Oleh: Tim Mahasiswa Fakultas Ekonomika dan Bisnis, Universitas Negeri Semarang
Di tengah gempuran dinamika ekonomi dan ketatnya persaingan di pasar kerja,diskriminasi berbasis usia menjadi tantangan serius yang sering luput dari perhatian.
Banyak perusahaan di Indonesia secara eksplisit menetapkan batas usia sebagai syarat rekrutmen, tanpa mempertimbangkan kapasitas, pengalaman, atau potensi seseorang.

Kebijakan semacam ini bukan hanya diskriminatif, tetapi juga menghambat produktivitas dan mencederai semangat kesetaraan yang seharusnya dijunjung tinggi dalam dunia kerja.
Contoh paling nyata terlihat dalam kasus rekrutmen Bank BTN awal 2024, di mana usia maksimal pelamar dibatasi pada 24 tahun. Langkah ini memicu reaksi keras dari berbagai pihak, termasuk Partai Buruh, yang menilai syarat tersebut sebagai bentuk nyata ketidakadilan struktural dalam sistem ketenagakerjaan.
Diskriminasi usia seperti ini bukan hanya merugikan individu berusia di atas batas yang ditetapkan, tapi juga menutup peluang perusahaan mendapatkan tenaga kerja dengan pengalaman dan kematangan kerja yang lebih baik.
Secara hukum, Indonesia memang belum memiliki regulasi eksplisit yang melindungi individu dari diskriminasi usia dalam dunia kerja. Pasal 5 UU No. 13/2003 hanya mencantumkan larangan diskriminasi berdasarkan jenis kelamin, agama, ras, dan aliran politik tanpa menyebut usia secara tegas.
Kekosongan hukum ini memberi ruang abu-abu bagi perusahaan untuk menetapkan kriteria rekrutmen yang secara tidak langsung menciptakan eksklusi sosial dan ekonomi.
Padahal, diskriminasi usia memiliki dampakberlapis.Secara psikologis, pekerja yang sering ditolak karena usia akan mengalami penurunan harga diri, stres, hingga depresi. Secara sosial, stigma terhadap kelompok usia tertentu mengakar dan memperkuat prasangka.
Secara ekonomi, kita kehilangan potensi besar dari para pekerja berpengalaman yang sebenarnya bisa menjadi motor inovasi dan produktivitas perusahaan.
Maka dari itu, saatnya kita meninjau ulang cara pandang terhadap usia dalam dunia kerja. Pemerintah perlu hadir lebih kuat dengan memperluas cakupan perlindungan hukum terhadap diskriminasi usia, serta menerapkan sanksi bagi perusahaan yang terbukti melanggarnya.
Perusahaan pun perlu bertransformasi, dari yang semula hanya terpaku pada angka usia, menjadi lebih terbuka dan fokus pada kompetensi, dedikasi, dan pengalaman nyata kandidat kerja.
Untuk mengatasi diskriminasi usia secara sistemik, dibutuhkan intervensi kebijakan yang tegas dan menyeluruh. Pemerintah perlu merevisi Undang-Undang Ketenagakerjaan, khususnya Pasal 5, dengan menambahkan usia sebagai kategori yang dilindungi dari praktik diskriminasi, sebagaimana telah berlaku untuk ras, agama, dan gender.
Di samping itu, Kementerian Ketenagakerjaan dapat mengeluarkan aturan teknis berupa peraturan menteri atau peraturan pemerintah yang melarang perusahaan mencantumkan batas usia dalam rekrutmen, kecuali untuk jenis pekerjaan yang memang secara objektif membutuhkan batas usia tertentu.
Bagi perusahaan yang tetap menerapkan praktik diskriminatif, perluadasanksi administratif seperti teguran hingga denda. Sebaliknya, perusahaan yang membuka peluang kerja secara inklusif tanpa batasan usia perlu diberi insentif, seperti keringanan pajak atau kemudahan perizinan.
Tak kalah penting, pemerintah bersama sektor swasta dan masyarakat sipil juga perlu mendorong kampanye nasional anti-diskriminasi usia untuk mengubah stigma di dunia kerja bahwa produktivitas dan kualitas seseorang tidakditentukan oleh angka usia, melainkan oleh kemampuan dan komitmen.
Menghapus diskriminasi usia bukan hanya soal keadilan, tetapi juga tentang membangun ekosistem kerja yang lebih produktif, inovatif, dan berkelanjutan. Dunia kerja seharusnya menjadi ruang inklusif bagi semua, tanpa terkecuali. Sebab kualitas kerja tak ditentukan oleh usia, melainkan oleh semangat, kapasitas, dan kontribusi nyata dari setiap individu.
Penulis : Widhiya Syamsyifa, Nabila Putri S, Aulia Rahma A, Agif Zaki. Jatengdaily.com-St