in ,

Mengelola Potensi Surplus Perdagangan Jawa Tengah

Oleh: Eko Suharto
Fungsional Statistisi Madya BPS Provinsi Jawa Tengah


KINERJA perdagangan luar negeri Jawa Tengah mengukir rekor baru. Selama dua bulan berturut-turut, neraca perdagangan Jawa Tengah mengalami surplus. Kondisi ini tentu berkontribusi positif memperkuat ketahanan eksternal perekonomian regional maupun nasional. Di sisi lain, akan berdampak positif pada prospek neraca transaksi berjalan nasional, yang diperkirakan dalam kisaran 1,5-2 persen terhadap PDB.

Neraca perdagangan atau balance of trade merupakan selisih antara nilai semua barang dan jasa yang diekspor dan diimpor dalam periode waktu tertentu. Neraca perdagangan memiliki porsi terbesar dalam neraca pembayaran karena menjadi indikator untuk mengukur seluruh transaksi internasional. Terlebih pada saat terjadi resesi ekonomi, surplus neraca perdagangan sangat diperlukan. Pada kondisi tersebut surplus perdagangan akan membantu peningkatan permintaan atas barang dan jasa. Imbasnya akan terjadi penciptaan lapangan pekerjaan.

Namun di sisi lain, catatan surplus ini memicu kekhawatiran. Terlebih ketika melihat nilai impor yang mengalami tekanan. Kondisi ini menunjukkan sisi penawaran maupun permintaan barang impor dalam posisi yang lemah. Dari sisi penawaran, negara asal barang belum mencukupi kebutuhan baku dan bahan penolong industri manufaktur Jawa Tengah. Dari sisi permintaan menunjukkan performa ekonomi Jawa Tengah dalam keadaan tidak baik-baik saja. Di mana output produksi berkurang dan berimbas pada pengurangan tenaga kerja.

Waspada Surplus
Perdagangan luar negeri memegang peranan penting pada perekonomian Jawa Tengah. Selama tahun 2019 ekspor memberikan sumbangan 42,43 persen terhadap struktur Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Jawa Tengah. Sementara impor memberikan porsi 45,38 persen. Dampaknya perubahan nilai ekspor impor berpengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi.

Ekspor Jawa Tengah Juni mengalami peningkatan dibandingkan bulan sebelumnya. Kenaikan nilai ekspor cukup signifikan sebesar 38,52 persen dari 456,42 juta dolar menjadi 632,23 juta dolar. Namun demikian, efek musiman lebih banyak berperan. Tren tahun tahun sebelumnya menunjukkan nilai ekspor selalu mengalami kenaikan setelah bulan di mana terdapat hari raya Lebaran.

Sebaliknya, ekspor kumulatif Januari- Juni 2020 mengalami penurunan dibanding periode yang sama tahun sebelumnya. Total volume Januari-Juni 2020 hanya mencapai 3.820,00 juta dolar, turun 6,57 persen dibanding Januari-Juni 2019 yang mencapai 4.088,43 juta dolar. Turunnya nilai ekspor selama semester I 2020 ini menunjukkan kinerja produksi tidak berjalan dengan baik.

Pelemahan kinerja produksi diakibatkan terutama penurunan permintaan dari negara-negara tujuan ekspor Jawa Tengah. Nilai ekspor mengalami kontraksi hampir ke seluruh negara tujuan ekspor. Negara pangsa pasar utama ekspor Jawa Tengah seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Tiongkok tengah mengalami pelambatan pertumbuhan ekonomi.

Ekspor ke Tiongkok bahkan mengalami kontraksi lebih dari 17 persen pada semester I ini dibanding periode yang sama pada 2019. Kondisi ini diperparah dengan masuknya beberapa negara tujuan ekspor Jawa Tengah mengalami resesi ekonomi seperti Singapura dan Korea Selatan. Dipastikan permintaan barang asal Jawa Tengah juga akan berkurang.

Penerapan pembatasaan sosial selama masa pandemi COVID-19 membuat aktivitas produksi terkendala. Beberapa pabrik berbasis ekspor menyatakan menutup sementara kegiatan produksinya. Demi membatasi penyebaran pandemi, pengurangan volume produksi menjadi pilihan. Pengurangan jam kerja ditempuh agar tidak terjadi penumpukan jumlah pekerja di pabrik. Di sisi lain, bahan baku produksi menjadi aral tersendiri, terutama industri yang menggunakan bahan baku impor. Puluhan perusahaan yang bergerak di bidang garmen, furniture dan vulkanisir angkat tangan dan menyetop proses produksinya.

