SEMARANG (Jatengdaily.com)– Plt. Kepala Dinas Pemberdayaan, Perempuan dan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Semarang dr. Noegroho Edy Rijanto, M.Kes mengatakan, kekerasan yang menimpa anak dan perempuan ibarat fenomena gunung es. Pasalnya, antara yang nampak dan tidak, masih banyak yang tidak nampak, alias tidak terungkap.
”Di Kota Semarang, untuk tahun 2024 ini sampai bulan Juli 2024 ini tercatat ada 200 kasus kekerasan yang menimpa pada anak dan perempuan. Semuanya, kami tangani dan diharapkan sampai tuntas, sampai pada pendampingan korban juga. Namun, memang dari 200 kasus itu, saya yakin masih ada kasus-kasus lain, yang belum atau tidak dilaporkan, atau tidak terungkap,” jelas Noegroho Edy Rijanto, Selasa (30/7/2024).
Noegroho Edy Rijanto mengatakan, dalam workshop bersama media massa, dengan mengambil tema ‘Peningkatan Peran Media dalam Advokasi Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak.’

Lebih lanjut menurut Noegroho Edy Rijanto, dari 200 kasus tersebut 76 kasus berupa KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga) dan sisanya adalah pelecehan seksual. Ada banyak pemicu kekerasan tersebut, termasuk juga karena masalah ekonomi. ”Memang diakui, jika kasus kekerasan anak dan perempuan meningkat. Oleh karena itu butuh semua lini, tidak hanya DP3K dalam penanganannya. Selain dengan dinas terkait juga keterlibatan masyarakat dan media massa sangat penting,” jelasnya.
Peran media massa semisal, menurutnya, adalah memberikan edukasi terhadap masyarakat sekaligus melindungi hak-hak korban kekerasan seksual melalui pemberitaan yang sesuai dengan kode etik (ramah anak dan perempuan).
Diakui, jika saat ini kemajuan teknologi menjadikan semuanya mudah dalam mengakses informasi. Saat ini, orang termasuk anak-anak lebih mudah mengakses informasi serta hal-hal lain di dunia maya sehingga tak jarang berujung dampak negatif. Oleh karena itu, media massa harus memberikan pemberitaan yang baik sesuai kaidah jurnalistik dalam kasus kekerasan pada anak dan perempuan.
Seperti diketahui, masih banyak pemberitaan yang belum menerapkan kode etik, misalnya menulis secara jelas identitas korban kekerasan anak di bawah umur. Belum lagi, media cenderung membuat judul yang mengundang menarik pembaca dengan kata-kata yang kurang tepat.
Sehingga memang pemberitaa bagai pedang bermata dua. Pada satu sisi pemberitaan sangat penting untuk memberikan edukasi kepada masyarakat dan untuk mencegah kekerasan sekaligus melindungi korban. Tetapi, di sisi lain pemberitaan juga berpotensi menciptakan degradasi perlindungan terhadap korban. she