DANAU Rawa Pening yang semestinya berwarna biru berubah menjadi hijau. Sejauh mata memandang, permukaannya tidak lagi terlihat air. Semuanya tertutup tanaman eceng gondok yang menjadi gulma. Ikan-ikan di dalamnya mati dan berdampak kepada kesejahteraan nelayan.
Azan Subuh masih belum berkumandang. Jam dinding di rumah Firman Setiyaji (33), warga Dusun Gondangsari, Desa Rowoboni, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang menunjukkan pukul 03.00 WIB.
Firman pagi itu bergegas membawa gerobak kecilnya keluar rumah sambil membawa sabit dan sebotol air putih. Dia menapakkan kaki menuju tepi Danau Rawa Pening yang ada di sisi selatan Objek Wisata Bukit Cinta.

Gerobak kecilnya pun dia letakkan di tepi jalan setapak. Dia lantas menuju perahu yang tertambat di tepian danau. Sebelum mengayuh dayung agar perahu meluncur, mulutnya komat-kamit merapalkan doa. Dayung dari sepotong bambu itu pun mendorong perahu menuju tengah rawa.
Meskipun dingin angin pagi menusuk tulang, namun seperti sudah terbiasa, Firman tak menghiraukan dan hanya mengenakan sepotong kaos tipis dan celana panjang berwarna hitam yang mulai pudar warnanya.
Kurang dari 30 menit, Firman tiba di tengah rawa yang dipenuhi tanaman eceng gondok. Danau Rawa Pening memiliki luas sekitar 2.670 hektare dan menempati wilayah Kecamatan Ambarawa, Bawen, Tuntang, dan Banyubiru, terletak di cekungan terendah lereng Gunung Merbabu, Gunung Telomoyo, dan Gunung Ungaran.
Tanaman yang dikenali sebagai gulma tersebut tumbuh subur di Rawa Pening dan membentuk kelompok-kelompok seperti pulau besar dan kecil. Firman memilih salah satunya dan menambatkan perahunya dengan bambu.
Setelah menceburkan diri, sabit yang dia pegang di tangan kanan pun mulai memotong daun bagian atas eceng gondok hingga tersisa batangnya. Batang-batang eceng gondok yang terkumpul lalu ditata sedemikian rupa hingga membentuk lingkaran dan diikat memakai tali dari bambu.
Jam tangan menunjukkan pukul 05.24 WIB dan matahari mulai menampakkan cahaya merahnya. Satu per satu, batang eceng gondok yang dia kumpulkan kemudian dinaikkan ke atas perahu.
Sebanyak enam ikatan besar memenuhi perahu dengan panjang tujuh meter dan lebar 70 sentimeter itu. Masih tersisa ruang 30 sentimeter untuk Firman duduk sambil mengayuhkan dayung dan membawa muatannya itu ke tepi rawa.
Usai tiba di tepi rawa, enam ikat besar batang eceng gondok itu kemudian dipindahkannya ke gerobak untuk dibawa ke tanah lapang di tepian Jalan Raya Ambarawa-Salatiga, atau tidak jauh dari Objek Wisata Bukit Cinta.

Begitulah aktivitas Firman, satu dari puluhan petani pemetik batang eceng gondok yang ada di kawasan Rawa Pening. Untuk satu ikat besar basah dengan berat rata-rata 50 kilogram, bisa dibeli oleh pengepul seharga Rp12.000. Jika setiap pagi Firman mendapatkan enam ikat, dia bisa mengantongi uang Rp72.000 per harinya.
Sampailah Firman di tanah lapang itu. Di sana, sudah ada Tatik Khasanah, 51, Muslikhah, 70, dan Lasinah, 75. Tanpa berbincang dengan Firman, ketiganya langsung melepas ikatan-ikatan batang eceng gondok yang telah diturunkan dari atas gerobak ke tanah lapang itu untuk dijemur.
