Menjelajah Negeri Pertanian Jawa Tengah

Oleh: Diana Dwi Susanti S.ST
Statistisi Madya BPS Kabupaten Tegal
PERTANIAN adalah salah satu sektor riil yang dibutuhkan oleh manusia. Manusia membutuhkan pangan yang berasal dari tumbuh-tumbuhan dan hewani yang disebut dengan sektor pertanian. Kebutuhan lain manusia berupa pakaian, bahannya disediakan oleh sektor pertanian. Saat ini pun seharusnya sektor pertanian bisa menjadi sumber energi terbarukan menggantikan fosil yang tidak bisa diperbarui. Sektor pertanian menjadi sangat penting karena memiliki banyak peranan dan bisa menjadi daya ungkit perekonomian suatu bangsa.
Selain itu, sektor pertanian juga sangat menjanjikan untuk menjadi peluang peningkatanan pembangunan ekonomi suatu wilayah. Potensi sumber daya alam yang luar biasa, jumlah permintaan yang sangat banyak dan terus meningkat baik digunakan untuk pangan, pakan, energi maupun untuk industri lainnya, merupakan peluang usaha yang sangat menggiurkan, mulai dari produk pertanian pangan, peternakan, perikanan, kehutanan dan perkebunan.
Beruntung posisi Indonesia berada tepat di bawah garis khatulistiwa. Ini menyebabkan wilayahnya mendapat penyinaran matahari sepanjang tahun. Ditambah banyaknya gunung vulkanik yang bertebaran di hampir semua wilayah, menjadikan tanah subur dan kaya akan zat hara yang diperlukan tumbuhan. Oleh sebab itu, Indonesia disebut sebagai negara agraris.
Sebagai negara agraris sebagian besar masyarakatnya memiliki sumber penghasilan dari pertanian. Apakah Jawa Tengah menjadi salah satu bagian dari negeri agraris tersebut? Jika ditilik dari posisi geografis dan letak, Jawa Tengah mempunyai kekayaan alam yang mendukung pertanian.
Posisi Jawa Tengah terletak pada 5o40’–8o30’ LS dan 108o30’–111o30’ BT. Letak astronomis ini menyebabkan Jawa Tengah memiliki curah hujan dan kelembaban yang cukup tinggi. Secara umum, rata-rata suhu udara di Jawa Tengah berkisar antara 23,2oC-32,5oC, dengan kelembaban berkisar antara 61-97%. Sementara itu, banyaknya curah hujan rata-rata 4.661 mm, dengan frekuensi hari hujan 246 hari per tahun (www.jateng.bps.go.id ).
Jawa Tengah Lumbung Pangan Nasional
Jawa Tengah merupakan salah satu wilayah yang cocok untuk budidaya tanaman pertanian dan perkebunan. Selain karena memiliki curah hujan yang cukup, juga memiliki lahan subur terbentang di berbagai lereng gunung yang ada di Jawa Tengah. Hal ini disebabkan wilayahnya berada pada jalur cincin api dunia (ring of fire) dan memiliki banyak gunung berapi yang masih aktif, yaitu gunung Slamet, Sindoro, Merbabu, Merapi dan Ungaran. Keberadaan gunung aktif ini menjadikan daerah di sekitar lereng gunung menjadi wilayah yang cukup subur untuk budidaya tanaman pertanian dan perkebunan.
Jika ditilik dari data Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia, kontribusi sektor pertanian Jawa Tengah menduduki peringkat empat besar nasional setelah Provinsi Jawa Timur, Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Utara. Sumbangan sektor pertanian Jawa Tengah terhadap nasional sebesar 8,70 persen (www.bps.go.id).
Ini menempatkan Provinsi Jawa Tengah sebagai salah satu daerah penyangga pangan nasional atau dikenal dengan sebutan lumbung pangan nasional. Karena Jawa Tengah mempunyai potensi pertanian sangat tinggi.
