Oleh : Tri Karjono, Staf Ahli BPS Provinsi Jawa Tengah
DALAM pidato inagurasinya, 20 Oktober 2024, Presiden Prabowo Subiyanto menyatakan bahwa disamping ketahanan energi, ketahanan pangan menjadi faktor kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi nasional serta menghadapi ketidakpastian global yang cenderung meningkat.
Termasuk dalam hal adanya perubahan iklim, fluktuasinya harga berbagai komoditas, dan ketegangan geopolitik.
Terkait dengan ketahanan pangan, presiden berkeyakinan bahwa dalam 4-5 tahun ke depan, Indonesia akan mampu mencapai swasembada pangan.
Bahkan siap bertransformasi menjadi salah satu pemasok utama pangan global. Pemerintahan baru ini yakin akan mampu meningkatkan kapasitas produksi pangan domestik, mengurangi ketergantungan impor, serta memperkuat sektor pertanian sebagai pendorong pertumbuhan ekonomi dan stabilitas pangan nasional.
Tentunya keyakinan ini telah dikalkulasi berdasarkan data potensi yang ada dan pengalamannya sebagai mantan ketua Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI).
Swasembada dan Pangan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) swasembada adalah usaha mencukupi kebutuhan sendiri. Sementara pangan adalah makanan atau bahan-bahan yang dikonsumsi setiap hari untuk memenuhi kebutuhan untuk kelangsungan hidupnya.
Swasembada pangan berarti kemampuan negara/wilayah dalam memenuhi kebutuhan konsumsi harian penduduknya secara mandiri, dengan fokus pada komoditas tanaman pangan yang harus tersedia cukup untuk kebutuhan pangan, pakan, dan industri dalam negeri (Husen Miftahudin, 2024).
Melansir dari upland.psp.pertanian.go.id, swasembada pangan mengacu pada kondisi di mana suatu negara atau wilayah mampu memproduksi semua kebutuhan pangan yang diperlukan oleh penduduknya sendiri.
Dengan potensi pertanian sebagai sumber pangan pada setiap wilayah, baik provinsi maupun kabupaten/kota yang berbeda-beda tentunya tidak akan mungkin pada masing-masing wilayah tersebut mampu untuk memenuhi kebutuhan pangannya secara mandiri. Apalagi manjadikan masing-masingnya berswasembada.Bahkan jika pun definisi pangan dipersempit menjadi bahan pokok saja, seperti beras, sagu, ketela pohon, atau jagung saja.
Potensi Pertanian Grobogan
Tentunya cita-cita swasembada pangan secara nasional tersebut harus didukung oleh optimalisasi potensi pertanian masing-masing wilayah. Baik dalam rangka memenuhi kebutuhan wilayahnya sendiri maupun dalam rangka mendukung kebutuhan wilayah lain yang kurang potensi.
Di antaranya Kabupaten Grobogan yang beberapa waktu lalu digadang oleh Wakil Menteri Pertanian, Sudaryono yang akan menjadikan kabupaten pertama di Indonesia sebagai kabupaten dengan status swasembada pangan.
Sebenarnya potensi apa yang ada di Grobogan sehingga Wamentan meyakini bahwa wilayah ini mampu menjadi kabupaten pertama dalam hal swasembada pangan?
Mungkin tidak berlebihan hal tersebut diyakini jika melihat data produksi beberapa komoditas pangan Grobogan yang tercatat di Badan Pusat Statistik (BPS). Dalam rilisnya Jumat, 1 November 2024 yang lalu BPS Provinsi Jawa Tengah mencatat bahwa dengan potensi luas panen hingga akhir tahun sebesar 119,10 ribu hektar.
Walau terjadi potensi penurunan 10,53 ribu hektar dibanding tahun 2023, namun masih manjadikan Grobogan sebagai wilayah dengan luasan panen padi tertinggi diantara 35 kabupaten/kota di Jawa Tengah.
Alhasil dengan potensi luas panen tertinggi tersebut menjadikan potensi produksi gabah dan beras juga menjadi yang tertinggi. Apalagi pada tahun 2024 ini terjadi peningkatan produktivitas. Artinya walau potensi luasan panen menurun, tetapi potensi produksi padi dan beras mengalami peningkatan.
Jika produksi beras di tahun 2023 sebesar 390,09 ribu ton, maka potensi produksi beras Grobogan di tahun 2024 sebanyak 422,86 ribu ton atau naik 32,77 ribu ton.
Pada komoditas jagung dan kedelai, Kabupaten Grobogan juga menjadi yang teringgi.
