SEMARANG (Jatengdaily.com) – Suara tawa dan percakapan dalam bahasa Inggris terdengar dari sebuah ruang pertemuan di lingkungan Bunda Teresa, Perumahan Citra Grand, Semarang.
Bukan acara formal, melainkan sesi pelatihan yang sengaja dirancang santai, penuh interaksi, dan dekat dengan kehidupan sehari-hari.
Selama tiga bulan terakhir, warga di sini—mulai dari bapak-bapak, ibu-ibu, hingga anak-anak—mengikuti program Pengabdian Kepada Masyarakat yang digagas Fakultas Bahasa dan Budaya Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Semarang.

Program ini dipimpin oleh Prof. Yosep Bambang Margono, PhD, dibantu Sony Junaedi, S.Pd., M.Pd., serta dua mahasiswa, Daniel Setiawan Siboro dan Bet Eden Isaba.
Latar belakangnya sederhana, namun penting: keterampilan berbahasa Inggris lisan adalah kunci di era globalisasi, tetapi masih menjadi tantangan bagi banyak orang.
“Kendalanya bukan hanya metode belajar yang kurang praktis, tapi juga jarangnya penggunaan bahasa Inggris dalam percakapan sehari-hari. Motivasi dan rasa percaya diri pun masih rendah,” jelas Prof. Yosep.
Untuk mengatasinya, tim Untag membawa metode pembelajaran yang lebih hidup. Peserta dibagi dalam kelompok kecil agar interaksi lebih intens. Materinya meliputi enam tema yang akrab di telinga: Greetings and Introductions, Talking About Family and Home, Daily Routines, Food and Meals, Going Out and Directions, hingga sesi Review untuk mengulang semua materi.
Metodenya pun variatif—ceramah interaktif, role play, dan praktik langsung—membuat setiap pertemuan terasa seperti ajang ngobrol sambil belajar. Modul sederhana juga dibagikan, sehingga warga bisa berlatih di luar kelas.
Hasilnya mulai terasa. Warga yang awalnya canggung kini lebih berani mengucapkan kalimat-kalimat sederhana dalam bahasa Inggris. “Dulu malu kalau salah, sekarang malah saling mengoreksi sambil bercanda,” kata salah satu peserta sambil tersenyum.
Prof. Yosep berharap, program ini bukan sekadar meningkatkan kemampuan dasar percakapan, tetapi juga menumbuhkan kepercayaan diri warga untuk menggunakan bahasa Inggris secara aktif. Lebih jauh, ia ingin tumbuh komunitas belajar mandiri yang terus berlanjut meski program sudah selesai.
“Kalau ini bisa menjadi budaya, warga akan lebih siap menghadapi tantangan global. Bahasa Inggris akan menjadi jembatan, bukan hambatan,” ujarnya optimis.
Di Bunda Teresa, percakapan sederhana seperti menanyakan arah atau memesan makanan kini tidak lagi hanya terdengar dalam bahasa Indonesia.
Sesekali, terdengar sapaan, “Good morning!” atau “How are you today?” yang menandakan satu hal: perubahan sedang dimulai, satu kata demi satu kata. St