in ,

Mengkaji Tugas Ulama

Oleh Gunoto Saparie

PERNYATAAN Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) periode 2020-2025, K.H. Miftachul Akhyar, belum lama ini cukup menarik perhatian. Betapa tidak? Miftachul menyatakan bahwa tugas ulama adalah berdakwah tanpa mengejek. Tugas ulama adalah merangkul, bukan memukul, menyayangi bukan menyaingi, mendidik bukan membidik, membina bukan menghina, mencari solusi bukan mencari simpati, membela bukan mencela.

Sebenarnya siapakah ulama itu? 

Ulama, menurut bahasa Arab, adalah bentuk jamak dari kata ‘alim (orang yang berilmu). Siapa saja yang berilmu dan apa pun bidang ilmunya, disebut ‘alim. Ulama berarti orang-orang yang berilmu atau para ilmuwan. Alquran menyebut karakter ulama sebagai orang-orang yang takut kepada Allah sebagaimana tercantum dalam Surat Al-Fathir ayat 28.

 “Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.”

Ulama dalam terminologi Islam bukanlah sekadar orang yang berilmu, melainkan sebagai orang yang takut kepada Allah. Ia juga merupakan pewaris para nabi. Ini berarti, ulama dalam terminologi Islam adalah orang-orang yang berilmu dan ilmunya membentuk karakter takut kepada Allah dan mewarisi ciri-ciri utama para nabi. Ciri-ciri utama para nabi itu adalah menegakkan keyakinan tentang keesaan sang Pencipta, mengamalkan perintah-perintah Allah, membimbing masyarakat, serta membantu menyelesaikan masalah-masalah mereka sesuai dengan ajaran Tuhan.

Kalau kita mengacu pada Alquran, sesungguhnya selain Surat Al-Fathir tersebut ada dua ayat yang berkaitan dengan peran dan fungsi ulama. Satu ayat langsung secara tersurat terdapat kata-kata ulama, yaitu Surat Asy-Syu’ara ayat 197. Kemudian satu ayat lagi yang tidak langsung memuat kata-kata ulama, tetapi berkaitan dengan fungsi ulama, yaitu Surat At-Taubah ayat 122.

Ayat-ayat tersebut memuat kriteria utama dari ulama. Pertama, ulama harus tafaqquhu fiddin, yakni memahami ilmu agama secara mendalam. Posisi ulama selalu menjadi rujukan masyarakat untuk bertanya berbagai hal yang berkaitan dengan kehidupan mereka. Ulama adalah sosok yang dekat dengan masyarakat. Ulama adalah orang-orang yang bisa dipercaya oleh masyarakat.

Kedua, ulama adalah sosok yang memahami perkembangan keadaan. Ia juga merupakan sosok yang memahami perkembangan kondisi sosial dan ekonomi masyarakat dalam berbagai macam aspek. Ulama adalah sosok yang memahami dan mengerti zaman. Ulama juga tidak ketinggalan zaman. Ia selalu mencari informasi dan perkembangan hal-hal lainnya. 

Sedangkan ketiga, ulama sosok yang akhlakul karimah. Artinya, ulama memiliki integritas dan pribadi yang kuat serta menjadi panutan masyarakat. Jadi masyarakat bukan sekadar melihat pada ilmunya ulama, namun menilik pula pada opini, pendapat, akhlak, dan keseharian kehidupan ulama. 

Patron Sosial

Ulama memegang peran penting dalam kehidupan umat, mulai dari tempat bertanya tentang ajaran agama sampai kepada menyelesaikan problem masyarakat dalam ruang lingkup yang lebih luas. Ulama adalah figur-figur yang diidealisasikan oleh umat. Mereka adalah patron sosial, sosok yang diidealisasikan oleh kehidupan kultural.

M. Quraish Shihab mengatakan bahwa setidaknya terdapat empat peran dipikul di pundak para ulama, yaitu meliputi tabligh, tabayyun, tahkim, dan uswah. Melalui tablıgh, ulama menyampaikan makna Islam, mengajarkan inti agama, dan memberikan pendidikan Islam kepada masyarakat. Dengan tabayyun, ulama menafsirkan atau menjelaskan Alquran, mendefinisikan dan mengajarkan Alhadis kepada masyarakat. 

Sedangkan melalui tahkım, ulama mengeksplorasi sumber-sumber hukum Islam guna mengambil atau membuat keputusan serta kepastian hukum. Sementara melalui uswah, ulama menjadikan dirinya sebagai figur publik. Ulama memainkan peran sebagai pemimpin opini dalam konteks komunikasi pembangunan. 

Proses seseorang mendapat pengakuan sebagai ulama sesungguhnya tidak mudah. Ia harus melalui jalan panjang, berdarah-darah, dengan keringat dan air mata, di mana pada hakikatnya adalah pengujian yang berat dari masyarakat. Ada semacam seleksi sosial yang menyangkut mutu keilmuan, rekam jejak, dan integritas keperibadiannya. 

