Oleh: Gunoto Saparie
ADA sebagian Ketua Rukun Tetangga (RT) di Kota Semarang yang menolak menerima bantuan operasional Rp25 juta tiap tahun anggaran. Alasannya sederhana, meski mungkin juga rumit: uang, sesedikit atau sebesar apa pun, selalu menyimpan jejak kegelisahan.
Mereka menolak bukan karena uang itu tak berguna. Justru sebaliknya. Uang itu bisa dipakai merenovasi pos ronda yang reot, memperbaiki selokan yang mampet, membeli lampu jalan yang sering padam, membeli bak sampah, atau sekadar mengganti tikar dan karpet Balai RT yang sudah berdebu, lusuh, dan bolong di banyak sisi.

Tetapi, justru karena sangat berguna, uang itu datang membawa syarat: laporan pertanggungjawaban, administrasi, bukti kwitansi.
Dalam dunia birokrasi, sesuatu yang sederhana bisa berubah menjadi pelik. Seorang ketua RT yang sehari-hari hanya guru pensiunan, pedagang sayur, atau pensiunan sopir, mendadak harus fasih dengan pasal-pasal belanja barang dan jasa.
Di situlah letak keberatan itu. Sebagian Ketua RT merasa seolah-olah pemerintah kota hendak memberi beban tambahan. Yang mereka harapkan justru keringanan.
Mereka khawatir tersandung pada hal yang mereka tidak kuasai: tata kelola keuangan publik. Ada ketakutan halus: salah tanda tangan, salah kwitansi, salah prosedur, dan tiba-tiba mereka dipanggil aparat, dan justru berakhir di bui.
Tetapi bukankah ada manfaat besar di balik uang Rp25 juta itu? Jika setiap RT di Semarang bisa menggunakannya dengan benar, kota ini sebenarnya sedang membangun dari lapisan terbawah.
Jalan kampung akan lebih terang, selokan lebih lancar, kegiatan pemuda lebih hidup. Pemerintah kota pun seperti sedang menitipkan kepercayaan: pembangunan itu bukan monopoli pejabat, melainkan urusan warga di lorong-lorong gang.
Namun, di situlah paradoksnya. Bantuan ini bisa memperkuat kohesi sosial, tetapi juga bisa membuat Ketua RT merasa terjerat. Ia bisa jadi peluang, sekaligus beban.
Untungnya jelas: uang itu menjadi darah segar bagi kehidupan kampung. Ruginya pun jelas: Ketua RT yang tak terbiasa mengurus laporan bisa menjadi gugup, bahkan salah langkah.
Maka, yang sesungguhnya ditolak mungkin bukanlah uang Rp25 juta itu. Yang ditolak adalah bentuk tanggung jawab administratif yang terasa asing di tengah rutinitas seorang Ketua RT. Ada yang mungkin menganggapnya hadiah beracun: manis di depan, getir di belakang.
Sebagian Ketua RT itu, sebenarnya, tepatnya memilih tak mengajukan bantuan operasional Rp25 juta per tahun. Angkanya memang kecil dalam kalkulus APBD, tetapi cukup bikin lorong-lorong kampung terasa lebih terang.
Pemerintah kota menyebut sekitar lima persen RT, itu berarti kira-kira 500-an dari lebih 10 ribu, memutuskan tak mengambil. Angka yang kecil itu justru jadi sorotan, sebab ia memantulkan sesuatu yang besar: rasa gamang pada administrasi, pada risiko, pada cara negara mengulurkan tangan sampai ujung gang.
Contohnya muncul di berita-berita lokal yang bersahaja. Ada Ketua RT komplek perumahan di Pudakpayung yang memilih tak mengajukan: kas RT dinilai masih cukup, sehingga hibah pemerintah kota itu dianggap tak mendesak. Di tempat lain, urusan “teknis”, sepert SK kepengurusan berganti, ketua wafat, pindah domisili, membuat berkas tertahan dan semangat mengendur.
Pada titik ini, penolakan bukan retorika; ia lahir dari kalkulasi sehari-hari, dari rapat kecil di pos ronda, dari keputusan bersama “tahun ini tidak usah dulu.”
Ada pula yang ditolak bukan oleh Ketua RT, melainkan justru oleh formulir: permohonan pencairan balik kanan karena belum memenuhi syarat administratif. Negara hadir, ya, tetapi hadir sebagai daftar periksa; sementara di pihak RT, panitia tujuh belasan tak serta-merta berubah jadi bendahara proyek.
Seorang Ketua RT bisa fasih mengatur giliran ronda, tetapi justru bisa gagap di hadapan frasa “kelengkapan pertanggungjawaban.” Di sini, bantuan terasa seperti hadiah yang mensyaratkan pelajaran akuntansi kilat.
Pemerintah kota mengatakan dana itu transparan, tanpa potongan; dewan mendorong pendampingan; kejaksaan bahkan diminta turun tangan mengawasi.
Negara, dengan segala perangkatnya, mendekat hingga ke mulut gang: mengirim uang, sekaligus mengirim tatapan. Kita pun paham mengapa sebagian Ketua RT memilih aman, sebab di belakang satu kuitansi yang salah, ada ruang pemeriksaan yang panjang.
Padahal manfaatnya sebenarnya juga terang benderang. Uang Rp25 juta itu bisa menjadi selokan yang tak lagi mampet, lampu jalan yang menyala, karang taruna yang hidup, karpet balai warga yang tak lagi berdebu. Ia memungkinkan pembangunan kecil-kecilan yang tak tercatat di plang proyek, tetapi terasa di telapak kaki warga.
Maka paradoksnya jelas: di satu sisi, hibah ini menumbuhkan kepercayaan: kota yang dibangun dari bawah; di sisi lain, ia menebalkan rasa was-was: bantuan yang bisa berubah menjadi beban laporan.
Apakah yang seharusnya dilakukan? Mungkin, seperti disarankan para anggota dewan, aturan dipertegas, bahasa disederhanakan, pendampingan diperbanyak.
Bukan sekadar sosialisasi, melainkan “menemani mengisi,” dari kelurahan sampai RT. Sebab sering kali yang ditolak bukan uangnya, melainkan jarak antara bahasa negara dan bahasa pos ronda. Menjembatani jarak itulah keuntungan terbesar yang bisa lahir dari program ini, lebih besar dari beton poskamling mana pun.
Akhirnya, kita sampai pada pertanyaan yang kerap singgah: Apakah negara bisa hadir tanpa menakuti, memberi tanpa menagih kecemasan? Jika jawabannya ya, maka tahun-tahun berikut mungkin lebih banyak Ketua RT yang berkata: ambil saja, kita bangun kampung. Jika tidak, lima persen akan terus menemukan namanya sendiri: kehati-hatian yang sah, atau kelelahan yang diam.
Kota, seperti juga negara, sering lupa: membangun bukan sekadar memberi anggaran, melainkan juga mendampingi warganya memahami arti sebuah pertanggungjawaban. Karena tanpa itu, uang Rp25 juta bisa lebih menakutkan daripada berguna.
*Gunoto Saparie adalah Ketua RW IV Kelurahan Ngaliyan, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang. Jatengdaily.com-St