Oleh: Dr. H. AM Jumai ,SE.MM, Wakil Ketua PDM Kota Semarang
DEWAN Masjid Indonesia (DMI) Kota Semarang merupakan pilar penting dalam pembinaan kehidupan keagamaan sekaligus mitra strategis pemerintah daerah.
Keberadaannya memiliki landasan regulatif melalui AD/ART DMI serta aturan pemerintah terkait pembinaan kehidupan beragama, yang menegaskan posisi DMI sebagai lembaga yang sah, representatif, dan memiliki legitimasi sosial yang kuat.
Dengan ribuan masjid dan mushola di Kota Semarang serta dukungan ormas-ormas Islam besar, DMI memiliki peran yang tidak bisa dipisahkan dari dinamika pembangunan kota.
Secara strategis, DMI tidak hanya menjadi wadah koordinasi masjid, tetapi juga agen pemberdayaan sosial, pendidikan keumatan, hingga penguatan harmoni antarumat. Salah satu contoh peran tersebut tampak melalui lahirnya program “Pak Rahman: Pakan Murah Aman”, sebuah inisiatif yang muncul dari jejaring aktivis masjid untuk menjawab kebutuhan masyarakat di sektor ketahanan pangan.
Program ini menjadi bukti bahwa masjid bukan hanya tempat ibadah, tetapi juga pusat solusi terhadap persoalan sosial ekonomi masyarakat Kota Semarang.
Namun, perjalanan DMI tidak selalu mulus. Sejak dinamika politik Pilkada 2014, DMI Kota Semarang dinilai mengalami penyempitan ruang dan menurunnya fasilitasi dari Pemerintah Kota.
Hal tersebut tampak dari minimnya dukungan program, hingga pemangkasan dana hibah secara ekstrem. Ironisnya, di saat pengurangan ini terjadi, ada sejumlah lembaga lain yang justru mendapatkan alokasi hibah yang besar.
Ketimpangan kebijakan tersebut menimbulkan pertanyaan publik mengenai komitmen pemerintah terhadap keadilan dan keseimbangan dukungan untuk seluruh lembaga masyarakat.
Padahal, DMI memiliki kontribusi strategis yang tidak tergantikan. Masjid adalah pusat kehidupan sosial, tempat pendidikan moral, dan pilar stabilitas masyarakat.
Mengabaikan DMI baik secara politik maupun anggaran sama halnya dengan melemahkan fondasi harmonisasi sosial yang selama ini menjadi kekuatan Kota Semarang.
Selain itu, pemerintah seharusnya menyadari bahwa keberagaman dan toleransi yang telah terbina dengan baik bukanlah alasan untuk meminggirkan peran lembaga keagamaan seperti DMI.
Di dalam masyarakat yang toleran, tidak boleh ada diskriminasi, termasuk dalam akses fasilitasi dan dukungan kebijakan.
Meski demikian, DMI Kota Semarang tidak perlu khawatir. Basis sosialnya terlalu kuat untuk dilemahkan oleh dinamika politik sesaat. Ribuan masjid dan mushola, ditambah kekuatan ormas Islam yang solid, menjadi benteng dukungan yang memastikan keberlanjutan program-program DMI.
DMI juga memiliki sumber daya manusia yang melimpah mulai dari ulama, akademisi, tokoh masyarakat, hingga kader muda masjid yang menjadi modal penting untuk tetap mandiri, berwibawa, dan berkontribusi tanpa harus bergantung sepenuhnya pada pemerintah.
Untuk itu, sikap kritis perlu disampaikan kepada Pemerintah Kota Semarang. Pemerintah harus kembali menegakkan prinsip keadilan dalam memberikan ruang, fasilitasi, dan dukungan anggaran kepada seluruh lembaga masyarakat yang memiliki peran strategis.
Hibah publik harus diberikan secara objektif, transparan, dan proporsional. DMI, sebagai mitra pembangunan, layak mendapatkan perlakuan setara sebagaimana lembaga lain yang berkontribusi bagi kota ini.
DMI Kota Semarang akan tetap memainkan peran penting dalam pembangunan moral, sosial, dan spiritual masyarakat. Tetapi pemerintah juga harus memberi ruang yang adil, agar kemitraan konstruktif dapat terus berjalan.
Kota yang maju adalah kota yang memperlakukan seluruh elemen masyarakat secara setara termasuk DMI yang selama ini ci menjadi penjaga harmoni kehidupan beragama. Jatengdaily.com-St
0



