in

Memahami Kebijakan Akhir Tahun BI

Gunoto Saparie


Oleh Gunoto Saparie

KEPUTUSAN Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan belum lama ini memang di luar ekspektasi pelaku pasar. Rapat Dewan Gubernur BI edisi November 2020 memutuskan untuk menurunkan BI 7 Day Reverse Repo Rate sebesar25 basis poin (bps) menjadi 3,75%. Sedangkan suku bunga Deposit Facility turun menjadi 3% dan suku bunga Lending Facility sekarang di 4,5%. Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia pada 16-17 Desember 2020 memutuskan untuk mempertahankan keputusan sebulan sebelumnya tersebut.

Kebijakan akhir tahun 2020 oleh BI itu dinilai konsisten dengan prakiraan inflasi yang tetap rendah dan stabilitas eksternal yang terjaga, serta upaya untuk mendukung pemulihan ekonomi. BI memperkuat sinergi kebijakan dan mendukung berbagai kebijakan lanjutan untuk membangun optimisme pemulihan ekonomi nasional, melalui pembukaan sektor-sektor ekonomi produktif dan aman covid-19, akselerasi stimulus fiskal, penyaluran kredit perbankan dari sisi permintaan dan penawaran, melanjutkan stimulus moneter dan makroprudensial, serta mengakselerasi digitalisasi ekonomi dan keuangan.

Harus diakui, para pelaku pasar memang sempat tergagap karena tidak sempat memprediksi langkah dan kebijakan BI itu. Konsensus para pengamat menghasilkan proyeksi BI 7 Day Reverse Repo Rate tetap di 4%. Artinya, suku bunga acuan berubah untuk kali pertama sejak Juli atau empat bulan. BI 7 Day Reverse Repo Rate kini berada di di posisi terendah sejak diperkenalkan pada Agustus 2016 menggantikan BI Rate.

Penguatan kerangka operasi moneter yang dilakukan BI ini merupakan hal yang lazim dilakukan di berbagai bank sentral dan merupakan best practice internasional dalam pelaksanaan operasi moneter. Kerangka operasi moneter senantiasa disempurnakan untuk memperkuat efektivitas kebijakan dalam mencapai sasaran inflasi yang ditetapkan. Instrumen BI 7-day (Reverse) Repo Rate digunakan sebagai suku bunga kebijakan baru karena dapat secara cepat memengaruhi pasar uang, perbankan dan sektor riil. Instrumen BI 7-Day Repo Rate sebagai acuan yang baru memiliki hubungan yang lebih kuat ke suku bunga pasar uang, sifatnya transaksional atau diperdagangkan di pasar, dan mendorong pendalaman pasar keuangan, khususnya penggunaan instrumen repo.

Sebagai langkah lanjutan untuk mempercepat pemulihan ekonomi nasional, BI memang harus tetap berkomitmen untuk mendukung penyediaan likuiditas, termasuk dukungannya kepada pemerintah dalam mempercepat realisasi APBN Tahun 2020. Dalam hal ini, BI harus melanjutkan kebijakan stabilisasi nilai tukar rupiah agar sejalan dengan fundamental dan mekanisme pasar. Di samping itu, ia juga harus memperkuat strategi operasi moneter untuk mendukung stance kebijakan moneter akomodatif.

Oleh karena itu, langkah BI layak diapresiasi ketika ia akan terus mencermati dinamika perekonomian dan pasar keuangan global serta penyebaran covid-19 dan dampaknya terhadap prospek perekonomian Indonesia dari waktu ke waktu. Hal ini dilakukan untuk menentukan langkah-langkah kebijakan lanjutan yang diperlukan dalam mempercepat program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Koordinasi kebijakan yang erat dengan pemerintah dan Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) perlu diperkuat untuk menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, serta mempercepat pemulihan ekonomi nasional.

Ketahanan Faktor Eksternal
Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) boleh dikatakan cukup baik, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal. NPI triwulan III 2020 mencatat surplus, didorong oleh perbaikan transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial yang kembali surplus. Surplus neraca perdagangan meningkat yang bersumber dari perbaikan ekspor seiring dengan pemulihan ekonomi global dan penyesuaian impor akibat permintaan domestik yang belum kuat. Sementara itu, surplus transaksi modal dan finansial didorong oleh berlanjutnya aliran masuk modal asing sejalan dengan besarnya likuiditas global, tingginya daya tarik aset keuangan domestik, dan terjaganya keyakinan investor terhadap prospek perekonomian domestik.

Defisit transaksi berjalan diprakirakan tetap rendah didorong oleh surplus neraca barang yang berlanjut. Neraca perdagangan November 2020 mencatat surplus sebesar 2,61 miliar dolar AS, melanjutkan surplus pada bulan sebelumnya sebesar 3,58 miliar dolar AS. Sementara itu, aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik berlanjut, tercermin dari investasi portofolio yang mencatat net inflows sebesar 2,54 miliar dolar AS pada periode Oktober hingga 15 Desember 2020. Posisi cadangan devisa Indonesia akhir November 2020 tetap tinggi, yakni 133,6 miliar dolar AS, setara pembiayaan 9,9 bulan impor atau 9,5 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pemerintah, serta berada di atas standar kecukupan internasional sekitar 3 bulan impor. Ke depan, defisit transaksi berjalan diprakirakan akan di bawah 1,5% dari PDB pada tahun 2020 dan sekitar 1,0-2,0% dari PDB pada tahun 2021, sehingga mendukung ketahanan sektor eksternal ekonomi Indonesia.

