in

Hari Ibu, Momentum untuk Berbakti

Oleh : Nur Khoirin YD

Peringatan Hari Ibu 22 Desember yang diputuskan melalui Dekrit Presiden RI Nomor 316 Tahun 1953, ini selain untuk mengangkat harkat dan martabat seorang perempuan, juga harus menjadi momentum simbol kebaktian seorang anak kepada ibunya.

Momentum untuk mengingat kembali jasa-jasa ibu yang tidak terperi, kasih sayangnya yang meliputi, kegigihannya yang menghidupi, ketulusannya yang menyinari, kesabarannya yang teruji, pengorbanannya yang dari hati, dan doanya yang tidak putus sepanjang hari.

Jasa-jasa ibu kepada anaknya sungguh tidak ada kata-kata yang dapat mewakili. Kedudukan seorang ibu yang harus dihormati dan dimulyakan oleh anak-anaknya adalah pandangan dunia, disepakati oleh semua agama dan disetujui oleh semua budaya.

Oleh karena itu, peringatan Hari Ibu atau Mother’s Day dirayakan oleh hampir semua negara di dunia termasuk Indonesia, sebagai momentum untuk menghormati dan memulyakan ibu.

Kedudukan Ibu

Kedudukan orang tua, khususnya ibu dalam Syari’at Islam sudah sangat jelas. Banyak ayat Al Qur’an yang memerintahkan, agar anak-anak birrul walidain (berbakti kepada orang tuanya).

Allah SWT menyandingkan perintah berbakti kepada kedua orangtua dengan perintah bertauhid hanya kepada-Nya (Q.S Al-Isra: 23, Al-Baqarah: 83, Al-An’am: 151, Al-Ahqaf: 15-18)). Anak-anak dilarang keras berkata kasar, uf atau ah.Aapalagi menyakiti hatinya.

Anak-anak wajib bersikap lemah lembut, merendahkan diri, dan selalu berdoa untuk kedua orang tua (QS. Al Isra : 23-25). Bahkan ketika orang tua berbeda keyakinan dan berbeda prinsip sekalipun, anak-anak harus tetap berhubungan dengan baik (QS. Luqman : 14-15).

Khusus mengenai kedudukan seorang ibu, maka Rasulullah swa pernah ditanya oleh salah seorang sahabat tentang siapakah orang yang harus dihormati di dunia ini, maka Rasul menjawab, “Ibumu, ibumu, ibumu”, baru kemudian bapakmu.

Meskpun perintah untuk berbakti kepada orang tua harus dilakukan sepanjang waktu, dan dimanapun, tetapi dengan adanya peringatan Hari Ibu setiap Tanggal 22 Desember ini setidaknya menjadi momemtum memperbaharui niat dan semangat, menyediakan waktu dan uang saku, agar ibunya ikut senang dan bahagia disisa-sisa umurnya yang sudah tua.

Momentum untuk berbakti

Hari ibu mengingatkan kepada semua anak, kepada semua orang, bahwa ia dulu dikandung dengan susah payah dalam rahim seorang ibu, ia dilahirkan dengan taruhan nyawa, darah dagingnya berasal dari tetesan air susunya, dan ia dibesarkan menjadi orang dengan keringat dan air mata perjuangan.

Berbahagialah anak-anak yang masih ditunggui oleh orang tua, karena memiliki waktu untuk berbakti, dan panjatan doa-doanya dikabulkan menjadi kenyataan. Jangan sampai terlambat.

Kebanyakan orang baru merasa betapa besar jasa-jasa orang tua, ketika ia sudah mengalami sendiri sebagai orang tua. Timbul kesadaran ingin mengabdi, berbakti, tetapi kedua orang tua sudah tidak ada lagi. Penyesalan selalu muncul terlambat.

Hari Ibu yang diperingati setiap tanggal 22 Desember adalah momentum untuk meningkatkan kualitas berbakti kepada orang tua. Bagaimana caranya, kita disemangati oleh ajaran Rasulullah saw.

Beliau bersabda, : “Dia celaka! Dia celaka!”. Salah seorang sahabat bertanya, “Siapakah yang celaka wahai Rasulullah?”. Nabi menjawab : “Siapa yang mendapati kedua atau salah satu dari orang tuanya dalam usia lanjut, tetapi dia tidak berusaha masuk surga (dengan merawat orangtuanya sebaik-baiknya).”

Para sahabat bertanya lagi, wahai Rasulullah, bagaimana jika sudah tidak punya ibu bapak lagi? Apakah yang harus dilakukan?”.

Nabi kemudian menjawab : “Hendaklah ia bersedekah untuk keduanya dengan menjamu makan, membaca Al-quran, atau mendoakan mereka. Apabila hal itu ditinggalkannya, maka sesungguhnya ia telah durhaka. Dan siapa pun yang durhaka terhadap ibu bapaknya, maka sungguh dia telah berbuat maksiat. (HR. Muslim)

Malin Kundang Modern

Kisah Malin Kundang si anak durhaka ini masih sangat relevan menjadi bagian dari proses menanamkan nilai-nilai budaya luhur dan mendidik anak agar berbakti kepada orang tua.

Sekarang ini mulai luntur penghgormatan dan penghargaan anak-anak kepada ibunya. Kisah Malin Kundang si anak durhaka kepada ibunya yang kemudian dikutuk menjadi batu, tidak hanya ada dalam cerita dibuku-buku, tetapi menjadi kisah nyata di tengah-tengah kehidupan modern.

Kita sering mendengar berita, seorang anak tega menggugat ibunya di pengadilan, anak tega mengusir ibunya dari rumahnya sendiri, anak tega membiarkan ibunya yang sudah tua berjalan kali menyusuri jalanan yang panas menjajakan daun singkong sekedar untuk bertahan hidup, padahal anaknya berlimpah harta.

Anak-anaknya yang sudah kaya hidup di kota, tidak jarang lebih memetingkan burung atau anjing piaraannya yang harganya ratusan juta, dari pada menengok ibunya di desa yang sudah renta.

Beberapa ibu malah diperdaya untuk menjaga rumah dan momong anaknya, agar lebih ngirit dan tidak perlu biaya. Ini barangkali sosok modern dari si Malin Kundang yang durhaka.

Gambaran suram seorang ibu juga sering dipertontonkan oleh peran-peran antagonis dalam sinetron atau film-film kita. Adegan-adegan yang tidak mendidik, seorang anak yang membantah dan membentak ibunya sepereti temannya atau bawahannya. Ibunya juga disosokkan tidak berdaya, tidak punya power di hadapan anak-anaknya.

Tontonan inilah yang sering menjadi tuntunan, banyak ditiru oleh para penggemarnya. Kedudukan ibu yang mestinya harus ditaati, dihormati, dan bahkan dipuji-puji untuk mendapat ridhonya, sekarang ini menjadi sosok yang biasa dan bukan siapa-siapa.

Prof. Dr. H. Nur Khoirin YD, MAg, Guru Besar Hukum Islam pada Fakultas Syari’ah UIN Walisongo Semarang, Ketua BP4 Propinsi Jawa Tengah/Katua Nazhir Wakaf Uang BWI Jawa Tengah/Advokat Syariah/Mediator/Arbiter Syari’ah/Nazhir Kompeten. Tinggal di Jl. Tugulapangan H-40 Tambakaji Kota Semarang. Jatengdaily.com-St

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

SIG Raih Penghargaan The Indonesia Best Companies in Local Content

Fakultas Teknik Untag Gelar Doa Bersama untuk Kelancaran Akreditasi dan Pembukaan Program Baru