Oleh: Ahmad Rofiq
HARI Santri Nasional yang akan dirayakan melalui upacara di Kampus-kampus UIN/IAIN/STAIN, dan sejumlah masjid maupun pondok pesantren Kamis ( 22/10/2020) merupakan pengakuan negara terhadap entitas dan model Pendidikan yang sangat berhasil menanamkan fondasi yang tegas dalam menghadapi gempuran modernitas.
Bagi para santri, modernitas adalah sesuatu yang sudah sejak awal sangat disadarinya. Karena seiring berjalannya waktu, kemajuan sain dan teknologi, pasti akan meniscayakan perlunya dasar ilmu keagamaan yang kuat, agar tidak mudah larut, tergerus, dan dicengkeram oleh deru modernitas dengan segala dampak buruknya. Karena itu, tema Hari Santri Nasional ke-6, 2020 ini, menjadi sangat strategis.
Bahkan sudah terbukti nyata, bahwa para santri dan para lulusan pesantren, mewarnai peran-peran strategis di belantara perpolitikan di tanah air, apakah itu lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Tentu karena beberapa pos jabatan tersebut, mengharuskan ada tambahan “Pendidikan formal” maka mereka pun siap mengikuti dan menambah syarat formal tersebut. Namun bagi posisi jabatan tertentu yang mencukupkan kompetensi keilmuan tanpa pendidikan formal tertentu, mereka sudah sangat siap menduduki posisi-posisi strategis tertentu, termasuk jabatan politik, apakah di partai politik, atau menduduki jabatan politik tertentu.
Bagi para santri, terminologi “santri” tidak pernah selesai, akan terus melekat pada dirinya, apalagi jika berhadapan dengan kyainya yang dulu mengejawantah dirinya, dari sosok calon santri hingga menjadi santri yang sudah memimpin pondok pesantren atau yang berkarir di berbagai jabatan organisasi kemasyarakatan maupun di partai politik atau kewirausahaan (entrepreneurship) lainnya. Ketika mereka sowan atau menghadap Kyainya, maka selama itu pula “watak” dan sikap santrinya akan terus terbawa.
Berapa sebenarnya jumlah santri di Indonesia? Hingga 2020, data santri diperkirakan 5 (lima) juta santri yang bermukim di pondok pesantren, yang hingga tahun 2020 ini ada 28.194 pondok pesantren, baik modern maupun salafiyah. Tidak mudah memang mendapatkan data jumlah santri yang tepat, boleh jadi karena pertumbuhannya demikian cepat. Laman m.hidayatullah.com membuat headline “Total 18 Juta Santri dan 28.000 Pesantren di Indonesia.
Memang pemerintah harus waspada, karena ada di antara beberapa pesantren, yang “sedikit berbeda orientasi” apalagi pesantren yang mengajarkan faham-faham yang berbeda dengan ajaran Islam wasathiyah (moderat). Menurut Menteri Agama Fachrul Razi, “jumlah pesantren hingga 2020 ini tercatat sebanyak 28.194 pesantren dengan 5 (lima) juta santri mukim. Kalau ditotalkan dengan santri “kalong” yang bolak balik rumah ke pondok pesantren serta taman Pendidikan Alquran dan madrasah ada 18 (delapan belas) jujta orang, dengan kurang lebih 1,5 juta tenaga pengajar (ustadz).
Ini disampaikan saat menutup Forum Musyawarah Pondok Pesantren (FMPP) se-Jawa dan Madura di Ponpes Lirboyo Kediri Jawa Timur (14/02/2020). Ilmu yang diajarkan kepada para santri adalah kemandirian, kewirausahaan, dan rasa kebangsaan yang begitu besar. Boleh jadi, tidak musti dimasukkan ke dalam struktur kurikulum di pesantren, karena kurikulum hampir serratus persen diisi dengan ilmu agama dan ilmu-ilmu alat yang terbagi ke dalam banyak mata pelajaran dan disiplin ilmu, tafsir, hadits, ulumul Qur’an, ulumul hadits, fiqh, ushul fiqh, Bahasa Arab, nahwu, Sharaf, balaghah, badi’, bayan, ‘arudl, dan lain sebagainya.
Ilmu-ilmu agama, utamanya ilmu fiqh dan ushul fiqh, ilmu Alquran dan ilmu Hadits, yang menjadi fondasi kuat dan tegar dalam menghadapi berbagai gempuran modernisasi dan modernitas. Bagi santri, sangat akrab dengan kaidah al-Muhafadhah ‘ala al-Qadim al-Shalih wa al-Akhdzu bi al-Jadid al-Ashlah. Artinya “memelihara nilai/tatanan lama yang baik dan mengambil nilai/tatanan baru yang lebih baik. Bagi orang tua yang menitipkan pendidikan putra-putrinya di pesantren, relatif merasa lebih aman dan nyaman, karena telah ditanamkan nilai-nilai dan fondasi agama yang kuat.
Karena itu, dengan modal fondasi ilmu dan nilai-nilai agama itulah, para santri merasa siap menghadapi berbagai gempuran dan tantangan modernitas dalam menghadapi masa depannya. Sayyidina ‘Ali bin Abi Thalib karrama Allah wajhahu berpesan dan inilah yang dipedomani Kyai, Ulama dan santri: “Didiklah anak-anakmu sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup bukan di zamanmu. Sesungguhnya mereka diciptakan untuk zamannya, sedangkan kalian diciptakan untuk zaman kalian”.
Dalam perspektif inilah, Islam merupakan ajaran yang sesuai dan cocok untuk semua waktu dan tempat (Al-Islam shalihun li kulli zamaan wa makaan). Selamat Hari Santri Nasional ke-6, Santri Kuat Indonesia Hebat. Allah al-musta’aan. Allah a’lam bi sh-shawab.
Prof Dr H Ahmad Rofiq MA, Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, dan Anggota Dewan Penasihat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat.Jatengdaily.com–st
GIPHY App Key not set. Please check settings