nur khoirin2

Oleh : Nur Khoirin YD

PERINGATAN Hari Santri Nasional (HSN), meskipun masih beberapa hari lagi (22 Oktober 2023), tetapi grengsengnya sudah mulai terasa. Berbagai spanduk dan baliho ucapan Selamat Hari Santri sudah nampak di berbagai sudut kota dan jalan raya. Pondok-pondok pesantren dan lembaga pendidikan Islam, baik yang negeri maupun swasta, menyambut suka cita dengan menyiapkan berbagai acara. Tujuannya adalah untuk mengingat jasa-jasa para kyai dan santri dalam perjuangannya yang tulus mempertahankan kemerdekaan NKRI dari serangan para penjajah yang ingin kembali.

Santri adalah aset bangsa yang harus terus dilestarikan dan dikembangkan. Santri yang ditempa di pondok pesantren sehingga memiliki kedewasaan dan kemndirian telah terbukti tumbuh menjadi pribadi-pribadi yang tangguh dalam menghadapi tantangan perubahan zaman.  Citra santri yang kurang menarik pada masa lalu harus terus diperbaiki agar semakin diminati. Secara bertahap, kini pesantren sudah tampil gagah dan indah dengan sentuhan manajemen modern yang terbuka. Maka peringatan HSN juga untuk menggelorakan semangat santri agar tidak pudar oleh pengaruh modernisasi dan kemajuan teknologi.

Banyak orang tua yang kini lebih mantap menitipkan anaknya di pesantren di samping sekolah atau kuliah, dari pada ngelajo atau ngekost saja. Karena di pesantren ada banyak nilai plusnya. Tidak hanya mendapatkan ilmu atau teori, tetapi bisa belajar mandiri dan menghargai, bisa belajar berinteraksi dan mengatur diri.

Santri bukan anak mami
Ini pengalaman pribadi yang benar-benar saya merasakan sendiri. Seminggu sekali saya menengok anak di pondok. Ternyata kangen orang tua kepada anak lebih besar lebih besar dari pada kangennya anak kepada orang tua. Siang itu saya sampai di pondok ketemu dengan anak saya, kemudian diajak duduk disalah suatu gazebo dekat kamarnya. Kebetulan pas waktunya makan siang. Saya mengamati anak saya yang sibuk mengambil piring dan sendok, bergegas mengambil jatah makan siang berebut dengan teman-temannya.

“Ayah dan mama mau makan apa, minum apa, tak belikan ya?”. Di warung itu juga menyediakan makanan, jajanan, dan berbagai minuman yang diluar jatah dengan cara membeli. Dia begitu cekatan menyediakan makan minum dan memberesi setelah selesai makan, sehingga saya merasa seperti tamu yang dilayani. Saya melihat anak saya yang baru beberapa minggu di pondok itu sudah sangat berbeda dengan kebiasaannya ketika di rumah. Dia bukan anak mami lagi yang cengeng dan  manja, semuanya harus dilayani, diambilkan, bahkan disuapi. Tetapi dia sekarang sudah kelihatan dewasa dan mandiri, bisa ngurus dirinya sendiri.

Sehabis jamaah Ashar, waktunya mandi sore. Tanpa dikomando dia dengan cekatan mengambil handuk dan ember tempat alat mandi, antri masuk kamar mandi. Dia keluar dari kamar mandi sudah rapi. Tidak lupa embernya dibawa kembali ke kamar, handuknya dia letakkan dijemurannya agar kering lagi. Sambil mandi dia juga mencuci pakaian dalamnya sendiri kemudian dijemur ditempatnya. Ini pemandangan yang tidak pernah saya lihat ketika masih di rumah. Jangankan mencuci pakaiannya sendiri, membawa alat-alat mandi dan menyimpannya sendiri, mandi harus diingatkan berkali-kali, apa-apa harus dilayani, baju salin juga harus dibantu dicari.

