in

Membangun Fondasi Iman yang Kuat: Akidah untuk Gen Z Menghadapi Krisis Identitas

Oleh : Sabila Salma Najiha
sabila.salma187@gmail.com
Mahasiswa Universitas Islam Negeri Maulana Malik Ibrahim Malang

GENERASI Z adalah generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012, hidup dan tumbuh dalam era teknologi digital yang serba cepat, terbuka, dan penuh dengan informasi global. Tantangan utama yang dihadapi oleh generasi ini bukan hanya seputar teknologi, tetapi juga identitas diri yang semakin kabur akibat pengaruh budaya luar, media sosial, dan minimnya pembinaan spiritual yang konsisten.

Dalam konteks ini, pengajaran akidah menjadi sangat krusial dalam membangun fondasi iman yang kuat agar mereka mampu menghadapi krisis identitas dengan keimanan yang kokoh.

Krisis identitas yang dialami Gen Z umumnya terlihat dalam bentuk keagamaan yaitu terhadap nilai-nilai hidup, ketidaktahuan akan jati diri, dan pengaruh budaya populer yang bertentangan dengan nilai-nilai keislaman. Oleh karena itu, diperlukan metode pengajaran akidah yang tidak hanya informatif tetapi juga transformatif.

Krisis identitas terjadi ketika individu kehilangan arah atau makna hidup, sehingga ia mudah terombang-ambing oleh arus nilai-nilai eksternal. Dalam kajian psikologi perkembangan, Erik Erikson menyatakan bahwa masa remaja adalah tahap pencarian identitas (identity vs. role confusion), di mana individu mencari pemahaman terhadap siapa dirinya dan peran apa yang ia mainkan dalam masyarakat (Erikson, 1968).

Dalam konteks pendidikan Islam, krisis identitas dapat dimitigasi dengan pendidikan akidah yang mengakar pada nilai-nilai tauhid, sehingga siswa tidak hanya memahami konsep ketuhanan secara teori, tetapi juga meyakininya dan menjadikannya pegangan dalam kehidupan.

Pengajaran akidah di era kini tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan tradisional semata. Karakteristik Generasi Z yang tumbuh dalam arus digital, terbiasa dengan kecepatan informasi, berpikir kritis, dan mengandalkan visualisasi sebagai sarana pemahaman, menuntut adanya pembaruan dalam metode penyampaian ajaran Islam, khususnya akidah.

Mereka tidak cukup hanya diberi ceramah satu arah, hafalan definisi, atau paparan konsep-konsep abstrak. Yang mereka butuhkan adalah pendekatan yang mampu menjawab rasa ingin tahu mereka secara logis, menyentuh sisi emosional mereka secara nyata, dan melibatkan mereka secara aktif dalam proses belajar.

Inovasi metodologis dalam pengajaran akidah bukan hanya soal mengganti alat bantu mengajar dengan teknologi, tetapi lebih dari itu, mencakup perubahan cara berpikir dalam mendekati peserta didik.

Pendekatan yang bersifat partisipatif, dialogis, dan berbasis konteks kehidupan nyata menjadi penting agar ajaran akidah tidak terasa jauh dari realitas mereka. Guru perlu menghadirkan pembelajaran yang hidup—misalnya melalui studi kasus keimanan dalam kehidupan sehari-hari, pemanfaatan platform digital seperti video interaktif, gamifikasi, serta diskusi terbuka yang memungkinkan siswa menyampaikan pendapat dan keresahannya secara jujur.

Dalam proses ini, peran guru bergeser dari sekadar penyampai informasi menjadi pembimbing spiritual yang menyentuh hati dan membentuk karakter.

Dalam konteks ini, pengajaran akidah juga harus dirancang sebagai upaya membangun ketahanan identitas diri di tengah gempuran ideologi sekularisme, relativisme moral, dan krisis eksistensial yang banyak dialami remaja. Akidah yang kokoh akan menjadi fondasi utama bagi mereka untuk membedakan antara kebenaran dan kebingungan yang kerap dipromosikan oleh media sosial dan budaya populer.

