Oleh: Adnan PW
Statistisi Muda BPS Kabupaten Tegal
JAWA TENGAH, jantung pulau Jawa yang sarat sejarah. Pusat kekayaan dan keberagaman budaya, menjadi panggung kontradiksi menarik antara kesejahteraan manusia dan kerawanan politik. Indeks Pembangunan Manusia (IPM), sebagai barometer pencapaian pembangunan manusia, memberikan secercah harapan bagi kemajuan masyarakat di Jawa Tengah.
Namun, di tengah meningkatnya kesejahteraan ini, muncul pertanyaan menarik: Sejauh mana demokrasi dan integritas pemilu mengikuti jejak kemajuan tersebut? Apakah kesejahteraan benar-benar menciptakan pondasi demokrasi yang kuat, atau apakah ada kerawanan pemilu yang mengintai di balik kejayaan pembangunan manusia?
Hirarki Pembangunan Manusia dan Kerawanan Pemilu
Jawa Tengah memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif tinggi, yaitu 73,39 pada tahun 2023, menempati peringkat ke-13 dari 34 provinsi di Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa masyarakat di Jawa Tengah memiliki kualitas hidup yang relatif baik, akses yang luas terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan pendapatan per kapita yang layak.
Pada sisi lain, Jawa Tengah juga diwarnai tingkat kerawanan pemilu yang relatif tinggi. Indeks Kerawanan Pemilu (IKP) Jawa Tengah tahun 2023 sebesar 34,83, menunjukkan tingkat kerawanan sedang, menduduki peringkat ke-20 dari 34 provinsi. Hal ini mengindikasikan bahwa Jawa Tengah mempunyai potensi kerawanan keamanan yang dapat dengan mudah menganggu proses pemilihan umum dan perlu mendapatkan antisipasi.
Ketika melihat hubungan antara IPM dan kerawanan pemilu di Jawa Tengah, terdapat beberapa temuan menarik dari data yang ada. Ada beberapa kabupaten/kota dengan nilai IPM yang tinggi namun juga memiliki tingkat kerawanan pemilu yang tinggi, seperti Kota Semarang (IPM 84,43 dan IKP 73,26), Kota Salatiga (IPM 84,99 dan IKP 46,88), dan Kota Surakarta (IPM 83,54 dan IKP 36,56). Sebaliknya, terdapat kabupaten/kota yang memiliki IPM yang rendah namun memiliki tingkat kerawanan pemilu yang rendah pula, seperti Kebumen (IPM 71,88 dan IKP 2,42) dan Purbalingga (IPM 70,51 dan IKP 22,86).
Kerawanan Pemilu
Beberapa faktor dapat menjelaskan paradoks di atas. Pertama, meskipun IPM yang tinggi mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang baik, namun hal tersebut tidak serta merta menjamin terciptanya tatanan politik yang baik. Proses demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi yang aktif, adil, dan bebas, serta penegakan hukum yang kuat.
Ada kecenderungan bahwa kabupaten/kota yang memiliki IPM tinggi juga memiliki kerawanan pemilu yang tinggi. Hal ini mungkin disebabkan oleh persaingan politik yang semakin ketat di daerah-daerah dengan pembangunan yang baik.
Dalam suasana persaingan yang ketat, pihak-pihak yang merasa kepentingannya terancam dapat cenderung melakukan praktik-praktik curang untuk memenangkan pemilu. Daerah-daerah dengan IPM tinggi mungkin memiliki akses informasi yang baik. Ini dapat membuat opini publik lebih terinformasi, tetapi juga dapat meningkatkan risiko manipulasi informasi atau propaganda yang dapat mempengaruhi kerawanan pemilu.
Namun, ada juga kabupaten/kota yang mampu mengatasi paradoks ini. Contohnya adalah Kota Magelang (IPM 81,17 dan IKP 16,04) dan Karanganyar (IPM 77,31 dan IKP 12,55), yang memiliki IPM yang tinggi namun tingkat kerawanan pemilu yang rendah. Hal ini mungkin disebabkan oleh adanya komitmen kuat dari pemerintah dan masyarakat setempat dalam menjaga integritas pemilu. Selain itu, lembaga-lembaga penegak hukum yang kuat dan adanya partisipasi yang aktif dari masyarakat dalam pengawasan pemilu juga dapat menjadi faktor yang mendukung.
Dukungan Pemerintah dan Masyarakat
Dalam menghadapi paradoks ini, perlu dilakukan berbagai upaya untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia tanpa melupakan tatanan politik yang sehat. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk membangun kesadaran akan pentingnya pemilu yang bebas dan adil. Partisipasi masyarakat yang lebih besar dalam proses pemilu, sebagai pemilih maupun pemantau, juga merupakan langkah penting dalam menjaga integritas pemilu.
Dalam konteks Jawa Tengah, penting juga untuk dicatat bahwa data yang diberikan hanya merupakan sekumpulan angka dan tidak mencakup semua variabel yang dapat mempengaruhi hubungan antara IPM dan kerawanan pemilu. Oleh karena itu, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mendapatkan pemahaman yang lebih komprehensif tentang faktor-faktor yang mempengaruhi hubungan ini.
Secara kesimpulan, terdapat paradoks antara kualitas pembangunan manusia dan kerawanan pemilu di Jawa Tengah. Meskipun IPM yang tinggi dapat mengindikasikan kualitas pembangunan manusia yang baik, namun hal tersebut tidak serta merta menjamin terciptanya tatanan politik yang baik. Perlu dilakukan upaya yang komprehensif untuk meningkatkan kualitas pembangunan manusia tanpa mengabaikan tatanan politik yang sehat. Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam menjaga integritas pemilu.Jatengdaily.com-st