Potensi unggulan pertanian yang dimiliki Jawa Tengah antara lain, tanaman pangan, hortikultura dan peternakan. Masing-masing mempunyai kontribusi yang cukup besar pada level nasional. Tanaman pangan berada pada level tiga besar setelah provinsi Jawa Timur dan Jawa Barat. Bahkan hortikultura mempunyai kontribusi terbesar pada seluruh hortikultura yang diusahakan di Indonesia. Sedangkan peternakan berada pada posisi kedua setelah Jawa Timur (www.bps.go.id)
Peranan sektor pertanian di Jawa Tengah dalam perekonomian menduduki peringkat tiga atau sebesar 13,53% setelah sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan terhadap PDRB Jawa Tengah (www.jateng.bps.go.id) . Dari sisi kontribusi tenaga kerja, sektor pertanian masih paling tinggi dalam menyerap tenaga kerja di Jawa Tengah atau sebesar 29,78%. Sedangkan sektor industri pengolahan dan perdagangan masing-masing hanya menyerap tenaga kerja sebesar 19,09% dan 18,50%.
Jawa Tengah beruntung mempunyai mesin penggerak PDRB sektor pertanian yang menjadi andalan setelah sektor industri pengolahan. Setidaknya untuk memenuhi kebutuhan pangan, Jawa Tengah tidak terlalu sulit meskipun di masa pandemi. Sektor Pertanian adalah salah satu sektor tangguh dalam menghadapi badai resesi ekonomi. Zona ekonomi paling kuat bertahan dari dampak pandemi Covid19 di saat jasa dan manufaktur terpuruk. Sektor pertanian Jawa Tengah merupakan bagian dari lumbung pangan nasional dan menjadi tumpuan pangan dari berbagai daerah di Indonesia.
Petani Aktor yang Rapuh
Pertanian Jawa Tengah mempunyai prestasi yang membanggakan di tingkat nasional, yaitu sebagai wilayah lumbung pangan nasional. Namun tidak dengan aktornya. Pertani Jawa Tengah masih menjadi petani yang sederhana dengan usaha konvensionalnya. Ini sangat bertolak belakang dengan hasil yang dicapainya.
Seiring pembangunan yang terus berjalan, pertanian sering mendapat ancaman. Dengan dalih dan alasan peningkatan kemakmuran. Pertanian semakin terpinggirkan dengan berbagai proyek raksasa seperti jalan tol, pembangunan pabrik, bandara, pembangkit listrik hingga pemukiman rumah tangga. Penguasaan lahan bisa jadi kian menunjukkan kepincangan.
Luas lahan pertanian secara umum di Jawa Tengah semakin hari semakin berkurang. Banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi lahan bukan pertanian menjadi faktor utama dalam pengurangan lahan pertanian. Kementerian ATR mencatat, tahun 2013 luas lahan pertanian di Jawa Tengah mencapai 1.103.774 hektar. Namun besaran luasan lahan pertanian ini menyusut pada tahun 2019 menjadi 1.049.662 hektar atau berkurang 54.112 hektar.
Seperti diketahui bersama, bahwa terdapat hubungan yang nyata antara luasan lahan terhadap produksi yang dihasilkan. Jika rumah tangga usaha pertanian mengusahakan lahan pertanian yang cukup luas maka akan berbanding lurus dengan produksinya. Pada keadaan normal yaitu cuaca, dan iklim mendukung pertanian, gangguan organisme pengganggu tanaman tidak signifikan dan harga pasar sesuai dengan keadaan pasar normal maka dengan produksi pertanian yang tinggi akan berpengaruh positif terhadap pendapatan petani. Keadaan seperti ini akhirnya akan berujung pada kesejahteraan petani.
Menilik dari kondisi luas lahan yang dikuasai petani, ternyata Jawa Tengah mempunyai kontribusi petani gurem yang besar dari pada tuan tanah atau petani yang menguasai lahan berhektar-hektar. Petani gurem sangat berlawanan dengan tuan tanah karena hanya menguasai lahan pertanian tidak lebih dari 0,5 hektar.
