Loading ...

Padi Jateng, Penopang Sekaligus Penahan Laju Produksi Nasional

0
01tri karjono bps jateng


Oleh : Tri Karjono
ASN BPS Provinsi Jateng

BARU saja BPS merilis angka produksi padi dan beras tahun 2020 (01/03/2021). Secara nasional total produksi yang disampaikan menjadi kabar yang sedikit menggembirakan. Berdasarkan metode KSA yang mulai diperkenalkan sebagai satu-satunya metode untuk menghitung luas tanam dan luas panen padi menggantikan metode eye estimate sejak tahun 2018, dengan produksi 54,65 juta ton gabah kering giling (GKG) pada tahun 2020 menunjukkan terjadinya kenaikan produksi sebesar 0,05 juta ton atau 0,09 persen. Jika dikonversi menjadi beras maka terjadi kenaikan 0,02 juta ton dari 31,31 juta ton di tahun 2019.

Jumlah tersebut berasal dari luas panen yang sebenarnya justru mengalami penurunan seluas 0,02 ribu hektar dibanding tahun sebelumnya. Dari sini terlihat bahwa kenaikan produksi lebih disebabkan oleh terjadinya peningkatan produktivitas GKG setiap hektarnya yang secara rata-rata meningkat 0,35 kuintal dari 51,35 menjadi 51,70 kuintal.

Penopang Produksi Nasional
Sejak sebelum lahirnya bangsa ini, sepertinya pulau Jawa telah ditakdirkan menjadi salah satu wilayah yang sangat cocok menjadi tempat budidaya tanaman pokok bangsa ini. Bahkan hingga saat sekarang pun pulau yang dari sisi wilayah tidak sampai 7 persen dari seluruh wilayah daratan Indonesia ini masih mendominasi suplai GKG nasional lebih dari 56 persen.

Akibat perkembangan penduduk dengan segala kompleksitas kebutuhannya maka pengalihan fungsi lahan sawah yang masif tak terelakkan terjadi di beberapa dekade terakhir. Situasi tersebut memunculkan ide penambahan lahan sawah baru di luar pulau Jawa. Namun kenyataan proyek yang telah dirancang dan dilaksanakan sejak orde baru hingga terakhir dengan program food estate-nya sepertinya belum menampakkan hasil yang cukup signifikan.

Jawa Tengah sebagai bagian dari wilayah dengan daya dukung budidaya padi yang bagus serta budaya masyarakat yang telah kadung lekat dengan mata pencaharian menanam padinya, menjadi bagian yang cukup menentukan bagi kontinuitas jumlah produksi padi nasional. Tercatat bahwa selama ini Jawa Tengah tidak lepas dari posisi tiga besar dalam menyuplai produksi padi dan beras nasional.

Bahkan sejak Banten menjadi provinsi sendiri terpisah dari Jawa Barat, Jawa Tengah menjadi penantang utama bagi Jawa Timur untuk bisa menduduki posisi kampiun. Dan hasilnya tahun 2019 mampu mengkudeta Jawa Timur sebagai produsen padi dan beras nasional tertinggi. Catatan terakhir, 17,37 persen GKG nasional disuplai dari Jawa Tengah.

Pada saat bersamaan, rilis mencatat bahwa pada tahun 2020 ini produksi padi GKG Jawa Tengah sebanyak 9,49 juta ton. Jika dikonversi menjadi beras maka akan diperoleh sebanyak 5,43 juta ton. Jumlah ini berasal dari luas panen selama tahun 2020 sebanyak 1,67 juta hektar dari luas baku sawah seluas 1,05 hektar yang ada. Dari luas panen dan luas baku sawah serta total produksi tersebut dapat diketahui bahwa indeks pertanaman padi Jawa Tengah mencapai 1,59 kali tanam dalam setahun dengan produktivitas sebanyak 5,68 ton GKG per hektar.

Jika merujuk pada asumsi tingkat konsumsi beras penduduk Jawa Tengah sebanyak 111,58 per kapita per tahun (BPS, 2019), serta merujuk pula pada jumlah penduduk Jawa Tengah hasil sensus penduduk 2020 sebanyak 36,52 juta jiwa, maka kebutuhan beras selama setahun sebanyak 4,07 juta ton. Artinya untuk mencukupi kebutuhan beras Jawa Tengah pada tahun 2020 masih terjadi surplus sebanyak 1,36 juta ton. Dengan demikian, produksi padi Jawa Tengah tetap mampu menghidupi masyarakat lain di luar provinsi ini.

Menurun
Lebih dari itu sebenarnya ada yang perlu dicermati dari hasil rilis ini. Jika secara nasional produksi padi mengalami kenaikan, tidak demikian halnya dengan situasi di Jawa Tengah. Jika dibandingkan dengan produksi tahun 2019 sebanyak 9,66 juta ton, maka dengan total produksi tersebut menunjukkan terjadinya penurunan GKG sebanyak 0,17 juta ton atau 1,72 persen. Ini menjadi sedikit tanda tanya ketika produksi nasional mengalami kenaikan, laju yang searah tidak terjadi di Jawa Tengah.