Harus diakui, nilai tukar rupiah hari-hari ini menguat sebagai akibat langkah-langkah stabilisasi BI dan berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Nilai tukar rupiah pada November rata-rata menguat 3,94% (ptp) dibandingkan dengan level Oktober 2020. Perkembangan ini melanjutkan penguatan pada bulan sebelumnya sebesar 1,74% (ptp) atau 0,67% secara rerata dibandingkan dengan level September 2020. Penguatan nilai tukar rupiah berpotensi berlanjut seiring levelnya yang secara fundamental masih undervalued. Hal ini didukung defisit transaksi berjalan yang rendah, inflasi yang rendah dan terkendali, daya tarik aset keuangan domestik yang tinggi, dan premi risiko Indonesia yang menurun, serta likuiditas global yang besar.

Inflasi tetap rendah sejalan permintaan yang belum kuat dan pasokan yang memadai. Inflasi inti melambat sejalan pengaruh permintaan domestik yang belum kuat, konsistensi kebijakan BI dalam mengarahkan ekspektasi inflasi pada kisaran target, harga komoditas dunia yang rendah, dan stabilitas nilai tukar yang terjaga.
Langkah-langkah Stabilisasi BI
Nilai tukar rupiah terjaga didukung langkah-langkah stabilisasi BI dan berlanjutnya aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik. Nilai tukar rupiah pada 16 Desember menguat 0,63% secara rerata, meskipun melemah terbatas 0,04% secara point to point dibandingkan dengan level November 2020. Perkembangan nilai tukar rupiah yang terjaga didorong peningkatan aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik seiring dengan menurunnya ketidakpastian pasar keuangan global dan persepsi positif investor terhadap prospek perbaikan perekonomian domestik.

Dengan perkembangan ini, rupiah sampai dengan 16 Desember 2020 mencatat depresiasi sekitar 1,72% (ytd) dibandingkan dengan level akhir 2019. Kita berharap, agar BI tetap konsisten menjaga stabilitas harga dan memperkuat koordinasi kebijakan dengan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah, guna mengendalikan inflasi sesuai kisaran targetnya.

Sejalan dengan kebijakan moneter dan makroprudensial akomodatif yang ditempuh BI, kondisi likuiditas tetap longgar sehingga mendorong suku bunga terus menurun dan mendukung pembiayaan perekonomian. Ekspansi moneter Bank Indonesia serta percepatan realisasi anggaran dan program restrukturisasi kredit perbankan diharapkan dapat mendorong penyaluran kredit dan pembiayaan bagi pemulihan ekonomi nasional.

Ini berarti, sinergi ekspansi moneter BI dengan akselerasi stimulus fiskal pemerintah dalam mendorong pemulihan ekonomi nasional memang harus terus diperkuat. BI melanjutkan komitmen untuk pendanaan APBN Tahun 2020 melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) dari pasar perdana dalam rangka pelaksanaan Undang-Undang Nomor.2 Tahun 2020, baik berdasarkan mekanisme pasar maupun secara langsung, sebagai bagian upaya mendukung percepatan implementasi program PEN, dengan tetap menjaga stabilitas makroekonomi. Dengan sinergi ini, pemerintah dapat lebih memfokuskan pada upaya akselerasi realisasi APBN Tahun 2020 untuk mendorong pemulihan perekonomian nasional.

Logikanya, penurunan suku bunga acuan akan menurunkan suku bunga kredit. Akibatnya, permintaan akan kredit dari perusahaan dan rumah tangga akan meningkat. Penurunan suku bunga kredit juga akan menurunkan biaya modal perusahaan untuk melakukan investasi. Aktivitas perekonomian pun akan terdorong akibat peningkatan aktivitas konsumsi dan investasi.

Memang, memangkas suku bunga tidaklah semudah membalikkan tangan. Akan tetapi, BI memang harus melakukannya. Meskipun BI yang memegang dua mandat untuk menjaga stabilitas dan juga pro terhadap pertumbuhan harus mampu bersikap responsif dan akomodatif serta berhati-hati dengan adanya risiko terhadap kemungkinan pelemahan kurs rupiah. Kebijakan akhir tahun BI yang menurunkan BI 7-Days( reverse) Repo Rate tersebut memang bukan satu-satunya variabel untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi. Kebijakan tersebut harus disunergikan dengan kebijakan lain yang diterapkan oleh pemerintah.

Kebijakan itu antara lain adalah pembangunan infrastruktur ekonomi (jalan tol, pelabuhan, bendungan, pembangkit listrik, dan sebainya) dan upaya peningkatan investasi langsung, baik PMA dan PMDN, seperti misalnya perbaikan implementasi online single submission (OSS), pemberian insentif fiskal serta kemudahan berusaha baik di tingkat pusat dan daerah, serta reformasi birokrasi dan perizinan melalui Omnibus Law.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia Wilayah Jawa Tengah. Jatengdaily.com–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Aktivitas Merapi Meningkat, Warga Babadan 1 Kembali Mengungsi

Etika Profesi Hukum di Era Milenial