Oleh : Nur Khoirin YD
Hari-hari ini kita sudah berada di awal bulan Agustus. Grengseng peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI yang ke 78 sudah terasa dimana-mana. Jalan-jalan mulai dihiasi dengan bendera merah putih yang gagah dan umbul-umbul aneka warna yang meriah. Masyarakat mulai giat kerja bakti, bersih-bersih lingkungan, dan menata keindahan, dan memasang lampu-lampu hias.
Berbagai lomba dan hiburan digelar, dari mulai anak-anak, ibu-ibu dan bapak-bapak. Puncaknya adalah malam tanggal 17 nanti, semua RT menyelenggarakan acara pentas dan Tirakatan (Selametan), pesta kemenangan dengan makan bersama penuh kebersamaan. Semua dengan biaya swadaya, gotong royong urunan suka rela dari masyarakat sendiri.
Pertanyaannya, kekuatan apa yang mendorong semangat ini sehingga semua orang tergerak berpartisipasi? Untuk tujuan apa semua kegiatan Agustusan ini dilakukan? Jawabannya adalah karena semangat nasionalisme. Inilah semangat cinta tanah air yang menggelora.
Tujuannya adalah untuk menunjukkan rasa bangga sebagai bangsa Indonesia, untuk membuktikan rasa turut memiliki bangsa Indonesia. Cinta tanah air dan bangga sebagai bangsa itu dalam Islam disebut HUBBUL WATHON. Nabi bersabda hubbul wathon minal iman. Cinta tanah air adalah bagian dari ekpresi keimanan.
Fitrah manusiawi
Cinta tanah air adalah fitrah setiap manusia. Apapun agama, suku, dan budayanya. Secara naluriyah, secara otomatis tanpa melalui proses belajar, manusia selalu mencitai tanah kelahirannya.
Seperti seseorang mencinta diri, anak-anak dan keluarga, mencintai harta. Maka jika seseorang hidup di rantau yang jauh, maka akan selalu rindu pulang ke kampung halamnnya. Perasaan inilah yang mendorong fenomena mudik tahunan pada setiap menjelang lebaran.
Cinta tanah air juga mendorong orang-orang yang berasal dari kampung atau kota yang sama cenderung mudah berkumpul dan bersaudara, yang dalam Islam disebut ukhuwah wathaniyah atau syu’ubiyah. Yaitu persaudaraan karena kesamaan asal daerah. Di semua kota besar atau negara, ada berbagai organisasi masyarakat daerah.
Misalnya di Semarang, Iakatan Keluarga Jawa Barat, Ikatan Keluarga Madura, Ikatan Mahasiwa Aceh. Di luar negeri juga terbentuk Ikatan Mahasiswa Indomesia di Mesir, Ikatan Warga Indonesia di Arab, dan sebagainya.
Rasa cinta tanah air ini tumbuh dengan sendirinya, kecuali ada hal-hal yang luar biasa, seperti karena perang, wabah penyakit, atau karena hal lain yang menyangkut kemanaan jiwa sehingga ia menjadi benci dan trauma. Fitrah ini digambarkan dalam Firman Allah swt :
وَلَوْ أَنَّا كَتَبْنَا عَلَيْهِمْ أَنِ اقْتُلُوا أَنفُسَكُمْ أَوِاخْرُجُوا مِن دِيَارِكُم مَّافَعَلُوهُ إِلاَّ قَلِيلُُمِّنْهُم
“Dan sesungguhnya kalau Kami perintahkan kepada mereka:”Bunuhlah dirimu atau keluarlah kamu dari kampungmu”, niscaya mereka tidak akan melakukannya, kecuali sebagian kecil dari mereka”” (QS. An-Nisa’: 66).
Artinya, jika seseorang diperintahkan untuk bunuh diri, maka pasti tidak akan dilakukannya. Demikian juga tidak mudah memerintahkan seseorang untuk pindah dari satu kampung ke kampung yang lain. Karena hal ini bertentangan dengan naluri manusia.
Oleh karena itu, tidak ada aturan Syari’ah yang bertentangan dengan fitrah. Hukum hanya bersifat mengatur, agar manusia dalam memenuhi fitrah dan kebutuhannya tidak saling bertabrakan.
Nasionalisme Nabi saw.
Nabi Muhammad saw lahir dan dibesarkan di Makkah al Mukarramah sampai umur 51 tahun. Karena faktor keamanan jiwa dan keberlangsungan dakwah Islam yang terganggu oleh orang-orang Quraisy yang terus meningkat, maka Nabi saw berserta pengikutnya yang setia dengan sangat terpaksa hijrah ke Madinah.
