Wukuf dan Meneladani Pengorbanan  Ibrahim

multazam051

Oleh : Multazam Ahmad

PADA 6 Juni  atau 9 Zulhijah 1446 H , 221.000 jamaah haji Indonesia bahkan jutaan manusia seluruh dunia sedang berada di Padang Arafah untuk menjalani ritual haji. Karena wukuf di Padang Arafah merupakan rukun haji dan mutlak  dilakukan setiap jamaah haji.Untuk apa wukuf di Padang Arafah? Sebagai  usaha manusia untuk merenungkan hakikat manusia dan ciptaan alam semesta. Karena hakikat manusia di era sekarang ini, sudah semakin jauh ditinggalkan sehingga pada gilirannya manusia  sudah berubah  pola pikir (mindset) untuk mengabdi  selain Allah swt. Seperti misalnya,mengabdi  terhadap sesama manusia karena dianggap memiliki kedudukan, kekayaan, hartanya yang melimpah,dan lain sebagainya.

Menurut  Abdul Rahman bin Yakmur, haji adalah Wukuf di Padang Arafah.”Siapa yang datang di Arafah pada hari Nahar malam sebelum fajar terbit, dia terhitung melakukan wukuf dan dinyatakan sah hajinya.”(HR Tirmizi, Ahmad, Abu Daud, Nasa’i dan Ibnu Majah). Itulah sebabnaya dalam   tradisi Islam,bahwa padang  Arafah dianggap sebagai tempat Nabi Adam dan Hawa bertemu setelah diturunkan di bumi karena  melakukan kesalahan atau melanggar perintah yang di dilarang  oleh  Allah swt.

Edukasi dalam wukuf tidak lain untuk mengajarkan kita pentingnya introspeksi diri dan  mengakui kesalahan  apa yang pernah  dilakukan selama ini. Itulah idealnya bagi orang yang sudah melakukan haji tentunya memiliki derajat yang lebih baik karena mendapatkan ampunan dari Allah swt, dan  bisa menjalani tugas-tugas kemanusiaan berikutnya.Yakni memperlakukan manusia sesui harkat dan martabatnya sebagai mahluk ciptaanya.

Agar manusia bisa mempraktikan  memanusiakan manusia, bisa meneladani apa yang dilakukan Ibrahim. Perintah untuk menyembelih putra yang disayangi ini merupakan simbolisasi kecintaan manusia yang melampui batas.Manusia pada hakekatnya memiliki sifat hewaniah yang melekat dalam  hidupnya yang harus dipotong. Teladan Ibrahim memang   kita sulit  membayangkan dan di  mengerti.Apa jadinya dunia ini bila sang ayah Ibrahim  berperilaku egois, pembohong, tidak bertanggung jawab, dan tidak beriman dan takwa. Akankah sang putra Ismail megitu gampang menyerahkan lehernya pada sang ayah Ibrahim?  Tentu sulit untuk diterima dengan akal sehat.

Dalam catatan sejarah,  perintah Allah Swt  kepada Ibrahim untuk berkorban,  umur Ismail sudah memasuki remaja. Tentunya dia  pasti sudah bisa berfikir kritis dan bisa mempertimbangkan dengan cermat untung ruginya. Apalagi perintah itu akan menghilangkan nyawanya. Lalu apa yang melatarbelakangi Ibrahim   untuk meyakinkan sang putra Ismail? Tiada lain kuatnya iman dan ketakwaan Ibrahim kepada Allah Swt melalui mimpi. Nabi Ibrahim AS sosok nabi yang sangat  cerdas, berfikir kritis, dan dipenuhi keingintahuan yang kuat.

Sejak usia remaja, Nabi Ibrahim AS  sudah dapat karunia Allah Swt berupa membaca kearifan lingkungan sosial sekitar, yang saat itu mayoritas masyarakat menyembah berhala. Inilah yang membuat penasaran dan selalu mempertanyakan siapa Tuhan sebenarnya yang wajib disembah?  Siang dan malam selalu merenung melihat fenomena alam. Pada malam hari melihat bintang-bintang yang sangat indah dilangit,  ia anggap bintang itu Tuhanya.

Namun ternyata bulan lebih besar dari bintang, sehingga menganggap bulan adalah Tuhanya. Kekecewaan selalu hadir, karena bulan lenyap berganti dengan pagi yang muncul justru matahari  yang bersinar  pagi sampai sore  yang diangap Tuhan  sebenarnya karena matahari lebih besar dengan bulan. Ketika malam mulai  datang, matahari  tidak nampak lagi dan sudah barang tentu matahari bukanlah Tuhan.

Berkat kecerdasan  yang sangat mendalam atas peristiwa alam tersebut , akhirnya  Ibrahim AS berkesimpulan bahwa Allah itu esa dan wajib disembah. Karena Allah Swt menciptakan makhluk seperti, bintang dilangit, bulan, matahari, manusia, hewan, pergantian malam dan siang dan lain sebagaiya. Bukan makhluk-makhluk  yang diciptakan untuk disembah. Yang wajib di sembah adalah  Allah Swt dan satu –satunya tempat minta pertolongan. Hubungan Ibrahim dan Ismail, sebenarnya sudah terbiasa berfikir cerdas dan kritis yang selalu mengedepankan dialog.

