Semarang Menjadi Panggung Kehidupan: Wayang Orang Turun ke Jalan, Membawa Srikandi ke Hati Warga

img_1757909027964

Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, turut mengenakan busana tokoh Sang Hyang Wenang.Foto:dok

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Malam Minggu (14/11) di kawasan Kota Lama Semarang seolah menjadi panggung raksasa. Jalanan yang biasanya hanya dipenuhi langkah wisatawan dan deru kendaraan, berubah menjadi ruang magis ketika gemerlap lampu sorot menyoroti para penari dan dalang dalam pagelaran “Wayang Orang on The Street”.

Di persimpangan Sayangan, ratusan pasang mata menatap tak berkedip. Lakon “Sang Pinilih”—kisah heroik Srikandi dalam perang Kurusetra—hidup kembali di hadapan publik, bukan di dalam gedung pertunjukan, melainkan di jalanan bersejarah Kota Lama.

Yang membuat suasana semakin istimewa, Wali Kota Semarang, Agustina Wilujeng, turut mengenakan busana tokoh Sang Hyang Wenang.

Di sisi panggung jalanan itu, sejumlah kepala OPD pun larut dalam peran-peran pewayangan, menghidupkan semangat gotong royong dalam seni tradisi yang semakin jarang disentuh generasi muda.

“Sempat grogi, karena saya tidak terbiasa dengan bahasa Jawa halus,” ucap Agustina sambil tersenyum lega usai tampil.

“Untung semua membantu, dan penonton pun ikut mencairkan suasana. Kami bisa berinteraksi, bahkan menggunakan bahasa Indonesia.”

Malam itu, bukan sekadar Srikandi yang menegakkan panahnya. Semangat kebangkitan wayang orang juga ditegakkan kembali.

Agustina menegaskan bahwa Wayang Orang on The Street adalah awal dari upaya membangkitkan kembali seni pertunjukan kebanggaan Semarang, Ngesti Pandowo.

“Ini take off-nya. Pemerintah Kota akan mendukung agar wayang orang bisa tampil lebih sering di berbagai titik kota,” katanya penuh keyakinan.

Harapan itu terbangun bukan hanya di antara para pejabat, tetapi juga dalam sorak penonton yang terpikat. Anak-anak muda yang biasanya akrab dengan musik modern dan budaya populer, malam itu turut hanyut dalam kisah pewayangan yang megah.

Tak hanya wayang, acara juga diperkaya dengan seni sastra dan musik. Samuel Wattimena, anggota DPR sekaligus desainer ternama, membuka pagelaran dengan puisi berjudul “Puisi Pembuka”.

Suaranya yang lantang kemudian dilanjutkan dengan lantunan lagu “Indonesia Pusaka”, menggandeng para guru besar dan hadirin untuk bersatu dalam rasa kebangsaan.

Wakil Wali Kota Semarang, Iswar Aminuddin, menegaskan bahwa wayang orang bukan sekadar hiburan.

“Pagelaran ini adalah warisan moral, ajaran nilai-nilai luhur bangsa. Seni ini bukan hanya pertunjukan, tetapi cermin kehidupan yang harus kita rawat,” ujarnya penuh penghormatan.

Di bawah langit Kota Lama, seni tradisi itu kembali berdenyut. Srikandi tak hanya hidup di atas panggung jalanan, tetapi juga di hati penontonnya. Semarang malam itu menjadi saksi: bahwa budaya, ketika turun ke jalan, bisa menjadi milik semua orang—hidup, dekat, dan penuh makna. St