in

Jejak Langkah Penyair Muda 1970-an dalam Pusaran Zaman

Oleh Nia Samsihono

Dekade 1970-an merupakan salah satu periode penting dalam sejarah kesusastraan Indonesia, terutama dalam perkembangan puisi modern. Pada era ini, muncul gelombang penyair muda yang membawa angin segar dan dinamika baru dalam dunia perpuisian.

Mereka hadir dengan semangat kebebasan,
inovasi, serta kritik sosial yang tajam, mencerminkan situasi sosial-politik yang tengah terjadi pada masa itu. Latar belakang sosial-politik Era 1970-an di Indonesia ditandai oleh situasi politik yang penuh ketegangan.

Setelah Orde Baru mengambil alih kekuasaan pada akhir 1960-an, Indonesia memasuki periode otoritarianisme yang
ditandai dengan pengekangan kebebasan berekspresi dan kontrol ketat terhadap media. Namun, di tengah tekanan ini, para penyair muda justru menemukan ruang untuk mengekspresikan kegelisahan
mereka melalui puisi.

Mereka menolak tunduk pada otoritas dan memilih jalan pemberontakan intelektual melalui karya-karya mereka. Ada eforia luar biasa setelah didera oleh paradigma Politik sebagai Panglima di era Orde Lama.

Ciri khas dan gaya penyair-penyair muda pada era ini dikenal dengan gaya bahasa yang lebih bebas, eksperimental, dan
kerap kali bersifat surealistik.

Mereka menjauh dari bentuk puisi yang formal dan lebih memilih bentuk yang cair, dengan tema-tema yang beragam mulai dari kehidupan sehari-hari, percintaan, hingga kritik sosial.

Nama-nama seperti W.S. Rendra, Sapardi Djoko Damono, dan Sutardji Calzoum Bachri muncul sebagai figur sentral yang menjadi ikon pergerakan puisi modern ini.

Rendra, misalnya, dikenal dengan puisi-puisinya yang lantang dan penuh semangat perlawanan
terhadap ketidakadilan.

Puisinya menjadi cerminan dari kegelisahan masyarakat akan situasi politik yang mengekang. Di sisi lain, Sapardi dikenal dengan puisi-puisi lirik yang indah, menggambarkan keindahan alam dan kehidupan dengan gaya yang lebih tenang namun mendalam.

Sementara itu, Sutardji menawarkan pendekatan yang unik dengan bermain-main pada kata dan bunyi, menciptakan puisi yang bersifat mantra dan magis.

Pengaruh dari penyair muda era 1970-an masih terasa hingga kini. Mereka tidak hanya mengubah lanskap perpuisian Indonesia, tetapi juga memberikan inspirasi bagi generasi penyair selanjutnya.

Eksperimen mereka dalam bentuk dan tema membuka jalan bagi munculnya berbagai aliran baru dalam sastra Indonesia.

Selain itu, karya-karya mereka terus dibaca dan dianalisis oleh para peneliti dan pengamat sastra, menandakan bahwa jejak langkah mereka tetap relevan dalam pusaran zaman yang terus berubah.

Buku-buku puisi mereka diterbitkan ulang, dan karya-karya mereka masih menjadi acuan dalam diskusi-diskusi sastra hingga saat ini. Sebagian dari mereka bahkan masih menulis puisi sampai hari ini.

Sebutlah, misalnya Adri Darmadji, Emha Ainun Nadjib, Norca Marendra Massardi, Gunoto Saparie, Kurniawan Junaedhie, Sutirman Eka Ardhana, Handrawan Nadesul, Soeparno S. Adhy, Isbedy Stiawan, Suminto A. Sayuti, Eka Budianta, Fauzi Absal, dan lain-lain.

Kesemuanya itu direkam oleh Kurniawan Junaedhie yang begitu tekun mengamati sepak terjang para penyair dan merekamnya dalam buku “Jejak Langkah Penyair Muda 1970-an dalam Pusaran Zaman.”

Buku terbitan Kosakata Jakarta (2024) ini merupakan bukti bahwa sastra, khususnya
puisi, selalu menjadi medium yang kuat untuk menyuarakan kegelisahan, harapan, impian, dan perlawanan.

Dalam konteks Indonesia, para penyair itu tidak hanya sekadar menyumbangkan karya sastra, tetapi juga menjadi saksi dan pelaku sejarah yang menginspirasi.

Melalui puisi, mereka telah meninggalkan warisan-warisan yang tak lekang oleh waktu, dan terus mengilhami generasi berikutnya untuk berkarya dan berpikir kritis terhadap realitas yang ada.

Buku ini benar-benar dapat menjadi sumber rujukan dan untuk penambahan wawasan tentang para penyair yang pernah ada di zamannya. Para penyair yang ditulis dalam buku ini adalah para penyair yang lahir tahun 1940–1960-an. Jehak kiprah mereka dalam sastra Indonesia terekam dalam buku setebal 380 halaman ini.

Kurniawan Junaedhie patut diacungi jempol karena telah menghadirkan buku ini di tengah kehidupan para penulis. Sangat bermanfaat. Memang tak ada gading yang tak retak, namun betapa pun sejatinya buku ini memang sangat bermanfaat.

*Nia Samsihono adalah Ketua Umum Satupena DKI Jakarta. Jatengdaily.com-St

Written by Jatengdaily.com

Peringati HUT Ke-79 RI di Omah SG Pabrik Rembang, Ratusan Insan SG Kenakan Pakaian Adat

Januari-Juli 2024, Perputaran Dana Judol Capai Rp174 Triliun