Fenomena ini terlihat dari data impor Jawa Tengah selama semester I 2020. Total impor mengalami kontraksi 27,49 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Lebih mengkhawatirkan ketika mengulik data impor menurut penggunaan barang. Impor bahan baku dan penolong turun lebih dari 18 persen. Jika berlangsung terus- menerus, maka kinerja produksi makin tertekan dan berpengaruh pada ekspor Jawa Tengah.

Sejalan dengan peristiwa tersebut, impor barang modal juga mengalami penurunan lebih dalam mencapai 60,16 persen. Hal ini mengindikasikan investasi dan kegiatan industri yang melambat. Pasalnya, barang modal merupakan barang yang digunakan sektor industri dalam mendukung kelancaran produksi. Dapat dipastikan pelaku usaha menahan diri untuk melakukan ekspansi dan pengembangan usaha.

Kombinasi peristiwa-peristiwa tersebut membuat surplus neraca perdagangan Jawa Tengah terasa hambar. Mengingat konsekuensi yang muncul tidak hanya hal yang positif. Efek negatif turut membayangi ekonomi Jawa Tengah jika surplus yang terjadi akibat dalamnya kontraksi nilai impor berlanjut. Terlebih industri manufaktur memegang porsi terbesar dalam struktur PDRB Jawa Tengah.

Harapan Pemulihan
Tren melambatnya ekspor impor tidak hanya dialami Jawa Tengah, bahkan hampir seluruh provinsi mengalaminya. Ini merupakan konsekuensi yang dihadapi karena ekonomi global memang mengalami pelambatan. Namun demikian, perlu upaya strategis agar pelambatan dapat dikelola menjadi potensi pemulihan ekonomi Jawa Tengah.

Pertama, menggenjot ekspor komoditas unggulan pertanian. Ekspor komoditas pertanian Jawa Tengah justru tumbuh pada masa pandemi. Momentum ini harus dijaga dengan membuka pasar baru ekspor produk pertanian. Kopi, cengkeh dan teh sebagai produk unggulan perlu dikembangkan sehingga memiliki nilai tambah. Potensi pertanian Jateng perlu dikelola dengan lebih baik. Banyak produk yang dianggap sepele, ternyata memiliki pangsa pasar ekspor. Sebagai contoh, komoditas nanas berhasil melakukan pengiriman perdana ke Jedah pada Juni 2020.

Kedua, membuka pasar Jawa Tengah untuk komoditas ekspor sehingga ada serapan produk lokal. Upayanya dengan menerapkan program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN). Dapat dimulai dengan belanja OPD, lembaga, termasuk Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) agar memprioritaskan produk lokal Jawa Tengah.

Ketiga, mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Penyediaan bahan baku dalam negeri perlu lebih serius dikelola. Potensi bahan baku produk dalam negeri harus ditingkatkan. Namun harus ditunjang dengan kualitas produk dan harga yang terjangkau. Selama ini penyerapan bahan baku dalam negeri kurang disinyalir karena spek barang tidak sesuai kriteria. Ilustrasinya produk yang dihasilkan petani garam Jawa Tengah belum memenuhi standar industri makanan dan minuman. Perlu pembenahan kualitas dan kapasitas garam lokal agar dapat diserap.

Keempat fokus meningkatkan aktivitas industri yang produktif dan aman dari imbas COVID-19. Upaya ini akan cepat mengembalikan kondisi perekonomian Jawa Tengah. Tingkat produktivitas masyarakat dan industri serta penerapan protokol kesehatan harus dapat berjalan secara beriringan. Perlu diingat pemulihan ekonomi penting, namun jangan terlalu dipaksakan sehingga melupakan aspek kesehatan. Perlu irama yang harmonis agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga namun kesehatan masyarakat tetap terjaga. Jatengdaily.com-yds

What do you think?

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Bawaslu Jateng Imbau Matangkan Pilkada 2020

7 Pelaku Pengeroyokan Habib di Solo Ditangkap, 5 Tersangka