“Wahai anakku!  Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!” Ismail menjawab, “ Wahai Ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan Allah Swt kepadamu; insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar.” Setelah dialag keduanya mendapatkan perstujuan (agreement)  keduanya maka  Ibrahim menyampaikan ; Engkau telah membenarkan mimpi itu,  demikian kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik.”  (QS. As-Saffat : 102-105).

Dalam berdialaog  tersebut sangat berharga bagi kita. Dalam perspektif  islam berkorban sangat erat dengan nilai-nilai sosial yang sangat tinggi. Artinya  Ibrahim AS dan putra kesayangan Ismail sudah berhasil mengubah tradisi mengorbankan manusia dengan mengganti tradisi berkoban dengan hewan. Akhirnya   Allah mengganti Ismail dengan seekor domba yang gemuk untuk disembelih.

Hal ini menunjukan bahwa manusia sangatlah mahal, jangan ada lagi manusia  untuk dijadikan korban.  Manusia adalah makhluk yang sangat mulia dalam pandangan Allah “ Dan sungguh ,kami telah memuliakan anak cucu Adam,dan kami angkut mereka di darat dan di lautan, dan kami beri mereka rizki dari yang baik-baik dan kami lebihkan mereka di atas banyak makhluk yang kami ciptakan dengan kelebihan yang sempurna”. (QS al-Isra : 70).

Hewaniah Manusia

Disadari atau tidak,kehidupan manusia selama ini selalu dihiasi dengan sifat hewaniah manusia yang melekat pada manusia.Lebih parah lagi bila dilengkapi atribut-atribut yang melekat pada manusia seperti, kedudukan,kepangkatan ,kekayaan dan lain sebagainya. Inilah yang menyebabkan manusia tidak bisa menjalankan amanah.

Menurut Imam Abul Qasim Al-Qusyairi dalam kitab Risalatul Qusyairiyyah, ada beberapa sifat hewaniah atau nafsu kebinatangan pada manusia.Pertama , Nafsu Kalbiyah,  jiwa yang suka memonopoli sendiri serta suka menilai dan menghina orang lain.Kedua, Nafsu Sabu’iyah,  jiwa yang sifatnya suka menyakiti atau menganiaya orang lain dengan cara apapun.

Ketiga, Nafsu Fa’riyah, jiwa yang sifatnya merusak, menilep, menggerogoti, dan korupsi.Keempat, Nafsu Dzatis-suhumi wa Hamati wal-hayati wal-aqrabi, jiwa yang sifatnya suka menyindir-nyindir orang, menyakiti hati orang lain, dengki, dendam, dan sebagainya. Kelima, Nafsu Thusiyah, jiwa yang sifatnya suka menyombongkan diri, suka pamer, berlagak-lagu, busung dada, dan sebagainya.

Keenam, Nafsu Jamaliyah, jiwa yang mempunyai sifat tidak mempunyai sopan santun, kasih sayang, tenggang rasa sosial, tidak peduli dengan kesusahan orang lain. Yang penting, dirinya selamat dan mendapat untung.Ketujuh, Nafsu Qirdiyah, jiwa yang sifatnya suka mengejek, mencibir, sinis, dan suka melecehkan/memandang rendah  orang lain. Dewasa ini kehidupan kita selalu disuguhi segodang  hewaniah manusia tersebut.Sehingga kita sering dikorbankan .

Pada era modern ini, harus berani merobah pola pikir (maidnset) kita bahwa korban harus dimaknai “ memotong” sikap egoisme, tamak, nafsu serakah, rakus, korupsi, dan pembohong .  Sifat-sifat kebinatangan itulah yang selalu melekat pada manusia yang tidak mengenal strata sosial mulai kaum elit (besar) samapai kaum alit (kecil).

Bangsa Indonesia saat ini memerlukan orang yang cerdas dan mau berkorban untuk memikirkan masa depan bangsa. Apalagi saat ini banyak saudara kita yang kena pemutusan hubungan kerja (PHK), sehingga sulit untuk memenuhi kebetuhan hidup, dan lain sebagainya.  Artinya banyak saudara kita yang tiba-tiba menjadi miskin dan tidak punya harapan hidup.  Menurtu menteri ketenagakerjaan ( menaker) Yassierli,bahwa  periode Januari hingga April 2025 secara nasional ada 24.036 0rang yang kena korban PHK. Anehnya yang paling   banyak diraih Jawa Tengah yakni 10.692 yang terkena korban PHK.

Itulah sebabnya dalam merayakan Idul Adha ini merupakan momentum yang tepat untuk melakukan kebranian mengorbankan sebagian harta kita untuk menolong sesama  kepada mereka yang sedang membutuhkan. Dimensi vertikal dan horizontal ibadah korban adalah membentuk pribadi yang taat kepada Allah Swt. Sebagai manifestasi ketaatan  adalah seseorang yang bisa menolong saudara kita yang kena musibah dan menyayangi saudara kita yang tidak mampu.

Ketika Nabi Muhamad saw menjalani haji wada (perpisahan) memberi pesan untuk semangat berbagi , dan memberi perhatian sesama yang tidak mamapu. ”Sayangilah saudaramu yang ada d imuka bumi ini,niscaya yang di langit ( Allah) juga akan menyayangimu”( HR Muslim). Wallahu a’lam biashawab.

 

Dr Multazam Ahmad, MA, Wasekjen Pengurus Pusat  Dewan Masjid Indonesia,Sekertaris MUI Jawa Tengah dan Dosen FBS Universitas Negeri Semarang. Jatengdaily.com