Inilah pelajaran penting, kemandirian, yang tidak bisa diperoleh dari mendengar atau membaca, kecuali harus mengalami sendiri dengan menjadi santri. Mondok mendidik anak untuk pandai membagi waktu, membiasakan anak memenuhi kebutuhannya sendiri, memenaj uangnya sendiri, merawat barang miliknya sendiri, belajar mengurus diri sendiri, bergaul dan beriteraksi dengan teman-temannya yang berbeda karakter dan latar belakang, melatih tenggang rasa dan memupuk kedewasaan diri.

Hal demikian tidak mungkin didapatkan dari cerita atau membaca, kecuali harus merasakan sendiri. Seandaikanya saja mondok itu tidak ada ngaji dan sekolah, hanya makan dan tidur saja, maka sudah mendapat banyak pelajaran hidup dan kemandirian. Apalagi ada pengajian ilmu, pembinaan akhlaq dan ibadah, tentu menfaatnya lebih berlipat dari pada sekolah yang dilaju dari rumah.

Kasih sayang lebih kuat
Saya merasakan sendiri, bahwa berpisah dengan anak yang mondok untuk sementara waktu ternyata lebih indah dari pada ketemu terus menerus. Kasih sayang orang tua justru semakin dalam. Kata pepatah, biarpun jauh dimata justru dekat dihati. Jika dekat dan tiap hari ketemu, maka yang nampak adalah kekurangan, pertengkaran dan kejenuhan. Tetapi jika hanya sesekali bertemu, yang dirasakan adalah rindu, pertemuan yang ditunggu, dan rasa memiliki semakin menggebu. Jika setiap hari ketemu, meminta sangu, untuk ini dan itu, mungkin ada perasaan, “kok duit terus”.

Hal ini berbeda jika hanya ketemu sewaktu-waktu, perasaan yang muncul adalah “mumpung ketemu”, kamu butuh apa, mau beli apa?. Apa saja dibawa ketika bertemu.
Hubungan hati orang tua dengan anak yang berpisah nyantri ternyata juga lebih kuat. Pernah suatu ketika saya tidak bisa menjenguk ke pondok. Ada perasaan resah dan kangen yang menumpuk. Saya akhirnya telpon salah satu pengasuhnya dan ingin berbicara dengan anak saya. Bisa ngobrol, tanya sangunya masih, lagi kegiatan apa?. Anak saya itu menjawab dengan datar dan biasa, “Yah, kemaren tiga hari tidak masuk sekolah, saya sakit yah.

Tetapi sekarang sudah enak. Tadi pagi sudah bisa sekolah”. Mendengar cerita anak tiga hari sakit, saya kaget. Sakit apa, sudah periksa, kok nggak telpon nduk?. Perasaan saya melayang kacau, membayangkan, ketika masih di rumah sakit sedikit saja rewel, harus dielus-elus, dipijetin, disuapin, obat diminumin. Ini sakit tiga hari kok tidak ngabari. Saya yang justru menangis haru. Anakku sudah berubah sekarang, sudah mandiri dan tidak mau merepotkan orang lain.

Tidak ada sedetik pun hati orang tua lupa anaknya yang di pondok. Makan enak menjadi tidak enak karena ingat anaknya apakah sudah makan. Mau tidur ingat anaknya sedang apa dan bagaimana. Ketika sedang sakit semakin kuat mengingat anaknya, apakah tetap sehat, dan momen apapun anaknya selalu dibenak. Si anak juga demikian, selalu ingin ketemu bapak ibunya. Apalagi dia selalu diajarkan untuk selalu mendoakan setiap selesai sholat dan setiap saat.

Memiliki anak mondok ternyata lebih asyik dan romantis. Doa-doa tulus terus dipanjatkan, semoga anakku adalah investasiku, yang kelak bisa membanggakan dan membahagiakanku.

Prof. DR. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam UIN Walisongo Semarang/Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Advokat Syari’ah/Mediator/Arbiter Basyarnas/Sekretaris II Pelaksana Pengelola Masjid Agung Jawa Tengah/Ketua Bidang Kaderisasi dan Remaja Masjid Raya Baiturrahman, Tinggal di Jl. Tugulapangan H40 Tambakaji Ngaliyan Kota Semarang. Jatengdaily.com-st