Belajar Puasa dari Tukang Bangunan

3 Min Read

Oleh : Gus Anies Maftuhin

PELAJARAN terpenting dari ibadah puasa adalah soal ketakwaan yang sering kita dengar tapi seringpula kita abaikan.

Menjalani ketakwaan memang tak semudah menjelaskan pengertian dan makna makna yang dikandungnya. Selain butuh kegihihan dan kepayahan, orang yang ingin menjadi manusia bertakwa pun harus berani jujur pada nuraninya dalam setiap gerak badan dan ucapan hatinya.

Dalam ibadah puasa ini misalnya, tak sedikit orang yang justru mengabaikan ketakwaan. Dengan dalih puasa, lalu membenarkan kemalasan kemalasan yang menjadi ciri utama orang yang tak bertakwa. Ya, ada yang malas berpikir, ada pula yang malas bekerja atau menggerakkan anggota tubuhnya untuk menunaikan tugas serta tanggung jawabnya.

Ini pula yang kemudian digunakan oleh nalar kita untuk membenarkan kurangnya kreatifitas dan produktifitas kita. Akibatnya, tanpa sadar kita telah memposisikan ibadah puasa sebagai beban berat yang boleh mengalahkan tugas dan tanggung jawab kita sebagai seorang khalifatullah fil ardhi yang harus tetap bergerak memenuhi hak hak orang orang yang bertumpu pada kita.

Nah, ada baiknya kita belajar dari para pekerja kasar atau para tukang bangunan yang tetap bekerja dengan penuh ketakwaan dengan segala kepayahan mereka. Kalau boleh beralasan dengan puasa mereka tak perlu bekerja untuk memenuhi nafkah keluarganya, pastilah itu yang akan mereka lakukan. Namun, lagi lagi ketakwaan memang membutuhkan tekad dan kepayahan. Apapun mereka harus tetap bekerja dan menjalankan ibadah dengan sekuat tenaga.

Bahkan, fikih pun sudah menegaskan bahwa pekerjaan seberat apapun, kewajiban puasa Ramadhan tetap harus tetap mereka jalankan. Hanya saja, bila di tengah pekerjaan ada kepayahan yang luar biasa, maka mereka diperbolehkan membatalkan puasanya.

Keterangan itu digamblangkan oleh Syekh Muhammad Nawawi Al-Bantani dalam Nihayatuz Zein fi Irsyadil Mubtai’in. Menurut beliau, para pekerja berat itu seperti halnya orang yang sakit ringan. Artinya, mereka tidak boleh membatalkan puasanya, alias tetap wajib berpuasa sejauh ia tidak membahayakan dirinya.

Lantas, bagaimana dengan orang orang yang bekerja di kantoran: karyawan, aparatur sipil negara (ASN) dan pekerja pekerja lain yang kepayahannya tak sedahsyat para kuli bangunan? Tentu saja, harusnya malu kepada Tuhan bila menjadikan ibadah puasa sebagai alasan untuk menuntut berbagai keringanan waktu dan target yang telah ditentukan.

Begitulah ibadah puasa itu hendaknya dijalankan. Tidak seyogyanya menjadi beban berat dan rintangan. Produktifitas dan totalitas bekerja tetap harus diupayakan sebagai wujud ketakwaan, yakni dalam rangka memenuhi kewajiban dan hak hak orang lain dengan sebaik baiknya sebagaimana diperintahkan oleh Allah, Tuhan Semesta Alam.

*Gus Anies Maftuhin, Pengasuh Ponpes Wakaf Literasi Islam Indonesia (WALI) Salatiga dan Pegiat Literasi Islam.Jatengdaily.com-st

0
Share This Article
Privacy Preferences
When you visit our website, it may store information through your browser from specific services, usually in form of cookies. Here you can change your privacy preferences. Please note that blocking some types of cookies may impact your experience on our website and the services we offer.