in

Menyusuri Kenangan dalam Puisi-Puisi Bu Uun

Oleh: Nia Samsihono

Buku puisi “Sepanjang Jalan Kenanganku” ini adalah kumpulan karya seorang perempuan berusia 80 tahun, yang menuliskan seluruh kenangan perjalanan hidupnya dalam bait-bait puitis.

Perempuan hebat ini mengabdikan segenap hidupnya untuk hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan khususnya tulis-menulis. Perempuan ini bernama Tien Kartinah Sri Samodraningsih (biasa dipanggil Bu Uun). Beliau dilahirkan di Semarang, 23 November 1944. Bersuami Drs. Oen Soemantri (almarhum), dikaruniai 2 putri, yaitu Ichi Westiyuni Puspita, S.Sos, dan Irni Westiriani Puspita, S.Sos. Ibu Uun memiliki cucu-cucu: Rafi, Putri, Fari, Deva, Ina, dan Syifa.

Bu Uun memiliki moto: “Apa yang kamu terima hari ini adalah yang kamu berikan kemarin.”

Di dalam buku kumpulan puisi: “Sepanjang Jalan Kenanganku”, ia berbagi perjalanan panjang, dari masa muda yang penuh mimpi hingga usia senja yang dipenuhi dengan perenungan. Setiap puisi yang ia tuliskan seperti potongan-potongan kecil dari kehidupannya—tawa, tangis, cinta, dan kehilangan yang berbaur menjadi satu dalam keindahan kata-kata.

Melalui puisi-puisinya, kita diajak melihat kehidupan dengan cara yang lebih lembut dan dalam. Bukan hanya menyampaikan pengalaman pribadi, ia juga menggambarkan sisi-sisi hidup yang universal, membuat kita merasa ikut hadir dalam setiap momen itu.

Menulis puisi adalah cara yang indah bagi perempuan, atau siapa saja, untuk mendokumentasikan perjalanan hidup. Tidak perlu menunggu usia tua untuk memulai; justru menulis sejak dini memungkinkan kita menyimpan setiap potongan kenangan dalam bentuk yang sederhana namun penuh makna.

Melalui puisi, kita belajar untuk merefleksikan momen-momen kecil yang mungkin terlihat sepele, namun sebenarnya menyimpan kekayaan emosi. Dari senyuman pertama seorang anak, hingga perpisahan yang menyakitkan, semua bisa dijadikan inspirasi. Dengan menulis, kita seperti membangun album kenangan yang dapat kembali dibuka kapan saja.

Dokumentasi dalam bentuk puisi ini tidak hanya bermanfaat sebagai kenangan pribadi, tetapi juga sebagai warisan jiwa bagi generasi mendatang. Mereka yang membaca puisi-puisi ini, bisa merasakan apa yang telah dilalui, memahami nilai-nilai kehidupan, dan menemukan pelajaran dari pengalaman yang mungkin tidak pernah mereka alami sendiri.

Puisi dapat menjadi suara hati yang abadi, yang tak akan hilang meski waktu terus berlalu. Bagi perempuan, menulis puisi juga menjadi bentuk penguatan diri. Menuliskan perasaan, pengalaman, dan pemikiran adalah salah satu cara untuk menyembuhkan luka-luka batin serta merayakan kebahagiaan.

Kita tidak hanya menciptakan karya seni, tetapi juga merangkum pengalaman sebagai bukti bahwa kita pernah ada, pernah merasa, dan pernah berjuang dalam hidup. Puisi memberikan tempat untuk merekam kisah hidup yang penuh warna, mengabadikannya dalam keindahan yang sederhana namun tak lekang oleh waktu.

Puisi Bu Uun yang berjudul “Sampaikah Aku ke Gerbang Kedelapan?” memiliki makna dan tema menggambarkan perjalanan hidup yang penuh tantangan dan ujian. Dengan memakai simbol “gerbang kedelapan,” sang penyair mengibaratkan tahap-tahap hidup yang harus dilalui. “Gerbang kedelapan” bisa diartikan sebagai usia manusia mencapai angka 80 atau sebagai tahap akhir dari sebuah tujuan yang ingin dicapai.

Namun untuk mencapainya, ia harus melewati banyak rintangan. Ini menggambarkan betapa perjalanan hidup tidak mudah dan memerlukan ketabahan serta semangat yang tak pernah padam.

Gaya bahasa dan simbolisme yang digunakan menulis puisi ini sangat kuat.

“Perjalanan kali  ini sukar
Harus menembus semak belukar
Duri-duri tajam lukai badan
Tongkat terkait, patah
Dan jalan tertatih-tatih”

Duri-duri tajam dan tongkat patah menggambarkan halangan atau kesulitan yang kerap kali menghambat langkah hidup. Seperti duri yang menyakiti tubuh dan tongkat yang patah, kita sering merasa terluka dan kehilangan kekuatan di tengah perjalanan.

