in ,

Warak Ngendhog Dugderan, Cerminan Akulturasi Budaya

Warak ngendhog, maskot tradisi dugderan di Kota Semarang saat akan diarak Jumat (3/5/2019). Foto: adam

SEMARANG (Jatengdaily.com) – Tradisi dugderan di Kota Semarang menjelang bulan puasa, tak bisa lepas dari warag ngendhog. Bahkan tahun ini Pemkot Semarang membuat warag ngendhog raksasa setinggi 6 meter. Lalu, sebenarnya apa makna dari warag ngendhog hingga jadi ikon dugderan.

Warak ngendhog merupakan kreativitas budaya lokal yang menjadi maskot dalam tradisi ritual dugderan masyarakat Kota Semarang. Perwujudan warak ngendhog sebagai maskot dugderan merepresentasikan hewan rekaan berkaki empat yang unik, eksotik, dan ekspresif. Maskot tersebut secara simbolik mencerminkan akulturasi budaya Jawa, Arab, dan Cina yang merefleksikan pesan-pesan edukatif ajaran moral islami serta nilai harmoni kehidupan masyarakat multikultural.

Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah Gunoto Saparie mengatakan, dalam warak ngendhog unsur Jawa terwakili dalam postur warak yang mirip kambing, sementara unsur Cina ada pada kepalanya yang mirip dengan naga, sedangkan unsur Arab diwakili dengan bulu-bulu rambutnya.

Ciri khas bentuk yang lurus dari Warak Ngendhog menggambarkan citra warga Semarang yang terbuka, lurus, dan berbicara apa adanya, sehingga tak ada perbedaan antara kata hati dengan ucapan melalui lisan.

Warak Ngendhog, lanjut Gunoto, hanya ada pada tradisi Dugderan dan tidak ada pada perayaan lainnya. Hal ini menunjukkan adanya korelasi antara Warak Ngendog dan Dugderan. Ia merupakan salah satu tradisi yang mengandung kearifan lokal dalam menyambut bulan Ramadan.

“Dugderan dulu diadakan di tengah alun-alun depan Masjid Agung Semarang yang menjadi pusat dari semua kegiatan komunitas Cina, Jawa, dan Arab yang ada di kota ini,” ujarnya.

Gunoto Saparie

Menurut Gunoto, warak berasal dari bahasa Arab “waro’a”. Artinya, manusia harus menjaga diri dari hawa nafsu dan perbuatan yang tidak baik. Salah satunya dengan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui amalan puasa.

Puasa sangat bermanfaat bagi diri kita maupun masyarakat pada umumnya dan kita akan menerima pahalanya. Pahala dari perbuatan baik kita ini disimbolkan dengan telur atau bertelur yang dalam bahasa Jawa berarti “ngendhog”, sehingga jadilah warak ngendhog.

Gunoto menambahkan, warak ngendhog memiliki nilai-nilai filosofi yang sangat dalam. Kepala warak dengan mulut menganga menyeramkan mempunyai simbol tentang nafsu manusia yang cenderung serakah dan buruk. Badan warak dengan ekor yang tegak memiliki simbol tentang manusia yang berjuang keras dalam menjaga hawa nafsu dan meninggalkan perbuatan buruk.

“Bulu warak ngendhog yang berwarna-warni namun di perutnya mempunyai kendit dengan kombinasi warna lain adalah simbol jika manusia harus menjaga diri dari hawa nafsu dengan berpuasa sungguh-sungguh.

Sedangkan bulu warak ngendhog terbalik mempunyai simbol saat memasuki bulan Ramadan manusia harus bisa membalikkan diri dari urusan keduniaan menuju ke keakhiratan,” tandasnya.

Sedangkan dugderan sendiri merupakan festival khas Kota Semarang yang menandai dimulainya ibadah puasa di bulan suci Ramadan. “Dug” yang berarti bunyi yang berasal dari bedug yang dibunyikan saat ingin shalat Maghrib. Sementara “deran” adalah suara dari mercon yang dimeriahkan oleh kegiatan ini. Tradisi dugderan ini telah diadakan sejak tahun 1882 pada masa Kebupatian Semarang di bawah kepemimpinan Bupati R.M. Tumenggung Ario Purbaningrat. ugl-yds

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Kasus Anak Keracunan, BPOM: Coklatnya Kedaluwarsa & Tak Terdaftar

Stiepari Makin Kuatkan Kerjasama dengan Luar Negeri