Nabi sejatinya sangat mencintai Makkah sebagai tanah airnya. Tetapi karena hal yang luar biasa, ada ancaman keselamatan jiwa dan agama, maka dengan sangat terpaksa harus pindah ke Madinah.
Salah satu bukti Nabi saw sangat mencitai tanah airnya, Makkah adalah sabda Beliau :
عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا أُخْرِجَ مِنْ مَكَّةَ : اِنِّي لَأُخْرَجُ مِنْكِ وَاِنِّي لَأَعْلَمُ أَنَّكِ أَحَبُّ بِلَادِ اللهِ اِلَيْهِ وَأَكْرَمُهُ عَلَى اللهِ وَلَوْلَا أَنَّ أَهْلَكَ أَخْرَجُوْنِي مِنْكِ مَا خَرَجْتُ مِنْكِ (مسند الحارث – زوائد الهيثمي – ج 1 / ص 460(
“Diriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ketika Nabi keluar dari Makkah beliau bersabda : Sungguh aku diusir darimu (Makkah). Sungguh aku tahu bahwa engkau adalah Negara yang paling dicintai dan dimuliakan oleh Allah. Andai pendudukmu (Kafir Quraisy) tidak mengusirku dari mu, maka aku takkan meninggalkanmu (Makkah)” (Musnad al-Haris, oleh al-Hafidz al-Haitsami 1/460)
Dan ketika Nabi pertama sampai di Madinah beliau berdoa lebih dahsyat:
قَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اللَّهُمَّ حَبِّبْ إِلَيْنَا الْمَدِينَةَ كَحُبِّنَا مَكَّةَ أَوْ أَشَدَّ (صحيح البخارى – ج 7 / ص 161(
“Ya Allah, jadikan kami mencintai Madinah seperti cinta kami kepada Makkah, atau melebihi cinta kami pada Makkah” (HR al-Bukhari 7/161).
Apa yang bisa kita ambil pelajaran dari nasionalisme Nabi tersebut? Nabi sebagai manusia ternyata sangat mencintai Makkah sebagai tinta tanah airnya. Maka tidak salah semua orang mencintai tanah airnya sendiri, atau lebih sempit adalah kampung halamannya sendiri, baik sebagai identitas maupun sebagai kebanggaan.
Tetapi mencintai agama harus yang nomor satu. Jika disuatu tempat agama kita terganggu, maka kita harus sekuat tenaga menyingkirkan gangguan tersebut.
Jika tidak mampu, maka harus hijrah ke daerah yang memungkinan agama kita aman. Misalnya kasus muslim di Rohingya Mianmar, yang keamanan jiwa dan agamanya terganggu, maka harus pindah ketempat yang aman.
Dalam Islam ada konsep ukhuwah (persaudaraan) yang berlapis.Lapis pertama, persaudaraan karena kesamaan tercipta sebagai manusia yang disebut ukhuwah Basyariyah (kemanusiaan). Sesama manusia adalah bersaudara. Apapun agama, suku bangsa, bahasa, dan budayanya.
Lapis kedua, persaudaraan karena kesamaan tanah air atau bangsa disebut ukhuwah wathaniyah. Sebagai saudara sebangsa, dimanapun berada, apapun suku dan agamanya, harus saling membantu dan menjunjung tinggi kehormatan bangsa.
Lapis ketiga, adalah persaudaraan sesama iman dan Islam, disebut ukhuwah islamiyah. Dan lapis keempat, adalah persaudaraan karena ada ikatan garis keluarga atau nasab, disebut ukhuwah nasabiyah (senasab/ semarga). Maka tidak ada alasan untuk tidak bersaudara. Semakin banyak kesamaannya, maka semakin kuat ikatan ukhuwah.
Apalagi di Indonesia ini, meskipun bukan Negara Islam, dalam arti konstitusinya berdasarkan syari’at Islam, tetapi Islam mendapatkan tempat yang sangat penting. Negara menjamin kebebasan beragama, dan bahkan menjadikan Islam sebagai pilar penting dalam menjaga NKRI. Syiar Islam sekarang nampak nyata di berbagai lini kehidupan.
Negara tidak bisa dipisahkan dengan Islam. Maka tidak ada alasan untuk tidak mendukung dan berpartisipasi dalam mengisi kemerdekaan ini dengan karya nyata. Minimal turut menciptakan suasana yang aman dan nyaman, agar kita bisa bekerja maksimal, beribadah dan beramal.
Disampaikan pada Khutbah Jum’ah di Masjid Al Muqarrabin Perum Bukit Permata Puri Ngaliyan Semarang, 17 Muharram 1445H/4 Agustus 2023M.
Prof. DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang/Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Sekretaris II Pelaksana Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah/Ketua Bidang Kaderisasi dan Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Tinggal di Jl. Tugulapangan H40 kel. Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-st