SEMARANG (Jatengdaily.com) – Sebagai upaya menekan angka perceraian yang terus meningkat, Badan Penasihatan Pembinaan dan Pelestarian Perkawinan (BP4) Provinsi Jawa Tengah menggelar pelatihan konsultasi keluarga. Pelatihan diikuti 82 peserta, berasal dari delegasi KUA se-Eks Karesidenan Semarang, sejumlah pengurus BP4 Provinsi Jateng, dan juga sejumlah mahasiswa di Kampus UIN Semarang, Sabtu (4/11/2023).
Ketua BP4 Provinsi Jateng, Prof Dr KH Nur Khoirin YD MAg mengatakan, program rumah konsultasi keluarga (Rumsiga) di antaranya memberikan layanan konsultasi dan mediasi kepada pasangan, baik yang akan menikah maupun yang sedang dilanda konflik keluarga.
”Rumsiga tersebut harus dikelola secara baik, profesional, dan
berkelanjutan oleh tenaga yang terdidik dan terlatih. Oleh karena itu kami
akan melaksanakan pelatihan konsultasi keluarga secara
bertahap, yang pesertanya berasal dari delegasi KUA-KUA se Jawa
Tengah,” ujar Nur Khoirin.
Dia memaparkan, di Kota Semarang tahun 2018 sebanyak 10.963 nikah dan 2.951 cerai (37,1%), tahun 2019 sebanyak 10.954 nikah dan 3.098 cerai (35,4%), tahun 2020 sebanyak 9.960 nikah dan 3.091 cerai.(32,2%).
Sedangkan di Jawa Tengah setiap 100 pasangan yang menikah, terdapat 37 pasang bercerai. Ini artinya, perkawinan yang gagal mencapai 37%. Padahal pasangan yang tidak bercerai secara sah belum tentu perkawinannya baik-baik saja. Sehingga angka perkawinan gagal bisa mencapai 50%. Idealnya perceraian tidak mencapai 5%.
”Kondisi ini sangat menghawatirkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kekuatan dan masa depan suatu bangsa sangat dipengaruhi oleh kekuatan keluarga. Keluarga yang kokoh akan menjadi penyangga negara yang kuat. Sebaliknya, keluarga yang lemah dan rusak akan menggerogoti pilar-pilar kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujar Nur Khoirin.
Anggota Komisi Hukum dan HAM MUI Jawa Tengah ini juga menyoroti kasus menikah anak di bawah umur di Jawa Tengah terus meningkat. Menurut rekap perkara Pengadilan Tinggi Agama Semarang, kasus menikah dini dengan dispensasi nikah dari Pengadilan Agama di Jawa Tengah tahun 2018 sebanyak 2.379 kasus, tahun 2019 sebanyak 4.383 kasus, tahun 2020 meningkat tajam menjadi 12.623 kasus, dan tahun 2021 menurun sedikit menjadi 11.505 kasus nikah di bawah umur.
Menurit Nur Khoirin, sebagaian besar yang mengajukan adalah orang tua dari calon pengantin perempuan yang umurnya belum mencapai 19 tahun. Secara nasional nikah dini pada tahun 2019 mencapai 10,82%, tahun 2020 mencapai 10,18% dari seluruh perkawinan.
Meningkatnya kasus nikah di bawah umur ini, lanjut Nur Khoirin, memang dampak langsung dari Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan terhadap Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang menaikkan batas usia menikah dari 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki, menjadi umur 19 tahun.
”Batasa usia menikah bagi perempuan berusia 16 tahun saja banyak yang mengalami ‘kecelakaan’ apalagi dinaikkan menjadi 19 tahun, pasti akan membawa dampak ‘hamidul’ alias hamil duluan sebelum menikah,” ujar Nur Khoirin.

Sementara itu Wakil Ketua BP4 Provinsi Jateng, Drs H Eman Sulaeman MH mengatakan, dilihat dari dimensi agama menikah memiliki nilai ibadah. Dari dimensi yuridis menikah adalah bentuk perjanjian sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an pada surat Annisa ayat 21. Bahkan Al-Qur’an menyebutkan Mitsaqan Ghalizan sampai tiga kali.
”Sedangkan dari dimensi sosiologis, menikah tidak sekadar urusan individu dan keluarga, tetapi menjadi urusan masyarakat. Bukan sekadar tanda tangan di KUA, tetapi juga mengikuti adat yang berlaku di masyarakat, misalnya mengundang tetangga pesta dan sebagainya,” ujar Eman Sulaeman.
Eman Sulaeman juga memberikan banyak ilmu tentang hukum perkawinan kepada peserta pelatihan. Berdasarkan UU No 1/1974 (Pasal 2), Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Jadi sah tidaknya perkawinan ukurannya adalah menurut agama masing-masing .
Sedangkan perceraian, lanjut Eman, hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami isteri.
”Makanya bagi calon pengantin wanita sebaiknya jangan mau dinikah siri, karena jika terjadi kasus perceraian tidak memiliki bukti ketika menjalani proses sidang di pengadilan,” ujar Eman Sulaeman. St