Oleh: Gunoto Saparie
Hari-hari ini kita telah memasuki era digital. Sebuah era digital yang membawa perubahan besar di berbagai bidang kehidupan, tak terkecuali dalam dunia sastra. Salah satu perkembangan teknologi yang paling mencolok adalah kemunculan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan. Bagaimanakah aktivitas dan kreativitas para sastrawan menghadapi perkembangan teknologi yang begitu mencengangkan ini?
AI kini hadir dalam berbagai bentuk, dari program penulisan otomatis hingga aplikasi analisis teks yang bisa membantu para sastrawan dalam menghasilkan karya-karya sastra. Meskipun teknologi ini memberi banyak kemudahan, tantangan besar bagi para sastrawan adalah bagaimana mereka dapat mempertahankan identitas dan kreativitas manusia mereka di tengah dominasi mesin.

Apakah AI merupakan ancaman bagi aktivitas dan kreativitas sastrawan? Tentu saja tidak. AI bukanlah ancaman bagi para sastrawan, melainkan hanya merupakan alat bantu yang dapat meningkatkan produktivitas dan memperluas jangkauan kreativitas. Teknologi ini dirancang untuk melakukan tugas-tugas tertentu secara otomatis, seperti memperbaiki tata bahasa, memberi saran gaya penulisan, atau bahkan menghasilkan teks berbasis data yang ada. Namun, meskipun AI mampu menghasilkan kalimat-kalimat yang terstruktur dengan baik, ia tetap tidak dapat menggantikan kedalaman dan makna yang terkandung dalam karya sastra yang dihasilkan oleh manusia.
Karya sastra bukan hanya soal teknik penulisan atau pemilihan kata yang tepat, tetapi juga soal pengalaman hidup, emosi, dan pemikiran yang mendalam. Seorang sastrawan menyampaikan pandangan dunia mereka melalui metafora, simbol, dan narasi, yang tidak dapat dihasilkan oleh mesin. AI, meskipun canggih, tidak memiliki perasaan, pemahaman budaya, atau pengalaman manusia yang kaya. Oleh karena itu, meskipun AI bisa membantu sastrawan untuk menyelesaikan aspek teknis dari penulisan, esensi dari karya sastra tetap berada pada kreativitas dan intuisi manusia.
Salah satu tantangan terbesar yang dihadapi oleh para sastrawan di era AI adalah bagaimana mereka dapat terus mempertahankan daya kreativitas mereka di tengah kemudahan teknologi. AI memang dapat membantu dalam menyarankan tema atau bahkan menghasilkan plot cerita, namun ide-ide orisinal dan inovasi dalam penceritaan tetaplah berasal dari pemikiran kreatif seorang manusia.
Kreativitas seorang sastrawan bukan hanya tentang menggabungkan kata-kata, tetapi juga tentang merasakan dan memahami dunia sekitar. Setiap karya sastra yang besar, dari novel klasik hingga puisi modern, membawa pesan atau refleksi yang mendalam tentang kondisi manusia, kebudayaan, dan waktu. Seorang sastrawan bisa menggabungkan pengaruh sejarah, psikologi, politik, dan perasaan pribadi dalam karya mereka. Kemampuan ini untuk mengintegrasikan berbagai lapisan pemikiran dan pengalaman hidup menjadi satu karya yang bermakna adalah sesuatu yang sangat sulit, bahkan tak mungkin, dicapai oleh mesin.
Selain itu, kreativitas juga melibatkan proses riset, pengamatan, dan penciptaan dalam suasana yang penuh ketidakpastian. Seorang sastrawan dapat menulis dengan kebebasan berpikir dan bereksperimen tanpa batasan apapun. Mereka dapat menciptakan dunia fiksi yang sepenuhnya berbeda dengan kenyataan, atau mengeksplorasi konsep-konsep filosofis yang kompleks. AI, meskipun canggih dalam menghasilkan teks, tidak dapat merasakan kegelisahan batin seorang penulis atau mempertanyakan eksistensi manusia. Proses penciptaan karya sastra melibatkan ketidakpastian dan kekacauan, yang memberi ruang bagi ide-ide baru untuk muncul.
Memang harus diakui, AI dapat memberikan keuntungan dalam hal produktivitas. Banyak sastrawan yang, karena keterbatasan waktu atau kesibukan lainnya, merasa terhambat dalam menulis. AI dapat membantu sastrawan untuk mengatasi hambatan teknis seperti penulisan draf awal atau perbaikan kalimat. Dengan menggunakan alat seperti AI, para sastrawan dapat fokus lebih banyak pada aspek kreatif, mengasah ide-ide mereka, dan memperdalam narasi mereka.
Namun, meskipun AI bisa membantu dalam aspek teknis, pada akhirnya nilai dari karya sastra akan tetap bergantung pada ide-ide dan gaya unik penulisnya. Pembaca tetap mencari keaslian, suara pribadi, dan kedalaman pemikiran dalam sebuah karya. AI, meskipun dapat meniru pola bahasa, tidak dapat meniru kepribadian, preferensi, atau pengalaman unik dari seorang penulis yang dapat memberikan dimensi lebih pada karyanya.
Tantangan para sastrawan di era AI adalah bagaimana mereka dapat terus mengasah dan merayakan kreativitas mereka di tengah perkembangan teknologi yang semakin canggih. AI bisa menjadi alat bantu yang berguna, namun esensi dari sastra berupa kreativitas, ekspresi pribadi, dan kedalaman makna, tetap berada pada kemampuan manusia untuk berpikir, merasakan, dan menceritakan kisah.
Sastrawan harus terus menjadikan diri mereka sebagai pencipta karya yang penuh nuansa, dan dengan bijak memanfaatkan teknologi untuk mendukung, bukan menggantikan, proses kreatif mereka. Dalam era yang semakin terhubung dengan teknologi ini, kemampuan untuk menulis dengan hati dan imajinasi akan selalu menjadi kekuatan terbesar yang tak tergantikan oleh mesin.
*Gunoto Saparie adalah Ketua Umum Satupena Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st