in

Benarkah Tanah Menganggur Disita Negara?

Oleh: Bramantio, S.H., M.H.
Plt. Kepala Seksi Penataan dan Pemberdayaan
Kantor Pertanahan Kabupaten Teluk Wondama

Belakangan ini, media sosial diramaikan oleh berbagai informasi yang menyebutkan bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan (menganggur) selama dua tahun akan disita oleh negara.

Fenomena tersebut semakin ramai diperbincangkan dengan munculnya berbagai “meme” dan lelucon terkait penyitaan tanah apabila dalam jangka waktu dua tahun tanah tersebut tidak digunakan.

Disinformasi mengenai konsep “penyitaan” atau pengambilan tanah oleh negara ini memicu kekhawatiran di tengah masyarakat, khususnya terkait apakah tanah milik mereka berpotensi diambil alih.

Sebagaimana diketahui, sebagian masyarakat memandang tanah sebagai instrumen investasi jangka panjang, mengingat nilainya yang cenderung meningkat dari tahun ke tahun. Tanah yang dijadikan masyarakat sebagai instrumen investasi sering kali dibiarkan menganggur atau tidak dimanfaatkan secara optimal oleh pemiliknya.

Munculnya informasi bahwa tanah yang tidak dimanfaatkan dapat diambil alih oleh negara memicu kekhawatiran, terutama bagi mereka yang selama ini menempatkan tanah sebagai aset investasi jangka panjang.

Munculnya isu mengenai tanah menganggur yang disita negara negara turut menyeret nama Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) ke ruang publik.

Lembaga ini kerap menjadi sorotan dan bahan pertanyaan masyarakat terkait kinerjanya di tengah maraknya pemberitaan tersebut. Lalu apakah semua tanah yang menganggur selama 2 tahun otomatis akan diambil oleh negara?

Undang-Undang Dasar Negara 1945 dalam pasal 33 ayat 3 menyebutkan bahwa bumi dan air serta kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, lalu dalam pidato presiden Republik Indonesia yang tertuang dalam Konsideran Undang-Undang Pokok Agraria menyebutkan bahwa mewajibkan negara untuk mengatur pemilikan tanah dan memimpin penggunaannya hingga dipergunakan untuk kemakmuran rakyat. Kata kunci dari kedua dasar hukum tersebut adalah “Kemakmuran Rakyat”, yang menjadi landasan filosofis dalam setiap kebijakan pertanahan di Indonesia.

Berdasarkan prinsip ini, negara memberikan Hak Atas tanah kepada pemegang hak untuk mengusahakan, menggunakan, memanfaatkan, dan memeliharanya dengan baik. Pemberian hak tersebut tidak hanya ditujukan untuk kesejahteraan pemegang hak, tetapi juga untuk kepentingan masyarakat, bangsa, dan negara secara keseluruhan.

Kewajiban memanfaatkan tanah bukan sekadar imbauan, tetapi memiliki konsekuensi hukum. Apabila tanah yang telah diberikan hak tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya dan dibiarkan tanpa pengelolaan, maka sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan tanah tersebut dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar.

Lalu apa yang dimaksud dengan tanah terlantar, di dalam Perturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional Nomor 20 Tahun 2021 menyebutkan bahwa yang dimaksud tanah terlantar adalah tanah yang telah diberikan hak oleh negara atau tanah yang diperoleh berdasarkan peraturan perundangan dan telah dimanfaatkan sebagian atau seluruhnya, tapi tidak sesuai dengan tujuan pemberian hak dan dibiarkan dalam keadaan tidak diusahakan, tidak dipergunakan dan atau tidak dimanfaatkan.

Kebijakan penertiban tanah telantar merupakan wujud dari dasar filosofis bahwa tanah harus dipergunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.

Prinsip ini diimplementasikan terhadap tanah dengan Hak Guna Usaha maupun Hak Guna Bangunan yang penggunaannya tidak sesuai peruntukan atau tidak dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Melalui tahapan prosedur yang telah ditetapkan, tanah semacam ini dapat dikategorikan sebagai tanah terlantar.

Apabila tanah telah resmi ditetapkan sebagai tanah terlantar, hak atas tanah tersebut hapus, dan penguasaannya beralih langsung kepada negara sebagai Tanah Cadangan Umum Negara (TCUN). TCUN kemudian dapat dimanfaatkan untuk mendukung program strategis nasional, termasuk reforma agraria dan pembangunan infrastruktur.

Melalui kegiatan reforma agraria, tanah negara bekas tanah terlantar dapat ditetapkan sebagai Tanah Objek Reforma Agraria (TORA).

Pelaksanaan redistribusi TORA ditujukan kepada masyarakat yang tergolong tidak mampu, sebagai upaya pemerataan kepemilikan tanah, peningkatan kesejahteraan, dan penguatan basis ekonomi rakyat.

Isu penyitaan tanah oleh negara yang beredar di masyarakat sering kali tidak menggambarkan fakta sebenarnya. jelas bahwa negara tidak serta merta mengambil tanah masyarakat hanya karena menganggur selama dua tahun.

Penetapan tanah sebagai tanah terlantar hanya berlaku bagi tanah dengan kriteria tertentu, yaitu yang tidak dimanfaatkan sesuai peruntukannya, dan melalui proses panjang yang meliputi identifikasi, peringatan tertulis, hingga pemberitahuan resmi kepada pemilik tanah.

Kebijakan ini bukan bentuk perampasan, melainkan langkah penertiban untuk memastikan tanah dimanfaatkan demi kemakmuran rakyat. Tanah yang telah diambil alih negara sebagai Tanah Cadangan Umum Negara tidak dibiarkan kosong, melainkan dimanfaatkan kembali untuk program strategis, termasuk reforma agraria.

Melalui mekanisme redistribusi Tanah Objek Reforma Agraria, tanah tersebut diberikan kepada masyarakat yang tergolong tidak mampu, guna mendorong pemerataan ekonomi, meningkatkan produktivitas lahan, serta memberikan kepastian hukum atas kepemilikan tanah.

Dengan demikian, kebijakan penertiban tanah terlantar sejatinya adalah upaya untuk menyeimbangkan hak dan kewajiban pemilik tanah sekaligus memperkuat keadilan sosial di bidang agraria. Jatengdaily.com-St

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

Polrestabes Semarang Tangkap Driver Online Pengedar Sabu 2,885 Kg 

Christian Adinata Juara di Thailand International Series 2025, Harumkan Nama USM dan Indonesia