in ,

Nasib Perempuan Pekerja Seni

Oleh Gunoto Saparie

NASIB para perempuan pekerja seni sampai hari ini, harus diakui, memang belum beruntung. Hak kebebasan berkesenian perempuan yang seharusnya setara dengan laki-laki ternyata belum sepenuhnya mereka dapatkan.

Hasil survei Koalisi Seni tahun 2021 yang termuat dalam buku setebal 162 halaman dengan judul “Merawat Seni dengan Hati: Kondisi Kerja Emosional Perempuan” menunjukkan bahwa perempuan pekerja seni cenderung bekerja dengan intensitas tinggi dan beban emosional besar, tidak dibekali cukup keterampilan kerja, kurang punya pengaruh dalam pengambilan keputusan, dan bekerja dengan durasi panjang.

Studi yang sama juga mengutip bahwa 28 persen perempuan seniman bekerja paruh waktu, namun hanya 18 persen laki-laki memilih sistem kerja serupa. Dalam struktur kerja eksploitatif dan bias gender ini pula kerja afektif dipinggirkan sebagai wilayah kerja yang minim penghargaan dan pelindungan.

Memang harus diakui, sektor kerja kesenian sering tidak terdeteksi oleh para pembuat kebijakan di Indonesia. Sektor kerja kesenian boleh dibilang luput dari kebijakan publik mengenai ketenagakerjaan. Sedangkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan dan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2019 tentang Ekonomi Kreatif ternyata belum secara spesifik mengatur hak-hak pegiat seni dan pelaku kreatif sebagai pekerja.

Para perempuan maupun laki-laki pekerja seni seharusnya sama-sama memiliki hak kebebasan berkesenian. Hak kebebasan berkesenian memiliki enam turunan, yaitu hak untuk berkarya tanpa sensor atau intimidasi; hak untuk mendapatkan dukungan, jalur distribusi, dan balas jasa atas karya; hak atas kebebasan berpindah tempat; hak atas kebebasan berserikat; hak atas perlindungan hak sosial dan ekonomi; serta hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan.

Akan tetapi, di republik ini hal tersebut belum terpenuhi. Mengacu pada pernyataan Koordinator Riset Koalisi Seni Ratri Ninditya, hal itu disebabkan pekerja seni perempuan mengalami invisibilitas ganda. Pekerja seni perempuan dianggap tak terlihat karena ekosistem seni masih didominasi laki-laki. Ditambah lagi, perempuan kebanyakan bekerja di sektor-sektor balik layar seperti manajer ataupun liaison officer (LO).

Situasi tersebut diperparah dengan aturan-aturan ketenagakerjaan di sektor seni yang belum melindungi perempuan. Berbeda dengan perusahaan-perusahaan besar, pekerja seni kerap mencari penghasilan di lingkup komunitas maupun kolektif dengan relasi kerja yang kabur. Akibatnya, pekerja perempuan kerap menjadi korban eksploitasi. Mereka juga sukar meminta kontrak tertulis, menggugat besaran upah, ataupun mempertanyakan perintah-perintah kerja atasannya.

Koalisi Seni, dalam survei yang sama, juga mencatat 55 responden yang mengaku mengalami kekerasan selama setahun terakhir. Ada tiga kekerasan yang kerap dialami mereka: kekerasan fisik, pelecehan seksual, ataupun perundungan (bullying). Sekitar 25 persen di antaranya bahkan mengalaminya lebih dari sekali.

Selain perempuan pekerja seni, perempuan pegiat seni lainnya seperti peneliti seni, penikmat seni, penggemar kelompok seni, seharusnya juga berhak memperoleh hak kebebasan berkesenian, khususnya hak untuk ikut serta dalam kehidupan kebudayaan. Namun, pemenuhan hak ini masih terkendala karena sulitnya menciptakan ruang kesenian yang aman bagi perempuan. Tak hanya persoalan ruang aman, perempuan pun kerap mendapat intimidasi sehingga mereka tidak dapat bebas berkumpul dan berekspresi.

Koalisi Seni juga menemukan fakta perempuan pekerja seni lebih terbebani kerja emosional. Ada ekspektasi masyarakat terhadap perempuan yang berbeda ketimbang pengharapan atas lelaki. Kerja emosional didefinisikan sebagai pengelolaan perasaan untuk menciptakan tampilan wajah dan tubuh yang ditampilkan kepada publik, dalam konteks pekerjaan layanan jasa. Teori kerja emosional menganggap pengaturan emosi seorang pekerja tidak hanya dipengaruhi budaya dan norma sosial, tetapi juga diatur oleh pemberi kerja.

Memang, perempuan mulai menjadi pengambil keputusan strategis di acara-acara seni rupa sebagai kurator, manajer, atau pengarah. Perempuan merawat, menjaga, dan memastikan seni budaya terus bergerak dan berkembang. Di sektor kesenian Indonesia, perempuanlah yang mengambil peran di balik layar, panggung, meja, atau kanvas yang dipamerkan kepada khalayak. Perempuan juga bekerja di berbagai lembaga dan perusahaan seni sebagai manajer, staf komunikasi/humas, administrasi, keuangan, asisten pribadi, liaison officer, staf keanggotaan, dan lain sebagainya.

Akan tetapi, sering kali peran perempuan di balik layar dimaknai sekadar sebagai peran-peran penunjang. Tidak banyak perempuan dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan. Perempuan pekerja seni tak hanya rentan secara ekonomi, namun juga emosional. Hampir separuh responden mengaku bekerja tanpa kontrak tertulis.

Sesungguhnya Undang-undang tentang Pemajuan Kebudayaan dapat menjadi salah satu acuan untuk mendukung pekerja seni melalui pencantuman ketentuan tentang pelindungan hak-hak pekerja seni dalam peraturan turunannya. Peningkatan kesejahteraan rakyat adalah salah satu tujuan dalam pemajuan kebudayaan (Pasal 4) dan memperoleh manfaat dari pemajuan kebudayaan untuk kesejahteraan menjadi hak tiap orang (Pasal 41).

Pekerja seni, termasuk perempuan, tentu saja merupakan bagian dari sumber daya manusia kebudayaan yang disebut dalam undang-undang ini. Akan tetapi, konstruksi sosial dan sistem patriarki mengakibatkan ketidakadilan gender, sehingga perempuan pekerja seni mengalami marginalisasi.

Gunoto Saparie adalah Keua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT). Jatengdaily.com-st

 

 

Written by Jatengdaily.com

Pabrik SBI Narogong jadi Tujuan Studi Banding Praktik Pertambangan Berkelanjutan Kepala Daerah se-Jabar

Tak Boleh Diskriminasi, Hak Penyandang Disabilitas Harus Dihormati