Pendidikan Islam harus mampu beradaptasi dengan perubahan zaman agar tetap relevan, tanpa kehilangan esensi ajarannya. Hal ini sejalan dengan pendapat Abuddin Nata (2004) dalam Akhlak Tasawuf, yang menyatakan bahwa pendidikan Islam tidak hanya bertujuan menyampaikan ilmu, tetapi juga membentuk kepribadian dan karakter yang utuh.

Oleh karena itu, guru dan institusi pendidikan Islam di era kini perlu terus berinovasi dalam mendesain pembelajaran akidah yang bermakna dan membumi.

Keberhasilan pengajaran akidah tidak diukur dari seberapa banyak materi yang tersampaikan, tetapi sejauh mana nilai-nilai iman itu mampu membentuk cara berpikir, bersikap, dan bertindak siswa dalam kehidupan nyata mereka.

Inilah tantangan dan sekaligus peluang untuk menjadikan pengajaran akidah lebih hidup, relevan, dan transformatif di tengah dunia yang terus berubah.

Tauhid, sebagai inti ajaran Islam, menekankan keesaan Allah dalam segala aspek kehidupan. Dalam pembelajaran kontekstual, guru tidak hanya menyampaikan tauhid secara teoritis (rububiyah, uluhiyah, dan asma’ wa sifat), tetapi juga bagaimana keyakinan ini tercermin dalam perilaku siswa sehari-hari, termasuk di dunia digital.

Guru mengaitkan materi akidah dengan realita keseharian siswa. Misalnya, mengaitkan konsep tauhid dengan fenomena media sosial dan bagaimana keimanan bisa memandu dalam bersosial media.

Siswa diberikan kasus nyata yang berkaitan dengan isu akidah dan moral, seperti fenomena ateisme di kalangan remaja, untuk dianalisis dalam kelompok. Pembelajaran Berbasis Masalah (Problem-Based Learning/PBL) adalah model pembelajaran yang mendorong siswa untuk belajar melalui pemecahan masalah nyata yang kompleks.

Dalam konteks pembelajaran akidah, PBL sangat efektif untuk menumbuhkan kemampuan berpikir kritis, kerja sama, serta pemahaman yang mendalam terhadap nilai-nilai keimanan dan moral. Guru menyajikan sebuah kasus atau fenomena nyata, misalnya:
“Meningkatnya gejala ateisme atau keraguan terhadap agama di kalangan remaja, termasuk di media sosial. Banyak yang merasa bahwa agama tidak relevan dengan perkembangan zaman atau mengalami krisis spiritual karena pengaruh lingkungan, sains, atau trauma hidup.”

Penggunaan platform digital seperti quizizz, Kahoot, atau video edukatif yang membahas konsep akidah dengan cara menyenangkan dan interaktif. Guru memutar video pendek yang menjelaskan konsep akidah (misal: “Mengapa Allah itu Esa?”, atau “Tauhid vs Syirik dalam kehidupan sehari-hari”).

Setelah menonton, siswa berdiskusi atau menjawab pertanyaan reflektif. Dalam hal ini memberikan Manfaat yaitu Menyentuh sisi emosional dan visual siswa, membuat konsep akidah lebih hidup dan mudah dicerna.

Menceritakan kisah para nabi, sahabat, dan ulama yang relevan dengan tantangan identitas dan keimanan. Cerita memiliki kekuatan afektif dalam membentuk karakter dan menumbuhkan kecintaan terhadap Islam.

Guru atau pembimbing menjadi figur yang dapat dipercaya dan diteladani oleh siswa dalam aspek spiritual dan akhlak. Guru tidak hanya mengajar materi, tetapi menjadi sosok yang mencerminkan nilai-nilai tauhid dan akhlak mulia:

Konsisten dalam ibadah (salat tepat waktu, zikir, dan adab Islami).
Jujur, sabar, rendah hati, dan menghormati siswa.