“Harus lewati jembatan
Di bawahnya batu-batu tajam
Airnya, sudah lama hilang di telan zaman”

Jembatan tanpa air adalah metafora dari kondisi yang kering dan tandus, melambangkan kehilangan sumber kebahagiaan atau dukungan dalam hidup. Ini menunjukkan rasa kesepian atau kekosongan yang kadang menyertai perjalanan kita.

“Bila siang panas
Kalau malam dingin, terkadang hujan
Tak ada tempat berteduh ‘tuk badan”

Panas di siang, dingin di malam melukiskan perubahan suasana dan tantangan yang datang silih berganti, seakan tak memberi kesempatan untuk istirahat atau merasa nyaman.

Puisi ini sangat mencerminkan kelelahan fisik dan mental. Ada rasa letih, tapi juga ada semangat yang tetap menyala di balik kelemahan tubuh yang semakin tua. Meskipun langkah semakin berat, tetap ada tekad untuk terus berjalan.

Pada bagian akhir, muncul ketidakpastian dan sedikit keraguan: “Sampaikah aku ke gerbang kedelapan?”—ini menciptakan suasana refleksi dan kontemplasi. Ada keinginan kuat untuk terus melanjutkan perjalanan meski tak tahu apakah tujuan akan tercapai.

Puisi ini menyentuh pembaca dengan cerita tentang ketangguhan dan keberanian menghadapi hidup. Ia mengajarkan bahwa meski jalan yang ditempuh sulit dan tubuh lelah, semangat untuk melanjutkan hidup tetap perlu dijaga. Meskipun akhir dari perjalanan masih samar, ada kebesaran hati dalam menerima apapun yang akan ditemui di ujung nanti.

Buku kumpulan puisi Ibu Uun ini menjadi inspirasi kita sebagai manusia yang harus menjalani hidup dan kehidupan.

Tidak semua puisi harus berisi kenangan pribadi. Meski banyak penyair yang menulis dari pengalaman atau perasaan pribadi, puisi bisa juga lahir dari pengamatan, imajinasi, atau bahkan inspirasi dari kisah orang lain.

Beberapa penyair menggunakan puisi sebagai bentuk ekspresi diri, sehingga tema-tema yang mereka tulis memang berasal dari kenangan pribadi atau pengalaman hidup yang mendalam. Dalam hal ini, puisi menjadi semacam cermin diri atau catatan perjalanan batin.

Namun, ada juga penyair yang menciptakan puisi sebagai eksplorasi estetika atau untuk mengekspresikan ide-ide besar seperti cinta, alam, atau kemanusiaan tanpa keterikatan langsung pada pengalaman pribadinya.

Pada intinya, puisi adalah medium bebas yang memungkinkan penyair untuk mengekspresikan berbagai hal dari berbagai sumber inspirasi. Menulis puisi tidak harus selalu melibatkan perasaan atau kenangan pribadi, tetapi lebih tentang bagaimana penyair mampu menciptakan makna yang bisa menyentuh atau menggugah pembaca.

Penyair memiliki kemampuan istimewa untuk menyentuh hati pembaca melalui kata-kata yang dipilih dengan hati-hati dan perasaan mendalam. Dalam proses penciptaan puisi, penyair seringkali menggunakan bahasa yang indah, penuh metafora, personifikasi, dan imaji, yang memungkinkan pembaca merasakan pengalaman atau emosi tertentu.

Mereka mampu merangkai kata sederhana menjadi rangkaian yang kaya akan makna, memberikan kedalaman pada perasaan yang barangkali tak mudah diungkapkan secara langsung.

Makna yang terkandung dalam puisi sering kali bersifat universal, meskipun mungkin berakar dari pengalaman pribadi penyair. Dengan menciptakan nuansa yang ambigu atau terbuka untuk berbagai interpretasi, penyair mengundang pembaca untuk menggali lebih dalam dan merasakan sendiri makna yang tersirat.

Hal ini membuat pembaca merasa terhubung, seolah-olah pengalaman atau perasaan tersebut adalah milik mereka juga.

Melalui kepekaan terhadap kata dan perasaan, penyair tidak hanya menyampaikan makna, tetapi juga membangkitkan resonansi emosional yang kuat—menyentuh atau menggugah rasa hati pembaca di tingkat yang sangat pribadi.

*Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta–Jatengdaily.com-St

Written by Jatengdaily.com

Motivasi Erick Thohir Ampuh, Indonesia Sukses Gulung Arab Saudi

Debat Ketiga Pilgub Jateng Tak Sentuh Isu Kebudayaan Terkini