Tatik merupakan pengepul batang eceng gondok. Ibu empat anak itu dibantu Muslikah dan Lasinah setiap hari menjemur sekaligus mengikat dan membawa ke gudang jika batang eceng gondok sudah kering. Jika musim kemarau, hanya membutuhkan 10 hari saja untuk proses pengeringan di bawah sinar matahari. Jika musim penghujan, bisa mencapai satu bulan lebih.
“Satu ikat basah dengan berat 50 sampai 60 kilogram itu kalau kering, menyusut menjadi empat kiloan. Saya menjualnya kembali dalam dua bentuk. Kalau basah, satu ton Rp1 juta. Kalau kering, satu ton bisa Rp6 juta. Itu kalau musim hujan. Saat musim kemarau, satu ton (batang) eceng gondok kering hanya Rp5 juta,” jelasnya.
Pembelinya, kata Tatik, datang dari Yogya dan Solo. Sampai di Yogya dan Solo, batang-batang eceng gondok kering itu kemudian diolah menjadi beragam kerajinan. Seperti kereta kencana, sofa, hiasan dinding, tempat tisu, sandal, tas, kursi dan aksesoris lainnya. Kerajinan yang sudah jadi kemudian dikirim ke pasar lokal, nasional hingga luar negeri seperti ke Amerika, Jerman, Australia, Swiss maupun Abu Dhabi.
Tatik menuturkan, para petani kebanyakan memilih memetik eceng gondok ketimbang mencari ikan. Karena, tiap hari ke rawa belum tentu mendapatkan ikan. Akan tetapi, jika mencari batang eceng gondok, mereka pasti mendapatkan uang, selain akivitas itu dapat membantu membersihkan rawa dari gulma.
“Kalau tidak ada mereka, rawa pening mungkin sudah tertutup eceng gondok. Program pembersihan yang berkali ulang digelar berbagai pihak, menelan biaya besar, tapi hasil pembersihannya tidak sebanding dengan yang dilakukan para petani setiap hari,” tandasnya.
Menjadi Karya
Firman Setiyaji menceritakan kondisi Danau Rawa Pening sekarang kondisinya sudah jauh lebih baik, permukaan Rawa Pening jadi lebih bersih dari gulma daun eceng gondok. Masyarakat sudah mulai sadar dan peduli untuk mengambil eceng gondok yang memenuhi danau, bahkan disulap jadi karya.
Firman pun terus memutar otak agar gulma di Rawa Pening bisa menjadi penopang hidup bagi warga sekitar, sekaligus menyelamatkan lingkungan air Rawa Pening. Sejak tahun 2019, Firman tergerak untuk mendirikan usaha kerakyatan berbasis masyarakat yang diberi nama Bengok Craft untuk menjadi wadah pengolahan eceng gondok menjadi aneka kerajinan.
”Pendirian Bengok Craft dilatarbelakangi tiga hal, yang pertama meningkatkan taraf ekonomi masyarakat, kedua menjadi pengembangan sosial melalui pemberdayaan masyarakat, dan yang ketiga terkait perlindungan lingkungan untuk melestarikan Rawa Pening dengan meminimalisir pertumbuhan eceng gondok,” kata Firman.
Setelah lima tahun berjalan, Bengok Craft mengalami naik turun dan telah melewati berbagai fase dalam pengembangan usahanya. Tahun pertama Bengok Craft fokus pada peningkatan kapasitas produksi dengan melakukan penjaringan untuk keikutsertaan pengrajin dengan melakukan sosialisasi dan mengajak warga sekitar untuk turut berkontribusi.
Kreasi Kerajinan
Kini setidaknya Firman sudah mempekerjakan 20 pegawai yang berasal di sekitar Rawa Pening, mayoritas merupakan lansia dan ibu-ibu. Firman bercerita tentang proses pembuatan kreasi kerajinan berbahan eceng gondok. Ada berbagai teknik, di antaranya teknik anyaman dengan model kubu dan palet, serta teknik kepang.
