Pernahkah Baca Karya Sastra Malaysia?

Oleh: Nia Samsihono
Indonesia dan Malaysia berasal dari rumpun budaya yang sama yaitu Melayu. Indonesia menggunakan bahasa Melayu, demikian pula Malaysia. Namun, pada perkembangannya, kedua negara menampilkan perbedaan dalam menulis karya sastra meskipun keduanya berasal dari rumpun budaya yang sama.
Sastra Indonesia berkembang dari sastra Melayu Klasik atau Sastra Lama. Sastra pada waktu itu terlihat khas dilihat dari bentuk, diksi, majas, citraan, pola rima, dan matra. Di kehidupan sastra Indonesia, sastra lama dikenal sebagai gurindam, hikayat, karmina, pantun, syair, talibun, dongeng, dan lainnya. Pantun dan dongeng masih berkembang sampai sekarang. Di Malaysia syair lebih banyak berkembang di samping pantun dan dongeng.
Pada tahun 1928 bangsa Indonesia berikrar menetapkan bahasa Indonesia sebagai bahasa negara dan bangsa. Sejak saat itu bahasa Indonesia memiliki corak sendiri dan menjauh bentuknya dari bahasa awalnya yaitu bahasa Melayu. Kesusastraan Indonesia dengan kesusastraan Malaysia semakin berbeda. Karya sastra di Indonesia berkembang pesat di bidang puisi, cerita pendek, novel, dan drama.
Karya sastra Indonesia banyak dibaca oleh orang Malaysia. Sedangkan karya sastra Malaysia kurang dinikmati oleh rakyat Indonesia. Hanya sebagian kecil karya sastra Malaysia dipelajari di Indonesia dan biasanya untuk kepentingan akademis di Fakultas Bahasa dan Sastra. Sastra Indonesia semakin meninggalkan roh melayunya sementara Malaysia tetap mempertahankan kemelayuan itu.
Indonesia dan Malaysia juga membentuk majelis yang dinamai Mastera yang diikuti oleh Indonesia-Malaysia-Brunei Darussalam. Mastera Indonesia kadang melaksanakan kegiatan untuk 3 negara, antara lain Program Penulisan Mastera (Majelis Sastra Asia Tenggara) Peserta yang ikut kegiatan berasal dari 3 negara. Hasil pelatihan tersebut dapat meningkatkan kualitas kemampuan penulis sastra, terutama generasi muda, dari 3 negara yang terlibat.
Perkembangan sastra juga telah membuat negara Malaysia, Brunei Darussalam, Singapura, Indonesia, Thailand, dan Filipina melaksanakan forum sastra besar bernama Pertemuan Penyair Nusantara (PPN). Ini adalah forum dua tahunan yang membicarakan identitas kemelayuan dalam kesusastraan serumpun.
Salah satu ciri dari setiap pertemuan ini, pantun Melayu selalu ditampilkan. Namun pertemuan seperti itu tidak bisa berkembang dan mendekatkan sastra dari berbagai negara itu, kendalanya adalah bahasa. Penulis sastra dari Indonesia sudah menggunakan bahasa Indonesia untuk menulis karyanya.
Mengapa kesusastraan Indonesia dan Malaysia yang bersumber sama menjadi berbeda? Terlepas apakah karena penjajahan Belanda di Indonesia telah membangkitkan semangat nasionalisme menciptakan bahasa Indonesia, pada kenyataannya karya sastra Indonesia banyak dibaca oleh rakyat Malaysia. Sedangkan karya sastra Malaysia masih kurang diminati pembaca Indonesia.
Pembaca Indonesia membaca karya asing seperti Little House on The Prairi karya Laura Ingals Wilder atau membaca Gone with The Wind, Hamlet, Romeo and Yuliet, Quo Vadis Domine dan lainnya tetapi karya sastra yang ditulis pengarang Malaysia dapat dihitung dengan jari tangan bahkan mungkin ada pembaca yang belum pernah membacanya. Hal itu mungkin karena gaya dan bahasa Melayu yang digunakan dalam sastra Malaysia menyebabkan pembaca Indonesia teringat pada sastra lama, yaitu karya yang mendayu-dayu berisi nasihat atau petatah-petitih.
