Peri-Urban Colomadu: Tantangan Alih Fungsi Lahan dan Ketahanan Pangan

IMG-20250921-WA0041

Oleh: Taufik Setyawan

Kecamatan Colomadu, Kabupaten Karanganyar, belakangan menjadi sorotan karena posisinya yang sangat strategis, berbatasan langsung dengan Kota Surakarta.

Pertumbuhan pesat wilayah perkotaan Surakarta menjadikan Colomadu sebagai kawasan peri-urban yang menghadapi dinamika unik: di satu sisi memiliki potensi besar sebagai penyangga pangan, namun di sisi lain terancam oleh alih fungsi lahan akibat derasnya arus pembangunan.

Kawasan Colomadu terletak di barat daya Kota Surakarta dan berbatasan langsung dengan Kecamatan Banjarsari dan Laweyan (Kota Surakarta), serta Kecamatan Kartasura (Kabupaten Sukoharjo).

Posisi ini menempatkan Colomadu sebagai zona transisi antara wilayah kota inti dan pedesaan.
Selain itu, Colomadu juga berperan sebagai pintu gerbang aktivitas regional.

Keberadaan Bandara Internasional Adi Soemarmo dan Gerbang Tol Colomadu menghubungkan kawasan ini secara langsung dengan jaringan jalan nasional serta tol trans-Jawa.

Tingginya aksesibilitas tersebut mempercepat mobilitas orang dan barang, sekaligus menjadi daya tarik kuat bagi investasi dan pembangunan di kawasan ini.

Tekanan Pembangunan yang Kian Menguat

Pembangunan infrastruktur, permukiman, dan kawasan komersial di Colomadu semakin pesat. Lahan pertanian yang dahulu terbentang luas kini perlahan bergeser menjadi kawasan terbangun.

Kondisi ini mencerminkan tren nasional, di mana data BPS menunjukkan bahwa Indonesia kehilangan ratusan ribu hektare sawah produktif setiap tahunnya akibat konversi lahan.

Di Colomadu, daya tarik investasi dan pertumbuhan kota telah mendorong harga tanah melonjak tinggi. Bagi sebagian petani, menjual lahan dianggap lebih menguntungkan dibandingkan mempertahankannya untuk bercocok tanam.

Situasi ini menjadi tanda peringatan bagi ketahanan pangan baik di tingkat lokal maupun regional

Pentingnya Resiliensi Lahan Pertanian
Dalam konteks ini, resiliensi lahan pertanian merupakan faktor kunci. Resiliensi diartikan sebagai kemampuan lahan pertanian untuk tetap bertahan dan berfungsi meskipun menghadapi tekanan dari berbagai aspek, baik pembangunan fisik maupun perubahan sosial-ekonomi.

Resiliensi tidak hanya berkaitan dengan mempertahankan luas lahan, tetapi juga mencakup beberapa hal berikut:

Produktivitas lahan, yakni sejauh mana sawah yang tersisa mampu memberikan hasil maksimal; kelembagaan petani, yaitu kekuatan organisasi atau kelompok tani dalam memperjuangkan keberlangsungan lahan mereka; serta kebijakan tata ruang, yaitu adanya perlindungan zonasi pertanian yang tegas dalam rencana tata ruang daerah.

Resiliensi Lahan Pertanian Colomadu
Kaitan dengan RPJMN 2025–2029 sangat erat dengan isu resiliensi lahan pertanian di Colomadu. Dalam RPJMN 2025–2029, pemerintah menetapkan swasembada pangan sebagai Prioritas Nasional kedua, yang merupakan bagian penting dari upaya memperkuat kemandirian bangsa dan menjaga keamanan negara.

Salah satu program unggulan adalah pengembangan Kawasan Sentra Produksi Pangan (KSPP) atau lumbung pangan (food estate), yang ditargetkan dapat menambah luas panen sekitar 4 juta hektare dan menghasilkan gabah kering giling sekitar 20 juta ton (setara 10 juta ton beras) hingga tahun 2029.