Aktif memberi nasihat dengan cara yang lembut dan menyentuh hati.
Dengan mentoring dan keteladanan, siswa tidak hanya mendengar tentang iman dan akhlak, tetapi melihat dan merasakannya langsung. Ini membuat nilai-nilai akidah lebih mudah dihayati dan diterapkan dalam kehidupan mereka. Evaluasi bukan hanya pada aspek kognitif (tes tertulis), tetapi juga afektif dan psikomotorik. Beberapa bentuk evaluasi holistik:
Portofolio keimanan: Catatan refleksi siswa tentang pengalaman spiritual mereka.
Observasi perilaku: Pengamatan guru terhadap perubahan sikap dan kebiasaan baik.
Proyek sosial keislaman: Kegiatan berbasis nilai Islam seperti pengabdian sosial, bakti lingkungan, dsb.
Penguatan fondasi iman melalui pengajaran akidah bagi Generasi Z merupakan sebuah proses yang kompleks dan menuntut pendekatan yang adaptif. Generasi ini tumbuh dalam era digital yang sarat dengan informasi instan, arus budaya global, serta tantangan identitas yang tidak pernah dihadapi generasi sebelumnya.

Oleh karena itu, pendekatan pengajaran akidah tidak lagi bisa bergantung sepenuhnya pada metode konvensional yang bersifat satu arah dan teoritis. Diperlukan strategi yang kontekstual, kreatif, dan partisipatif agar nilai-nilai keimanan tidak hanya dipahami secara intelektual, tetapi juga dihayati secara emosional dan diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.

Pendekatan kontekstual dalam pengajaran akidah berarti mengaitkan konsep-konsep keimanan dengan realitas yang dialami oleh siswa, termasuk fenomena sosial, budaya populer, hingga dinamika kehidupan digital mereka. Misalnya, pembahasan tentang tauhid tidak hanya disampaikan sebagai konsep abstrak, tetapi dihubungkan dengan isu-isu kontemporer seperti eksistensi diri di media sosial, krisis makna, hingga kecenderungan ateisme dan agnostisisme yang mulai muncul di kalangan remaja. Dengan begitu, siswa dapat melihat relevansi ajaran Islam dalam menjawab kebingungan dan keresahan yang mereka alami.

Kreativitas juga menjadi kunci dalam menjangkau hati dan pikiran Generasi Z. Penggunaan media digital, video pendek, kuis interaktif, serta narasi visual dapat membantu menyampaikan pesan-pesan akidah secara lebih menarik dan menyentuh. Kreativitas ini tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga pedagogis—yakni bagaimana menyampaikan nilai-nilai tauhid dan akhlak secara bijaksana, menyentuh sisi emosional siswa, dan memberikan ruang eksplorasi tanpa menghakimi proses pencarian mereka.

Sementara itu, pembelajaran partisipatif menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam proses belajar. Mereka tidak hanya menjadi pendengar, tetapi juga penanya, pencari, dan pemakna. Guru berperan sebagai fasilitator yang membimbing proses berpikir dan refleksi siswa dalam memahami iman. Diskusi kelompok, studi kasus, mentoring, hingga proyek kreatif bertema keislaman adalah contoh pendekatan partisipatif yang dapat membangun keterlibatan emosional dan intelektual siswa terhadap nilai-nilai akidah.

Dalam menghadapi krisis identitas, akidah yang kuat berfungsi sebagai jangkar nilai yang menjaga remaja tetap dalam orbit fitrah mereka sebagai hamba Allah. Ketika mereka dihadapkan pada berbagai pilihan gaya hidup, ideologi, dan standar moral yang membingungkan, akidah Islam memberikan arah, makna, dan ketenangan.

Inilah mengapa guru dan institusi pendidikan Islam memiliki tanggung jawab besar untuk terus berinovasi, menyelaraskan metode pembelajaran dengan dinamika zaman tanpa mengorbankan esensi ajaran Islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan Sunnah.

Sebagaimana dinyatakan oleh Abuddin Nata (2004) dalam bukunya Akhlak Tasawuf, pendidikan Islam seharusnya tidak hanya mentransfer ilmu, tetapi juga membentuk karakter dan kepribadian yang utuh.

Pendidikan akidah harus dirancang untuk menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akar spiritualitasnya. Dengan demikian, pembelajaran akidah bukan sekadar pelajaran kognitif, tetapi menjadi proses pembentukan identitas diri yang kokoh dalam menghadapi zaman yang terus berubah. Jatengdaily.com-st

 

Written by Jatengdaily.com

Strategi Pengajaran Aqidah yang Efektif dalam Meningkatkan Iman Gen Z

Empat Santri Meninggal dan Puluhan Luka Akibat Robohnya Tembok di Ponpes Pesantren Modern Darussalam Gontor Magelang