”Berbagai teknik itu kita kombinasikan menjadi berbagai produk Bengok Craft, seperti tas, sandal, gelang, keset, keranjang, topi, dan sebagainya” terangnya.
Untuk semakin memperkuat usahanya, Firman mendaftarkan diri menjadi peserta pelatihan Pertamina Usaha Mikro Kecil (UMK) Academy di tahun 2024. Dirinya menjadi salah satu peserta yang terpilih dari klaster Regional Jawa Bagian Tengah.
”Saya mengikuti delapan kali pelatihan online class dari Pertamina UMK Academy Regional Jawa Bagian Tengah dan mendapat banyak sekali manfaat. Mulai dari bagaimana mengembangkan usaha, memasarkan produk, bagaimana produk kita inovatif dan diterima di pasaran,” tutur Firman.
Meskipun dilaksanakan secara online, tapi semua dijelaskan secara detail dan interaktif. Kalau ada keluhan di usahanya, bisa konsultasi langsung di kelas tersebut. Inovasi yang dihadirkan, membawa Bengok Craft Maju ke Pertamina UMK Academy Nasional.

Area Manager Communication, Relations, & Corporate Social Responsibility (CSR) Jawa Bagian Tengah PT Pertamina Patra Niaga, Brasto Galih Nugroho mengakui bahwa Pertamina UMK Academy merupakan salah satu bentuk tanggung jawab sosial dan lingkungan (TJSL) yang dijalankan Pertamina, utamanya kepada pelaku UMK dengan tujuan meningkatkan taraf ekonomi, secara khusus bagi pelaku usaha tersebut maupun secara umum untuk perekonomian nasional.
”Kalau sebelumnya Pertamina UMK Academy diberikan kepada pelaku UMK yang dibina melalui Program Pendanaan Usaha Mikro Kecil (PPUMK), kini keikutsertaannya dibuka untuk umum dengan proses pendaftaran dan seleksi,” kata Brasto.
Tercatat lebih dari 8.000 pendaftar di seluruh Indonesia dan terseleksi 5.500 yang berhasil terpilih untuk mengikuti Pertamina UMK Academy. Pada tahapan awal, peserta dibagi berdasarkan skala Regional yang tersebar di seluruh Indonesia, salah satunya Regional Jawa Bagian Tengah.
”PT Pertamina Patra Niaga Regional Jawa Bagian Tengah menjadi salah satu pengelola pelaksanaan UMK Academy di skala Regional Jawa Bagian Tengah yang meliputi wilayah Provinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta, selain Kabupaten Cilacap, Kabupaten Banyumas, Kabupaten Kebumen, Kabupaten Purbalingga, dan Kabupaten Temanggung,” terangnya.
Pelaksanaan UMK Academy di skala Regional telah berlangsung pada Juni hingga Agustus dan telah memasuki skala nasional di bulan September 2024. Selain pelatihan secara daring, juga dilaksanakan pelatihan dan pertemuan peserta secara luring dengan nama kegiatan Kopi Darat yang dibagi menjadi tiga wilayah, yaitu Semarang, Yogyakarta, dan Solo. Tidak hanya itu, empat peserta terpilih juga mendapat kesempatan dukungan pameran UMK melalui proses sayembara.
”Dari 133 peserta di Regional Jawa Bagian Tengah, setidaknya 45 peserta berhasil lolos ke skala nasional berkat keaktifan dan keunggulan usaha yang dijalankan, termasuk salah satunya Bengok Craft. Peserta yang lolos ke skala nasional akan bergabung dengan peserta-peserta terpilih dari Regional lainnya untuk mendapatkan pelatihan dan pembinaan lanjutan yang lebih intensif,” tutur Brasto.
Upaya Firman ini tentu pantas mendapatkan acungan jempol. Jerih payahnya bukan untuk dinikmati secara pribadi, tetapi bisa mendorong warga sekitarnya untuk menyelamatkan lingkungan sekaligus bisa menjadi penopang ekonomi untuk kelangsungan hidup bagi warga sekitar Rawa Pening. Sunarto