Dugderan, Warga Tionghoa Berbaur Menggotong Warak Ngendhog

Walikota Hendrar Prihadi memukul bedug di halaman balaikota sebagai tanda siap menjalankan ibadah Ramadan. Foto:ugl
SEMARANG (Jatengdaily.com) – Kota Semarang memiliki tradisi khas eksklusif dalam menyambut datangnya bulan Ramadan. Sebuah pawai besar oleh warga Semarang dengan mengarak hewan mitologi Warak Ngendhog itulah yang dinamai Pawai Dugderan.
Prosesi Dugderan diawali dengan upacara budaya di halaman Balaikota Semarang, Sabtu (4/5/2019), diikuti sekitar 10 ribu peserta Dugderan dari 16 Kecamatan yang ada di Kota Semarang. Lengkap dengan atribut seperti membawa miniatur Warak Ngendhog, bunga Manggar, kesenian tradisional, barongsai, dan lainnya.
Bahkan ada Warak Ngendhog raksasa dihadirkan setinggi enam meter, diarak menggunakan kendaraan bergabung dengan peserta pawai lainnya. Pawai bergerak, dari Balaikota menuju Masjid Agung Kauman dan Masjid Agung Jawa Tengah.
Semua warga dan etnis di Semarang berkumpul dan bersatu menggotong miniatur Warak Ngendhog dan kembang Manggar. Hewan mitologi itu sendiri merupakan wujud simbol budaya tiga etnis yang ada di Semarang. Kepala berbentuk naga mewakili budaya Tionghoa. Badan berbentuk buroq mewakili budaya Arab, dan empat kaki dari kambing mencerminkan budaya Jawa.
“Simbol ini menyatu dan beriringan sejak Semarang berdiri sampai saat ini, simbol keharmonisan,” kata Hendrar Prihadi, Wali kota Semarang, saat membuka Pawai Dugderan 2019, di halaman Balaikota Semarang, Sabtu (4/5/2019).
Wali Kota Semarang sendiri didaulat sebagai Tumenggung Semarang bergelar Kanjeng Raden Mas Tumenggung Aryo Purboningrat, membuka Pawai Dugderan dengan menabuh bedug di halaman Balaikota Semarang.
Dari halaman Balaikota diarak menuju Masjid Agung Kauman, Wali Kota Semarang diarak menggunakan kereta kencana berhias bunga dan kembang Manggar, dengan diiringi pasukan berkuda dan rombongan kereta kencana lainnya yang ditumpangi para pejabat lingkungan Pemkot Semarang, Kapolres, Dandim, dan lainnya.
Selanjutnya peserta ribuan pawai tiba di Masjid Agung Kauman untuk mengikuti prosesi sakral pembacaan Shukuf Halaqoh, doa, tabuh bedug, dan peledakan bom udara, prosesi itu yang akhirnya dikenal di masyarakat dengan nama ‘dug’ dari bunyi bedug, dan ‘der’ berasal dari bunyi bom udara. Bunyi dua benda itu menandai akan memasukinya bulan puasa bagi warga Semarang.
Masyarakat pun tak kalah antusias menonton, sepanjang rute pawai dari halaman Balaikota, Jalan Pemuda sampai Masjid Kauman dan MAJT dipadati untuk melihat gelaran sambut Ramadhan tersebut.

Sampai di Masjid Kauman setelah pembacaan Shukuf Halaqoh dan doa, hal yang dinanti masyarakat tiba yakni berebut kembang Manggar yang dibawa pawai dan yang menempel di kereta kencana. Masyarakat juga berebut air suci dari pembacaan khatam Alquran dan jajan tradisional asli Semarang kue Ganjel Rel.
“Kembang Manggar itu warna-warni simbol keberagaman dan keharmonisan, air suci dipercaya membawa berkah dan Ganjel Rel yang rasanya manis dipercaya memberi nuansa bahagia sambut Ramadhan,” beber Hendi, sapaan Wali Kota Semarang.
Setelah prosesi di Masjid Agung Kauman, Pawai Dugderan dilanjut menuju Masjid Agung Jawa Tengah, untuk prosesi penyerahan Shukuf Halaqoh oleh Wali Kota Semarang atau KRMT Aryo Purboningrat kepada Kanjeng Raden Mas (KRM) Aryo Probo Hadikusumo atau Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.
Di Masjid Agung Jawa Tengah Shukuf Halaqoh kembali dibacakan oleh Gubenur Jawa Tengah, lalu pemukulan bedug dan bom udara, serta diumumkannya kepada masyarakat secara luas bahwa bulan Ramadhan segera datang dan bersiap menjalani ibadah puasa dengan hati yang suci dan bersih. Ugl–st