Oleh: Dr.Ir.Andi Kurniawan Nugroho,ST,MT,IPM
Teknik Elektro Universitas Semarang
MENUJU Indonesia Emas 2045, bangsa ini memerlukan Sumber Daya Manusia (SDM) yang unggul, tidak hanya dari segi kecerdasan dan keterampilan, tetapi juga dari aspek kesehatan fisik dan mental. Di antara berbagai tantangan kesehatan anak yang dapat berdampak pada kualitas SDM masa depan, salah satu yang paling krusial namun kerap terabaikan adalah Autism Spectrum Disorder (ASD).

Gangguan perkembangan ini memengaruhi kemampuan komunikasi, interaksi sosial, dan perilaku anak. Sayangnya, di Indonesia, masih banyak kasus ASD yang tidak terdeteksi sejak dini, terutama di daerah dengan keterbatasan tenaga ahli dan layanan kesehatan.
Dalam konteks ini, kecerdasan buatan (Artificial Intelligence/AI) hadir sebagai solusi strategis yang mampu menjembatani kesenjangan layanan, memberikan deteksi dini yang akurat, dan membantu membangun generasi emas Indonesia yang inklusif dan berdaya saing global.
ASD bukan penyakit yang bisa didiagnosis hanya dengan pemeriksaan fisik sederhana. Diperlukan observasi perilaku jangka panjang, wawancara mendalam dengan orang tua, dan evaluasi dari psikolog atau psikiater anak.
Di kota besar, proses ini mungkin lebih mudah diakses. Namun di wilayah terpencil atau daerah dengan fasilitas kesehatan terbatas, orang tua sering kali tidak memiliki pengetahuan, akses, maupun waktu untuk melakukan deteksi sejak dini.
Anak-anak dengan ASD pun kerap tidak tertangani hingga usia sekolah, saat gejalanya sudah lebih berat dan memerlukan intervensi yang lebih kompleks. Di sinilah peran AI menjadi vital. Dengan algoritma yang mampu mempelajari pola-pola perilaku, ucapan, ekspresi wajah, hingga respon terhadap stimulus, sistem berbasis AI dapat membantu mengidentifikasi kemungkinan gangguan spektrum autisme pada anak usia dini.
Melalui aplikasi yang dapat diakses dari ponsel pintar, orang tua cukup mengisi kuesioner perilaku anak atau mengunggah rekaman video interaksi anak dalam kegiatan sehari-hari. AI kemudian menganalisis data tersebut dengan membandingkannya terhadap ribuan profil anak lainnya yang telah terdiagnosis, dan memberikan estimasi risiko ASD.
Teknologi ini sudah mulai diuji coba di beberapa negara maju, dan menunjukkan akurasi yang tinggi, bahkan pada anak usia di bawah 2 tahun. Jika diadopsi dan dikembangkan sesuai dengan konteks budaya serta bahasa lokal, teknologi serupa bisa menjadi alat yang sangat efektif di Indonesia—terutama untuk menjangkau wilayah-wilayah dengan minimnya tenaga ahli kesehatan jiwa anak.
Dengan deteksi dini, intervensi seperti terapi wicara, terapi okupasi, atau pendidikan khusus dapat segera diberikan, yang terbukti secara ilmiah mampu meningkatkan kemampuan fungsional anak dengan ASD secara signifikan.
Kecerdasan buatan juga memungkinkan penyusunan profil individual anak dengan ASD secara lebih personal. AI dapat mengolah data dari berbagai sumber—observasi guru, input orang tua, hasil terapi—untuk membentuk pemahaman holistik terhadap kebutuhan dan kekuatan masing-masing anak.
Dengan demikian, intervensi yang diberikan bisa lebih efektif, tidak bersifat umum, dan disesuaikan dengan kondisi setiap individu. Ini penting dalam menciptakan lingkungan belajar yang ramah, suportif, dan memberdayakan anak-anak berkebutuhan khusus sebagai bagian dari SDM Indonesia yang potensial.
Namun, keberhasilan pemanfaatan AI dalam deteksi ASD tidak lepas dari tantangan yang harus diatasi bersama. Salah satunya adalah kesenjangan digital yang masih terjadi di berbagai daerah. Untuk itu, perlu dukungan dari pemerintah dalam penyediaan infrastruktur internet dan perangkat digital yang terjangkau.
Selain itu, keamanan dan privasi data anak harus dijamin dengan regulasi yang kuat, agar informasi sensitif tidak disalahgunakan. Pelatihan kepada tenaga pendidik, kader kesehatan, dan orang tua juga perlu dilakukan agar teknologi ini dapat digunakan secara benar dan bermanfaat.
Meskipun demikian, peluang yang ditawarkan oleh AI sangat besar. Teknologi ini dapat menjadi perpanjangan tangan dari psikolog anak, membantu pendeteksian dalam skala populasi, dan mempercepat rujukan ke layanan kesehatan yang lebih kompeten.
Bahkan, dalam jangka panjang, AI bisa dimanfaatkan dalam perencanaan pendidikan inklusif, kebijakan sosial, dan integrasi anak-anak dengan ASD ke dalam masyarakat luas sebagai bagian dari pembangunan SDM yang setara dan adil. Menuju Indonesia Emas 2045, tidak boleh ada anak yang tertinggal dari perhatian negara, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus seperti ASD.
Dengan kecerdasan buatan sebagai jembatan solusi, bangsa ini dapat mempercepat deteksi dini, memperluas jangkauan layanan kesehatan mental anak, dan memastikan bahwa semua anak Indonesia—dari Sabang sampai Merauke—memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh, belajar, dan berkontribusi sesuai potensinya.
Autisme bukan akhir dari harapan, tetapi awal dari perjuangan untuk lebih memahami keberagaman dalam potensi manusia. Dengan AI sebagai alat bantu diagnosis dan pendamping tumbuh kembang, serta dukungan kolektif dari seluruh elemen bangsa, Indonesia sedang menapaki jalur yang inklusif menuju cita-cita besarnya: menjadikan setiap anak sebagai aset berharga dalam menyongsong masa depan Indonesia yang cemerlang di tahun 2045. Jatengdaily.com-St