Berdasarkan hasil Sutas (Survei Pertanian Antar Sensus) 2018, struktur rumah tanga usaha pertanian ditinjau dari penguasaan lahan pertanian terlihat rumah tangga petani Jawa Tengah yang menguasai lahan lebih dari 5 hektar hanya 0,12%. Rumah tangga yang menguasai lahan 3-5 hektar sebesar 0,30%. Sedangkan rumah tangga pertanian yang menguasai lahan 1-3 hektar sebanyak 5,10%. Rumah tangga petani yang menguasai lahan 0,5-1 hektar tercatat 13,53%.
Dengan melihat struktur rumah tangga usaha pertanian menurut penguasaan lahan pertanian terlihat bahwa rumah tangga usaha pertanian di Jawa Tengah lebih cenderung mengelompok dalam penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektar dengan persentase 80,95%. Mereka inilah dimasukkan ke dalam kelompok petani gurem. Jika dibandingkan dengan hasil Sensus Pertanian 2013, persentase petani gurem di Jawa Tengah meningkat pada tahun 2018. Tahun 2013, persentase petani gurem tercatat 73,57% (www.jateng.bps.go.id) .
Selain permasalahan besarnya petani gurem, penuaan petani juga menjadi isu hangat di Jawa Tengah. Pada tataran global, isu penuaan petani kurang mendapat perhatian dibandingkan dengan isu-isu lain, misalnya isu penurunan produksi akibat perubahan iklim. Padahal masalah penuaan petani merupakan tantangan demografi serius yang perlu mendapat perhatian karena menyangkut keberlanjutan sektor pertanian.
Hasil analisis dari data Survei Antar Sensus 2018, proporsi petani dengan umur 55 tahun keatas mencapai 44,46%. Kelompok ini dikategorikan kelompok petani tua. Proporsi terbesar lainnya terdapat pada petani kelompok umur 45–54 tahun yang mencatat sebesar 28,29%. Bisa dikatakan mayoritas umur petani di Jawa Tengah berusia 45 tahun keatas dengan proporsi sebesar 72,75%. Sisanya adalah petani muda.
Sedangkan hasil Sensus Pertanian 2013 menunjukkan sebagian besar petani berada pada kelompok umur 45 tahun keatas dengan proporsi 70,48 persen. Kondisi ini justru menggambarkan ada peningkatan jumlah petani tua selama lima tahun terakhir. Perkembangan data survei antar sensus tersebut menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan struktural dengan berkurangnya tenaga kerja muda di sektor pertanian.
Perubahan struktural demografi ketenagakerjaan sektor pertanian menunjukkan bahwa menurunnya minat tenaga kerja pertanian sudah menjadi fenomena umum yang perlu mendapat perhatian secara serius dari pengambil kebijakan dalam rangka menyelamatkan sektor pertanian.
Menyongsong Sensus Pertanin 2023
Untuk menjawab semua tantangan pertanian di Jawa Tengah, Badan Pusat Statistik menggelar Sensus Pertanian 2023 selama 1 Juni – 31 Juli 2023. Sensus Pertanian 2023 bertujuan untuk mengumpulkan statistik dasar sektor pertanian secara lengkap dan menyeluruh.
Apakah Jawa Tengah masih pantas disebut negeri agraris? Atau Jawa Tengah masih sebagai lumbung pangan nasional? Bagaimana nasib petani Jawa Tengah setelah lima tahun terakhir? Apakah ada harapan tumbuh petani muda di Jawa Tengah? Atau malah semakin melimpah jumlah petani tua di Jawa Tengah. Semua ini akan terjawab dengan hasil Sensus Pertanian 2023. Sensus Pertanian 2023 Mencatat Pertanian untuk kedaulatan pangan dan kesejahteraan petani. Jatengdaily.com-st