Begitu jauhnya perbedaan jumlah pembaca karya sastra. Karya sastra Indonesia banyak dibaca orang Malaysia dan karya sastra Malaysia tidak banyak dibaca oleh orang Indonesia. Namun kini ada penghubung kedekatan antara Indonesia dan Malaysia untuk dunia sastra. Indonesia telah menciptakan bentuk sastra baru yang dinamai puisi esai.
Bentuk puisi esai diciptakan oleh Denny JA. Ia ketika itu ingin menulis dengan medium baru yang mewadahi tulisan yang dapat menyentuh hati, mengisahkan manusia konkret, menggunakan bahasa yang mudah dimengerti publik tapi tersusun indah, menggambarkan dinamika sosial serta dinamika karakter pelaku. Untuk melengkapi semua itu perlu acuan fakta yang dituliskan pada catatan kaki. Denny JA telah merumuskan bentuk itu sebagai puisi esai dan ia berhasil menuliskannya dalam karya sastra.
Bentuk sastra puisi esai ternyata diminati penulis di Malaysia, khususnya di Sabah. Oleh karena menulis puisi esai tidak perlu menjadi sastrawan terlebih dahulu. Siapa pun dapat menulis puisi esai untuk mendokumentasikan peristiwa sosial yang ada di sekitarnya dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami pembaca. Kegiatan sastra puisi esai marak di ASEAN, antara lain di Thailand, Singapura, Malaysia, dan Brunei Darussalam.
Di Indonesia, karya puisi esai juga sudah banyak diciptakan hampir di setiap provinsi. Kegiatan penulisan puisi esai terus berlangsung. Di Sabah Malaysia sudah 2 kali dalam dua tahun berturut-turut mengadakan Festival Puisi Esai. Bahkan ada guru yang menggunakan puisi esai untuk menjelaskan materi ajar di sekolahnya. Siswa akan aktif mencari sumber rujukan untuk dijadikan acuan di dalam catatan kaki.
Konon menurut guru di Sabah, siswa lebih antusias dalam mengikuti pelajaran. Dengan demikian, karya sastra puisi esai akan menarik untuk dibaca oleh pembaca sastra di Indonesia. Ada hal yang bersangkutan dengan kehidupan sosial atau konflik sosial yang mungkin terekam dalam puisi esai dari Malaysia yang dapat menjadi wawasan baru bagi pembca di Indonesia. Di Indonesia juga akan terus digiatkan penulisan karya sastra dalam bentuk puisi esai. Ada rencana puisi esai akan diperkenalkan kepada siswa-siswa di sekolah di Indonesia.
Dengan demikian, siswa akan lebih terlatih dan antusias dalam mencermati pelajarannya dan menuliskannya dalam bentuk puisi esai. Siswa akan lebih peka terhadap kata yang akan dijadikan alat untuk menulis. Siswa lebih paham makna sebuah kata dan asal-usul kata itu serta meletakkan fakta yang dijadikan acuan sebagai catatan kaki. Semoga para siswa menjadi terbiasa untuk menganalisis dan kritis saat menerima informasi baru dalam kehidupan mereka dengan menggunakan sarana belajar dalam bentuk puisi esai.
Oleh karena ada bentuk baru yang diberi nama puisi esai, kemungkinan karya puisi esai dari Malaysia akan diminati pembaca Indonesia karena di dalamnya melukiskan pergolakan sosial yang ada di Malaysia. Dinamika sosial dan dinamika karakter tokoh dalam puisi esai di suatu wilayah sangat menarik untuk dicermati. Kita akan tahu budaya masing-masing wilayah yang ditulis dalam puisi esai.
*Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta. Jatengdaily.com-st