Loading ...

Urban Farming, Pembuktian di Tengah COVID-19

0
m fatichudin

Oleh: Moh Fatichuddin
Kepala Bidang Statistik Produksi BPS Provinsi Bengkulu
(putra Bumiayu Brebes)

OPIK Mahendra di sebuah media lokal Jawa Tengah 24 Agustus 2020 menuliskan bahwa petani di masa pandemi COVID-19 bisa dikatakan sebagai pahlawan perekonomian nasional. Selanjutnya di halaman berbeda harian tersebut memberitakan Wali Kota Semarang Hendi (Hendrar Prihadi) mendorong urban farming dalam rangka pencapaian ketersediaan pangan bagi masyarakat. Sebuah pernyataan yang sangat wajar di tengah hantaman pandemi COVID-19 dan ancaman masuk jurang resesi ekonomi.

Pertanian merupakan sektor yang “tahan” terhadap serangan krisis, tahun 1998 saat terjadi krisis ekonomi yang berdampak pada jatuhnya perekonomian nasional hingga -13,10 persen, namun sektor pertanian masih tumbuh positif 0,26 persen. Demikian juga saat krisis ekonomi global 2008, pertanian menjadi salah satu sektor yang tumbuh positif selain sektor industri dan sektor konstruksi. Bahkan di 2008 tersebut, pertumbuhan sektor pertanian mengalami peningkatan dari 13,7 persen di 2007 menjadi 14,4 persen 2008.

Penduduk yang bertambah dari waktu ke waktu sangat berpengaruh pada pertanian, tuntutan kebutuhan perumahan dan kegiatan ekonomi lainnya menjadikan berkurangnya lahan yang diusahakan sektor pertanian. Dampak pembangunan mengarah pada pergeseran pedesaan menjadi perkotaan, sehingga nantinya tuntutan kebutuhan pangan akan berasal dari penduduk perkotaan.

Paul Tang dalam Urban Agriculture the future of farming (2020) menyampaikan bahwa perkotaan harus berjuang untuk menjadi produsen makanan, tidak hanya jadi konsumen semata. Ungkapan ini sangat tepat kiranya di tengah-tengah wabah COVID-19 dan ancaman resesi ekonomi yang mungkin dihadapi, sehingga tepatlah kiranya urban farming menjadi alternative solusi. Urban farming adalah suatu system pertanian yang diterapkan di tengah perkotaan.

Manfaat
Beberapa manfaat yang dapat dinikmati baik secara ekonomi, kesehatan dan lingkungan. Secara ekonomi urban farming akan menghasilkan bahan pangan yang bisa dikonsumsi sendiri ataupun dijual. Secara kesehatan akan lebih aman karena kita mengawasi langsung proses budi dayanya mulai dari penanaman sampai panen. Tidak adanya penggunaan bahan kimia yang berbahaya, penggunaan pupuk nonorganic diganti dengan pupuk organik, sehingga hasil panen aman dan menyehatkan untuk dikonsumsi.

Bagi lingkungan, melakukan kegiatan cocok tanam di perkotaan, dapat mereduksi polusi lingkungan, menambah keasrian lingkungan serta mengurangi sampah rumah tangga (diolah menjadi pupuk organik). Selain itu, hasil panen dari Urban farming dapat mencukupi kebutuhan pangan sehat di lingkungan sekitar. Urban farming dapat membentuk ruang hijau di tengah perkotaan sehingga sangat mungkin dapat mereduksi polusi udara karena keberadaan tanaman tersebut akan menyerap karbon dan gas-gas rumah kaca. Dalam sekala besar urban farming dapat berperan pula dalam pencegahan perubahan iklim.

Urban farming dapat juga memiliki unsur estetik dan keindahan, sehingga wilayah perkotaan yang dikenal kumuh dapat “disulap” menjadi wilayah yang hijau dan indah. Keindahan tersebut selanjutnya dapat dikembangkan menjadi modal pengembangan pariwisata dan ataupun pembentukan cagar budaya di wilayah perkotaan. Kelebihan yang jelas di depan mata adalah kendala minimnya lahan yang ada dapat di atasi.

Tantangan
Namun demikian urban farming juga memiliki tantangan, kemampuan pengetahuan dari masyarakat perkotaan tentang budi daya pertanian sangat mungkin masih rendah sebagai dampak dari terbiasanya mereka menjadi “konsumen” sehingga pemerintah perlu melakukan pembinaan yang lebih. Ditambah penerapan urban farming sangat tergantung pada kesediaan masyarakat, bukan suatu kewajiban. Pembinaan dari pemerintah mutlak diperlukan agar masyarakat tahu dan tertarik. Pembinaan sangat mungkin dilakukan dengan online, mengingat akses dan penguasaan internet penduduk perkotaan relatif tinggi. Sehingga masyarakat perkotaamn akan terjaga dari penyebaran COVID-19.

Rendahnya pengetahuan tentang proses bisnis pertanian dan infrastruktur di urban farming sangat mungkin menyebabkan kelalaian yang berdampak akan menjamurnya genangan air, selanjutnya akan menjadi tempat berkembangnya spesies nyamuk yang menyebarkan Malaria. Lemahnya ketrampilan dan infrastruktur dapat menjadi penyebab kegagalan urban farming. Lori Hoagland dalam penelitiannya berjudul Urban Agriculture: Environmental, Economic, and Social Perspectives, menyampaikan kesalahan pada praktik urban farming dapat menyebabkan meningkatnya polusi suara dan udara, banjir serta pemborosan energi, terutama air.

Pandemi COVID-19 memberi pelajaran kepada masyarakat kota bagaimana harus memenuhi kebutuhan pangan. Penduduk perkotaan harus berjuang untuk memenuhi kebutuhan pangannya sendiri. Perlu inovasi-inovasi dari penduduk perkotaan dalam penerapan urban farming. Beberapa inovasi sudah beredar di dunia maya, contohnya bagaimana budidaya tanaman kangkung dilakukan di media ember dengan ikan lele sebagai tumpangsarinya. Mungkin hal ini menganalogkan kegiatan mina padi yang sudah dilakukan oleh masyarakat pedesaan selama ini.

Urban farming sangat ideal menjadi solusi, untuk suksesnya urban farming masyarakat dan pemerintah perlu bersinergi dalam menyikapi manfaat dan tantangan urban farming. Menjadikan tantangan sebagai peluang sehingga sangatlah pas bahwa era new normal ini adalah waktu yang tepat bagi pembuktian urban farming. Jatengdaily.com-yds

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version