Bahwa hari-hari ini ada keluhan kalau proses seleksi sosial untuk menjadi ulama ini tampak semakin longgar, sehingga banyak muncul ulama abal-abal, tentulah karena pengaruh media massa dan media sosial, selain semakin lunturnya kualitas pengetahuan agama masyarakat. 

Kalau kita menengok pada zaman kerajaan-kerajaan Islam dulu, peran ulama menonjol sebagai bagian dari pejabat elite. Fungsinya adalah memperkokoh kedudukan pemimpin yang duduk di singgasana. Di Asia Tenggara, apalagi Indonesia, hubungan erat raja dan ulama memang bukan hal yang aneh. Ketika itu para ulama selalu berada di samping raja untuk memberi nasihat spiritual sekaligus memberi legitimasi politik di tengah rakyatnya. 

Dalam bidang hukum, ulama memegang peran sentral dalam membuat regulasi dan menentukan kehidupan keagamaan umat Islam. Akan tetapi, ulama tidak hanya sekadar sebagai penasihat raja. Para ulama juga menjadi penerjemah Islam ke dalam sistem budaya Indonesia. 

Kehadiran Islam di bumi Indonesia tidak terlepas dengan peran para ulama untuk menyebarkan Islam secara damai, sehingga mudah diterima oleh berbagai lapisan masyarakat. Wajah Islam yang berkembang di Indonesia atau Islam Nusantara adalah sama dengan Islam wasathiyah, yaitu Islam yang ada di tengah. Artinya, tidak berada dalam kutub ekstrem dalam pemahaman dan pengalamanya.

Islam di Indonesia menganut rukun Iman dan rukun Islam yang sama dengan kaum ahlu sunnah wal-jama’ah. Ortodoksi Islam Nusantara sederhananya memiliki tiga unsur utama: yaitu kalam (teologi) Asy’ariyah, fikih Syafi’i meskipun juga menerima tiga mazhab fikih sunni. Sedangkan ketiga, tasawuf Al-Ghazali.

Sejarah mencatat bagaimana perjuangan ulama dalam kemerdekaan Indonesia sangatlah penting. Secara totalitas ulama memberikan peran, mempertaruhkan jiwa dan raganya untuk Indonesia. Peran ulama yang sangat besar, dalam melawan penjajahan, merebut kemerdekaan, merumuskan negara ini, sampai mempertahankan kemerdekaan ulama selalu mengambil bagian. Keberadaan ulama memang sangat diperhitungkan.

Pelibatan Ulama

Ulama sejak zaman Orde Lama, Orde Baru, sampai Orde Reformasi, juga sering dilibatkan dalam upaya pemasyarakatan program pemerintah. Pentingnya melibatkan ulama dalam sosialisasi program pemerintah, karena masyarakat Indonesia, harus diakui, masih banyak yang bertindak sesuai fatwa atau arahan tokoh agama. Upaya pemasyarakatan tentang pentingnya protokol kesehatan untuk mencegah virus covid-19, misalnya, sangat membutuhkan peran ulama. 

Kita ingat bagaimana peran ulama sangat diperhitungkan dalam pemasyarakatan program keluarga berencana (KB) pada tahun 1970-an. Ketika itu banyak tokoh masyarakat yang menolak program KB karena menganggap bertentangan dengan ajaran agama. Akan tetapi, kini program KB telah diterima oleh masyarakat. Tidak ada lagi hambatan secara ideologis karena sebagian besar ulama telah memberi putusan hukum bahwa program KB dan kontrasepsi itu boleh dilakukukan, dengan syarat tidak terjadi pemandulan secara permanen.

Pelibatan ulama dalam upaya memasyarakatkan program pemerintah itu bukan hanya hanya karena mendalam ilmu mereka. Pengaruh ulama di tengah masyarakat tidak dapat diabaikan, karena dengan demikian memudahkan keterlibatan umat untuk mendukung. Umat memang sering menyandarkan perilaku dan keputusannya pada keyakinan agama mereka, selain patuh dan meneladani ulama.  

Peran strategis ulama memang tidak boleh diabaikan. Hal ini mengingat posisi ulama sebagai pemimpin umat yang secara sinergis harus bersamaan dengan pemerintah dalam upaya menghadapi persoalan kebangsaan. Peran ulama bersama pemerintah diharapkan lebih fokus untuk mengatasi gejolak sosial dan ekonomi yang hari-hari ini belum sepenuhnya stabil.

Karena ulama adalah pewaris para nabi, maka di tangan merekalah umat Islam menggantungkan harapan. Bukankah baik tidaknya sebuah masyarakat Islam itu tergantung pada ulama? Di zaman era globalisasi dan modernisasi ini, peran ulama justru sangat penting untuk memberikan fatwa dan arahan kepada umat. 

Gunoto Saparie adalah Fungsionaris ICMI Wilayah Jateng dan mantan Penyuluh Agama Madya Kanwil Kemenag Jateng. Jatengdaily.com–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Demi Tetap Bisa Rekaman, Astrid Bawa Peralatan Rekaman ke Rumah

Pemerintah Turun ke Daerah Sosialisasikan UU Cipta Kerja, Bahas Tata Ruang hingga Industri dan Perdagangan