Selain itu, pemerintah mengedepankan strategi transformasi sistem pangan yang meliputi diversifikasi pangan, peningkatan konsumsi pangan bergizi, penguatan distribusi, serta kolaborasi antar lembaga dan daerah.

Dalam konteks Colomadu, kebijakan tersebut harus diterjemahkan melalui perlindungan lahan pertanian pangan berkelanjutan (LP2B), penyusunan regulasi tata ruang yang tegas, serta pemberian insentif ekonomi agar petani tetap berdaya.

Jika hal ini tidak dilakukan, kawasan strategis ini berisiko kehilangan identitas agrarisnya dan semakin memperbesar ancaman terhadap ketahanan pangan di tingkat regional

Ketahanan Pangan dan Ekonomi Colomadu
Dilema yang dihadapi Colomadu mencerminkan persoalan klasik antara kepentingan ekonomi pembangunan dan kebutuhan menjaga ketahanan pangan.

Pertumbuhan kawasan peri-urban membuka peluang baru seperti lapangan kerja, pusat perdagangan, dan perumahan. Namun, jika tidak dikendalikan dengan baik, hal ini berpotensi menghilangkan basis produksi pangan di wilayah penyangga kota.

Pertanyaannya adalah, apakah generasi mendatang masih akan menemukan hamparan sawah di Colomadu, atau justru hanya deretan bangunan beton?

Upaya dan Rekomendasi.
Agar lahan pertanian tetap resilien, beberapa langkah dapat dipertimbangkan sebagai berikut.

Pertama, Perlindungan Tata Ruang perlu ditegaskan oleh pemerintah daerah dengan mengatur zonasi lahan pertanian abadi dalam dokumen RTRW dan RDTR.Hal ini sangat penting untuk memberikan kepastian hukum kepada para petani atas kepemilikan dan pemanfaatan lahan mereka.

Kedua, Insentif Ekonomi bagi petani harus diberikan agar hasil pertanian memiliki nilai ekonomi yang setara atau bahkan lebih tinggi daripada keuntungan yang didapatkan dari menjual tanah.

Program intensifikasi pertanian, peningkatan akses pasar, serta subsidi pupuk dapat menjadi solusi efektif untuk mendorong hal ini.

Ketiga, Pengembangan Pertanian Perkotaan (Urban Farming) dapat diimplementasikan di wilayah peri-urban seperti Colomadu dengan mengadopsi model pertanian modern, misalnya hidroponik, vertikultur, atau agrowisata.Model ini tidak hanya memberikan nilai tambah tetapi juga relevan dengan dinamika perkembangan perkotaan.

Keempat, Pemberdayaan Kelembagaan Lokal seperti kelompok tani, koperasi, dan komunitas masyarakat perlu diperkuat agar mereka memiliki daya tawar yang lebih tinggi dalam menghadapi tekanan pembangunan dan mampu mempertahankan keberlanjutan lahan pertanian.

Menjaga Identitas dan Masa Depan Colomadu
Colomadu bukan sekadar wilayah pinggiran kota, melainkan juga sebuah ruang hidup masyarakat agraris yang berperan sebagai penyangga pangan. Apabila lahan pertanian hilang, maka salah satu warisan penting bagi generasi mendatang pun akan lenyap.

Oleh karena itu, menjaga ketahanan lahan pertanian di Colomadu bukan hanya tentang mempertahankan keberadaan sawah, tetapi juga memastikan keberlanjutan aspek ekologi, ekonomi, dan sosial bagi masyarakat setempat.

Di tengah derasnya arus pembangunan, pilihan yang bijak adalah menyeimbangkan pertumbuhan kota dengan pelestarian lahan pertanian, sejalan dengan arah RPJMN 2025–2029 yang mengutamakan kemandirian pangan dan keberlanjutan wilayah.

Taufik Setyawan, Mahasiswa Program Studi S2 Magister Perencanaan Wilayah dan Kota, Universitas Islam Sultan Agung. Juga Anggota Ikatan Ahli Perencana (IAP) Jawa Tengah, serta Praktisi Perencanaan Wilayah dan Kota. Jatengdaily.com.st

Exit mobile version