Oleh Ahmad Rofiq
RABU 9 Desember 2020 besok, KPU menggelar pemilu kepala daerah (pilkada) sebanyak 270 kepala daerah, 9 pemilihan gubernur (pilgub), 224 pilbup, dan 37 pilwakot. Ironisnya, dari 270 daerah, ada 25 daerah (9,25%) yang lawannya adalah kotak kosong. Seandainya, 25 daerah itu masing-masing membutuhkan biaya Rp 50 miliar,- sampai dengan Rp 71,5 milyar,- atau dibuat rata-rata Rp 50 miliar, maka 25xRp 50 miliar,- = Rp 1.250 miliar,- atau Rp 1 Trilyun dan Rp 250 miliar.
Sudah berkali-kali saya menyampaikan aspirasi melalui tulisan baik di media cetak maupun online, apakah tidak bisa UU No. 10/2016 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 1/2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UU No. 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menjadi Undang-undang, terutama berkaitan dengan calon tunggal, supaya bisa ditetapkan secara langsung tanpa pemilihan.
Terlalu banyak alasan dan argumentasi bisa diajukan. Mulai dari alasan pertama, penghematan uang rakyat, kedua, untuk pengentasan kemiskinan, ketiga, menghindari makin maraknya kasus korupsi, keempat, rasionalitas dan menghargai martabat manusia, karena tidak diperhadapkan dengan lawan kotak kosong. Tentu ini bisa disepakati, jika ada niat baik untuk lebih mementingkan kemashlahatan umum dan rakyat, dibanding hanya sekedar memenuhi demokrasi “kotak kosong”.
Persoalan regulasi sebagai karya manusia, tentu UU No. 10/2016 bukan tidak mungkin untuk bisa dirubah. Namun untuk mengubah undang-undang, tentu harus ada kesungguhan para wakil rakyat dan menunggu antrian panjang. Belum lagi kalau tidak ada inisiatif dari para wakil rakyat di Senayan, karena boleh jadi masih dipandang sebagai aturan yang relevan, dalam kacamata “demokrasi” prosedural, yang sudah kehilangan “nurani keadilan” dan cenderung melahirkan “demagog demokrasi” atau demokrasi “seolah-olah”.
Data KPU menunjukkan Pilkada akan diikuti 100.359.152 warga yang tercatat memiliki hak pilih. Apakah mereka akan memilih calonnya, atau memilih kotak kosong? Karena memilih kotak kosong juga merupakan bagian dari hak politik yang “dijamin” oleh undang-undang. Namun secara akal sehat, tentu ini merupakan problema serius yang sangat urgen dicari akar penyelesaiannya.
Dalam pemikiran sederhana saya, dan ini sudah saya tulis beberapa kali, bahwa dana besar untuk dua 25 daerah yang pasangan calon kepala daerahnya tunggal dan melawan kotak kosong, dalam perspektif fiqh, bisa disederhanakan dengan langsung ditetapkan. Dan ini kiranya lebih mashlahat, katimbang pilkada berbiaya sangat mahal tetapi “hanya” melawan kotak kosong.
Analogi dengan format shalat berjamaah, idealnya, atau mungkin jemaat lainnya, maka kepentingan masyarakat — atau jamaah — harus didahulukan. Apalagi misalnya, ada lembaga riset yang mengkaji terhadap kinerja para pejabat yang diangkat sebagai pelaksana tugas (PLt), yang diangkat sebagai pejabat yang bersifat sementara dan “tidak terbebani” oleh biaya politik yang mahal, maka prestasi dan penilaian pekerjaannya, dapat dinyatakan lebih baik, karena lebih serius dan on the right track.
Atas dasar ilustrasi di atas, penunjukan/pelantikan langsung pasangan calon tunggal, layak dipertimbangkan oleh para wakil rakyat, agar UU No. 10/2016 tentang Pemilihan Gubernur, Walikota, dan Bupati, untuk direvisi agar lebih rasional, berkeadilan, berkemanusiaan, dan bermartabat. Biaya pilkada untuk 25 daerah, bisa dialokasikan untuk pengentasan warga yang masih belum beruntung, agar mereka bisa hidup layak dan menikmati kebahagiaan.
Kepala daerah memang dapat menentukan arah dan perjalanan warga di daerah di mana seorang gubernur, walikota, dan bupati, diamanati rakyatnya. Akan tetapi tidak sedikit, yang karena ambisi dan cara mendapatkan jabatan itu, melalui jalan yang “berbiaya sangat mahal”, akhirnya “kapal” yang dinakhodainya oleng dan bahkan terhanyut dalam jurang korupsi, dan rakyat sangat dirugikannya.
Karena itu mindset dan paradigma pemikiran yang dibangun adalah bahwa kepala daerah bukan tujuan, tetapi amanat lima tahun, yang harus dijalankan dan dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat, negara, dan di hadapan Tuhan. Semoga pilkada yang akan datang, tidak ada lagi pasangan calon tunggal. Dan kalau ada daerah yang pasangan calonnya tunggal, daripada harus melawan kotak kosong, lebih baik langsung ditetapkan saja. Kiranya lebih bermartabat. Para wakil rakyat yang terhormat, kiranya tidak perlu ewuh pekewuh untuk merevisi UU Pilgub, Walikota, dan Bupati. Quo Vadis Pilkada Lawan Kotak Kosong.
Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. alumnus Madrasah Tasywiqu th-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Jateng, dan Ketua DPS Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung (SA) Semarang. Jatengdaily.com–st
GIPHY App Key not set. Please check settings