Di Balik HUT Ke-80 Jawa Tengah, Ribuan Petugas Irigasi Suarakan Harapan Hidup Lebih Layak

Sekda Jateng Sumarno dipaksa Zainal Petir menggendong mesin pemotong rumput yang biasa dipakai petugas irigasi membersihkan saluran yang banyak rumputnya. Foto:dok
SEMARANG (Jatengdaily.com) – Selasa siang 19 Agustus 2025, terik matahari terasa menyengat di halaman Kantor Gubernuran Jawa Tengah. Namun, tidak menyurutkan semangat ribuan petugas irigasi yang datang dari berbagai penjuru kabupaten.
Dengan seragam sederhana dan wajah penuh harap, mereka menyalakan mesin pemotong rumput yang biasanya digunakan untuk membersihkan saluran air. Suara bising mesin bercampur dengan tepukan tangan, menjadi irama demonstrasi damai di hari istimewa: peringatan HUT ke-80 Jawa Tengah.
Bagi masyarakat desa, wajah mereka mungkin lebih familiar ketimbang aparat pemerintah. Mereka adalah sosok yang setiap hari menyusuri pematang sawah, memeriksa pintu air, hingga memastikan aliran irigasi berjalan lancar.
Tanpa mereka, padi tidak akan tumbuh subur, dan perut-perut warga tidak akan kenyang. Namun, ironisnya, pengabdian puluhan tahun itu masih saja dibayar dengan upah harian tanpa kepastian status.
“Kalau dalam sebulan bisa kerja penuh, saya dapat Rp 2,5 juta. Tapi kalau liburnya panjang, hanya Rp 1,5 juta. Itu pun tanpa BPJS, tanpa jaminan kerja,” tutur Muhammad Chundori, salah satu koordinator aksi, sembari menghela napas.
Ia sudah lebih dari 20 tahun menjadi petugas irigasi, tercatat dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN), tetapi nasibnya tak pernah berubah.
Di hari ulang tahun Jawa Tengah yang mestinya penuh pesta rakyat, mereka memilih memberikan “hadiah” berupa demonstrasi damai. Tidak dengan amarah, melainkan dengan simbol yang menyentuh: bibit pohon. Seolah ingin berkata bahwa mereka pun ingin tumbuh bersama, berakar kuat, dan memberi kehidupan bagi sekitarnya.
Ketua YLBH Petir, Zainal Abidin Petir, yang mendampingi aksi, mengungkapkan ironi lain. “Mesin potong rumput, cangkul, sabit—semua mereka beli sendiri. Kalau rusak, biaya perbaikan juga dari kantong pribadi. Padahal itu alat kerja resmi mereka,” jelasnya.
Suaranya meninggi, bukan karena marah, tetapi karena getir melihat realitas panjang yang dialami ribuan petugas irigasi.
Di antara kerumunan, tampak wajah-wajah penuh keriput yang sudah setia mengabdi lebih dari dua dekade. Ada pula generasi muda yang ikut turun ke jalan, belajar dari seniornya bahwa hak harus diperjuangkan. Bagi mereka, air bukan sekadar aliran, tetapi juga jalan hidup yang mengikat nasib.
Harapan itu sedikit terobati ketika Sekretaris Daerah (Sekda) Jawa Tengah, Sumarno, akhirnya menemui massa.
Ia mengumumkan bahwa pemerintah provinsi akan mengajukan sebanyak 2.640 petugas irigasi yang ada dalam database BKN untuk diangkat menjadi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK).
“Kami pastikan data yang diajukan adalah milik bapak-ibu semua, tidak ada pihak lain yang menyusup,” ucapnya tegas.
Kabar itu disambut sorak sorai. Bukan kemenangan penuh, memang, sebab mereka masih harus menunggu keputusan Menteri PAN-RB yang dijadwalkan keluar 1 Oktober 2025. Namun, di wajah para petugas irigasi yang basah oleh keringat siang itu, tersirat lega. Setidaknya, perjuangan mereka tidak lagi dianggap angin lalu.
Mungkin, inilah pesan sesungguhnya dari aksi mereka di momen ulang tahun Jawa Tengah. Bahwa kesejahteraan bukan hanya milik pejabat yang duduk di kursi empuk, tetapi juga hak petugas irigasi yang saban hari menantang panas, hujan, dan lumpur. Mereka yang selama ini menjaga agar sawah tetap hijau, padi tetap menguning, dan masyarakat tetap bisa makan.
“Kalau Jawa Tengah merayakan 80 tahun, semestinya petugas irigasi juga ikut sejahtera. Karena tanpa irigasi, tidak ada pangan. Dan tanpa pangan, apa artinya kemerdekaan?” ucap Zainal lirih, menutup pernyataannya.
Di tengah hiruk pikuk perayaan ulang tahun provinsi, ribuan petugas irigasi itu telah menorehkan catatan berbeda: tentang kesetiaan, keteguhan, dan harapan sederhana untuk hidup lebih layak. St