Pada kedua komoditas ini Kabupaten Grobogan mengambil peran masing-masing lebih dari 21 persen dari total produksi Jawa Tengah. Dengan peningkatan sebesar 18,97 persen potensi produksi jagung kering pipilan di Jawa Tengah dari 2,17 juta ton menjadi 2,59 juta ton pada tahun 2024 berpotensi pula persentase kenaikan yang relatif sama produksi jagung di Kabupaten Grobiogan dari 0,46 juta ton menjadi 0,55 juta ton.
Pada komoditas ketela pohon, produksi Kabupaten Grobogan hanya sekitar kurang dari 0,5 persen dari total produksi Jawa Tengah. Kalah jauh dibanding Wonogiri atau Pati yang masing-masing dominan di angka sekitar 30 dan 25 persen.
Tetapkan Definisi
Dari kondisi tersebut di atas jika definisi pangan adalah makanan sehari-hari berikut dengan substitusinya, maka masih ada pekerjaan rumah yang harus dikembangkan. Karena belum seluruhnya, sebagai contoh ketela pohon dan ubi jalar, belum mampu menjadi wilayah dengan produksi yang dominan di Jawa Tengah.
Belum lagi jika diperluas ke komoditas-komoditas lain seperti sayuran, bumbu-bumbuan dan buah-buahan. Yang tentunya ini pula menjadi kebutuhan keseharian masyarakat yang tidak boleh diabaikan ketersediaan dan kecukupannya.
Namun jika definisi pangan lebih dipersempit ke dalam kebutuhan konsumsi masyarakat yang lebih pokok seperti jagung dan lebih sempit lagi beras, maka ada potensi bahkan mungkin saat ini telah menjadi wilayah yang bukan lagi digadang atau dicita-citakan menjadi kabupaten swasembada pangan.
Bisa jadi saat ini atau sejak beberapa tahun yang lalu telah masuk kategori kabupaten swasembada pangan. Dan janji atau cita-cita itu tak perlu ada.
Coba kita lihat dan bandingkan antara produksi beras, rata-rata kebutuhan per kapita beras setahun dan jumlah penduduk. Menurut Bapanas, rata-rata konsumsi beras per kapita per tahun penduduk indonesia di tahun 2023 sebanyak 81,23 kilogram.
Sementara proyeksi jumlah penduduk Kabupaten Grobohan tahun 2024 hasil SP2020 sebanyak 1,506 juta jiwa. Sehingga dengan susmsi rata-rata konsumsi per kapita beras belum berubah, maka untuk memenuhi kebutuhan makanan pokok penduduk Kabupaten Grobogan selama setahun dibutuhkan jumlah beras sebanyak 122,39 ribu ton.
Sehingga dengan potensi produksi di tahun ini akan terjadi surplus beras sebanyak 300,47 ribu ton. Atau potensi produksi beras yang dihasilkan di wilayah Kabupaten Grobogan mampu memenuhi 3,5 kalinya jumlah penduduk Grobogan.
Artinya dalam pengertian swasembada pangan sama dengan swasembada beras maka telah cukup lama Kabupaten Grobogan telah mencapai swasembada. Tercatat sejak pengukuran produksi beras dengan metode KSA yang dilakukan BPS tahun 2028, produksi beras Grobogan telah berada pada kisaran 400 ribu ton.
Oleh karenanya ketika Wamentan menyatakan bahwa menginginkan dan menggadang Kabupaten Grobogan menjadi wilayah pertama kabupaten dengan status swasembada pangan maka perlu definisi yang pasti dengan istilah pangan.
Pangan dimaksud adalah komoditas apa saja, tertentu atau seluruh komoditas makanan. Sehingga kemudian dipastikan treatmen yang harus dilakukan untuk menjadi dari yang semula belum menjadi terealisir. Sementara yang sudah tinggal dipertahankan atau ditingkatkan.
Namun kembali lagi, jika swasembada pangan dimaksud adalah beras, maka status swasembada bagi Kabupaten Grobogan tidak perlu dikejar dan kemudian akan disematkan kemudian. Karena status swasembada sebenarnya telah diperoleh.
Selanjutnya untuk dipertahankan kondisi ini dengan memastikan tidak terjadinya konversi lahan, mempertahankan dan meningkatkan aksesibilitas faktor produksi, kepastian harga panen untuk menjaga semangat bertani, serta memitigasi dengan baik potensi cuaca dan iklim yang terjadi.
Bantuan alsintan dan bibit tidak harus ditambah hanya jika tahun depan produksinya meningkat, seperti yang dijanjikan Wamentan, tetapi harus tersedia dahulu untuk kebutuhan operasional komoditas potensi yang diharapkan mampu menopang kebutuhan nasional, agar produksinya meningkat. Jatengdaily.com–St