukan, harapan Parents-Orang Tua. Seperti yang sudah disampaikan, nama mengandung doa dari orangtua. Berkat doa tersebut juga, ia bisa terpilih menjadi orang nomor satu di Solo.
Dampak Positif Politik Dinasti ?
Mari kita tengok ke belakang. Perjalanan Gibran menuju ke kursi Walikota Solo, cukup berliku. Betapa tidak. Gibran, sempat menyedot perhatian menjadi topik pembicaraan setelah secara resmi mendapat rekomendasi dari DPP PDIP untuk maju sebagai bakal calon Walikota Surakarta berpasangan dengan Teguh Prakosa sebagai Wakil Walikota Surakarta.
Kenapa menarik perhatian? Pertama, berhasil menyisihkan Achmad Purnomo yang waktu itu masih menjabat Wakil Walikota Surakarta, dimana DPC PDIP Surakarta mencalonkan berdampingan dengan Teguh Prakosa sebagai wakilnya. Kenyataannya, akhirnya rekomendasi jatuh ke Gibran – Teguh.
Kedua, hangat dibicarakan karena kental sekali dengan istilah politik dinasti. Publik sudah paham betul bahwa Gibran putra sulung Presiden Jokowi. Politik dinasti menimbulkan polemik pro dan kontra, setuju dan tidak setuju. Kelompok yang pro atau setuju dengan politik dinasti, bahwa pelarangan terhadap seseorang yang mempunyai hak untuk dipilih akan mencalonkan diri sebagai kepala daerah kebetulan merupakan bagian dari dinasti politik tertentu, masuk kategori melanggar hak politik seseorang sehingga bertentangan dengan asas demokrasi.
Pandangan ini diperkuat dengan keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) menilai pelarangan dimaksud bertentangan dengan konstitusi sehingga politik dinasti dihalalkan melalu putusan MK Nomor 33/PUU-XIII/2015. Larangan keluarga tertentu untuk mencalonkan diri bertentangan dengan Pasal 28J Ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Secara yuridis formal tidak ada regulasi yang melarang seseorang untuk menggunakan hak politiknya dikaitkan dengan keluarga atau dinasti. Berarti politik dinasti tidak melanggar aturan.
Sedangkan kelompok yang kontra atau tidak setuju dengan politik dinasti, menganggap bahwa politik dinasti mengebiri demokrasi. Menggerus demokrasi. Apa alasan politik dinasti mengebiri dan menggerus demokrasi ? Mengebiri demokrasi karena prakti-praktik politik dinasti cenderung mempengaruhi proses yang mestinya demokratis, menjadi tidak demokratis karena campur tangan pihak-pihak yang memiliki kekuasaan, kekuatan, pengaruh dan infrastruktur politik.
Bungkusnya demokrasi tetapi isinya, tidak demokratis. Dulu, jaman kerajaan menentukan pemimpin berdasarkan pewarisan ditunjuk langsung, sekarang mencari kepala daerah lewat jalur politik prosedural. Anak atau keluarga para elite kekuasaan lewat institusi yang disiapkan, yaitu partai politik.
Patrimonialistik dibungkus dengan jalur prosedural. Walau dipilih secara langsung, peranan ke-dinasti-an tetap berjalan, walaupun dengan proses demokrasi. Bahkan memasuki era reformasi yang merubah memperoleh kekuasaan dengan demokrasi, pemilihan langsung, praktik politik dinasti benar-benar menggejala wakltu itu.
Sementara pihak beranggapan politik dinasti jelas bertentangan dengan budaya demokrasi yang sedang berproses di Indonesia dan akan melemahkan atau menggerus demokrasi. Kenapa ?. Karena politik dinasti, cenderung mengabaikan kompetensi dan rekam jejak. Gibran sempat dimasalahkan karena ada persyaratan minimal sudah tiga tahun menjadi kader partai.
Publik paham betul bahwa Gibran memiliki kartu tanda anggota PDIP ketika dalam proses mencari rekomendasi. Diakui atau tidak, politik dinasti bisa mengebiri peran masyarakat dalam menentukan pemimpin. Apalagi ada signal dari petinggi partai PDIP bahwa DPP, khususnya Ketua Umum memiliki hak prerogratif yang wewenangnya mutlak.
Baca Juga: Pemudik ke Jateng Diperkirakan 23 Juta Orang dan 1,1 Juta Kendaraan
Secara jujur publik juga paham bahwa jam terbang Gibran di dunia politik masih sangat rendah. Namun begitu regulasi tidak ada pasal yang melarang mereka menggunakan hak sebagai warga negara untuk ikut kontestasi di Pilkada. Sebetulnya mereka berdua juga memiliki beban moral yang berat justru karena aroma politik dinasti sangat kental.
Siapa yang tidak tahu kalau Gibran adalah anak Presiden. Maka ada ungkapan, menang tidak membanggakan, biasa-biasa saja, wajar, lumrah. Tapi kalau kalah menggangu reputasi orang tuanya. Sinyalemen inilah yang menjkadi spekulasi publik bahwa ada campur tangan kekuasaan. Baik langsung maupun tidak langsung. Toh akhirnya Gibran menang mutlak.
Jalan Berliku.
Perjalanan Gibran menggapai kursi Walikota Surakarta melewati jalan berliku. Namun begitu, jalan berliku dengan selamat sampai tujuan sudah tercapai. Berliku diawali dari DPC PDIP Surakarta, sesuai mekanisme dan kewenangan partai sudah memutuskan mengajukan pasangan Achmad Purnomo, waktu itu petahana Wakil Walikota, dan Teguh Prakosa anggota DPRD Surakarta, dua-duanya kader PDIP sebagai bakal calon Walikota dan Wakil Walikota.
Memang keputusan DPC PDIP Surakarta belum final, karena keputusan akhir ada pada DPP PDIP. Peluang Gibran masih terbuka, maka melakukan manuver politik, disini sudah nampak aroma politik dinasti. Bahkan menghadap Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, serta sudah mendaftar sebagai bakal calon Walikota Surakarta, lewat DPD PDIP Jawa Tengah. Langkah Gibran tidak keliru karena mekanisme penjaringan di PDIP memungkinkan. Bisa mendaftar lewat DPC, DPD maupun DPP PDIP. Bisa kita bayangkan seandainya Gibran bukan putra presiden.
Apakah langkah Gibran salah, keliru, tidak etis, menggebiri demokrasi atau merugikan publik? Sebetulnya penjelasan Jokowi sudah jelas. Artinya, jabatan walikota adalah bukan penunjukkan, melainkan kompetisi. “Ketika kompetisi, bisa menang dan bisa kalah, karena ini dipilih bukan ditunjuk”.
Banyak orang meragukan Gibran apa mampu berprestasi menjadi Walikota Solo. Kerja keras semenjak dilantik sampai saat ini berjalan dua tahun, tampaknya Gibran Rakabuming Raka, lahir di Solo, 1 Oktober 1987, berangkat sebagai seorang pengusaha muda, sejak Desember 2010, membuka usaha katering yang diberi nama Chilli Pari. Sekaligus merupakan pendiri perusahaan kuliner martabak yang disebut Markobar. Berhasil membuktikan ke publik, terutama publik Solo atas kepemimpinannya.
Tidak selalu politik dinasti negative. Kembali pada orangnya serta latar belakang orang tuanya. Memang harus dibuktikan. Mutiara tetap Mutiara bukan karena sekedar dinasti.
Drs. Pudjo Rahayu Risan, M.Si, Pengamat Kebijakan Publik. Jatengdaily.com-st