Jawa Timur sebagai pesaing dan tetangga dekat seakan tidak terjadi masalah apapun. Terbukti produksi GKG Jawa Timur justru mengalami kenaikan yang cukup tinggi sebanyak 0,36 juta ton GKG atau 3,8 persen. Alhasil posisi juara atau produsen padi terbanyak secara nasional di tahun 2019 berikut penghargaan yang diperoleh dari Kementerian Pertanian saat itu tidak mampu dipertahankan di tahun 2020 ini dan harus rela kembali diambil alih Jawa Timur.

Jika secara nasional penurunan lebih pada berkurangnya salah satu variabel saja yaitu luas panen, penurunan produksi Jawa Tengah terjadi akibat penurunan di kedua variabel penghitungan produksi yaitu luas panen dan produktivitas. Jika luas panen pada tahun 2019 seluas 1,68 juta hektar, pada tahun ini hanya 1,67 juta hektar atau turun 0,69 persen. Dengan kondisi tersebut mengakibatkan indeks pertanamannya sedikit menurun dari 1,60 menjadi 1,59 kali.

Beberapa fenomena terjadi di tahun 2020 yang sekiranya menjadi penyebab penurunan luas panen ini. Di antaranya adalah bencana alam. Seperti diketahui pada awal tahun di beberapa wilayah Jawa Tengah mengalami berbagai bencana di antaranya banjir yang mengakibatkan beberapa wilayah sentra padi gagal panen atau harus dipanen ketika belum saatnya tiba.

Demikian pula yang terjadi di pertengahan tahun. Walau sebenarnya kemarau yang terjadi pada tahun lalu menurut BMKG secara umum merupakan kemarau basah tetapi ternyata masih ada sebagian wilayah seperti Blora, Rembang, Pati mengalami kekeringan. Ini mengakibatkan bulir padi menjadi tidak penuh sempurna bahkan ‘gabug’.

Jika dilihat dari produktivitas per hektarnya, pada tahun 2020 juga mengalami penurunan. Jika pada tahun 2019 sebesar 5,75 ton GKG per hektar maka pada tahun 2020 turun menjadi 5,68 ton atau turun rata-rata 70 kilogram per hektar. Menurunnya produktivitas dimungkinkan akibat terjadinya fenomena kelangkaan pupuk subsidi serta serangan OPT seperti wereng coklat dan tikus yang terjadi di beberapa bulan pertengahan tahun 2020 yang justru terjadi di beberapa sentra produksi utama. Masa di mana semestinya menjadi peluang ketika kecukupan air di beberapa wilayah sangat memungkinkan untuk bisa menambah produksi ternyata tidak mampu didukung oleh faktor pendukung utama yang lain.

Akibat fenomena alam yang terjadi di akhir tahun 2019 juga berpengaruh pada produksi padi di tahun 2020. Kemarau panjang dan ekstrim di tahun sebelumnya mengakibatkan awal musim hujan mengalami kemunduran. Musim tanam di sub-round III/2019 pun mengalami pergeseran. Alhasil panen padi raya di awal tahun 2020 yang biasanya terjadi di bulan Februari-Maret mundur menjadi Maret-April.

Penahan Laju Produksi Nasional
Dengan dominannya peran terhadap total nasional menjadikan penurunan produksi padi yang terjadi di Jawa Tengah membuat laju kenaikan nasional menjadi tertahan. Jika saja produksi padi Jawa Tengah setidaknya mampu bertahan dengan jumlah produksi yang sama dengan kondisi tahun sebelumnya maka dapat dipastikan akan menjadikan laju produksi nasional yang lebih tinggi.

Dengan kondisi tersebut saja setidaknya akan mejadikan produksi nasional mencapai kenaikan 4 kali lipat dari yang sekarang (0,38 persen). Maka akan lebih tinggi lagi jika produksi padi Jawa Tengah tahun 2020 tersebut mampu mengalami peningkatan. Seperti halnya surplus beras yang terjadi secara nasional tahun 2019 yang lalu justru lebih rendah dibanding surplus yang terjadi di Jawa Tengah, artinya saat itu Jawa Tengah mampu menutupi penurunan di wilayah lain sekaligus berkontribusi penuh pada kenaikan total produksi nasional.

Dari uraian di atas, dengan potensi yang ada sebenarnya ada hal-hal yang masih bisa diusahakan untuk mampu berproduksi lebih baik. Diantaranya adalah peningkatan efektifitas banyak embung yang telah dibangun pada proyek prioritas beberapa tahun yang lalu, utamanya disaat terjadi kemarau yang cukup panjang. Di samping itu ketersediaan pupuk dalam jumlah yang cukup pada saat dibutuhkan oleh petani.

Bagaimanapun di lapangan masih terjadi kesenjangan komposisi kebutuhan pupuk setiap luasan pada wilayah tertentu antara hitungan pemerintah dengan kebiasaan petani untuk menghasilkan produksi yang maksimal. Sehingga ketersediaan di lapangan dirasa oleh sebagian wilayah terjadi kekurangan atau kelangkaan. Demikian halnya dengan penanganan terhadap OPT yang cepat dan tepat akan memberi harapan yang lebih baik. Jatengdaily.com-yds

Facebook Comments Box

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version