in ,

Membumikan Ramadan

Oleh Dr H Ahmad Darodji MSi

Ketua Umum MUI Jateng

Kita masih teringat salah satu lirik lagu Bimbo yang dibawakan pada tahun tujuh puluhan berbunyi : “Ada anak bertanya pada bapaknya, buat apa berlapar-lapar puasa. Ada anak bertanya pada bapaknya, tadarus tarawih apalah gunanya” 

Apakah Lirik Bimbo itu akan kita baca sebagai sebuah pertanyaan atau sindiran? Bagi sebagian kita mungkin lebih tepat kita katakan sebagai sindiran kepada kita yang setiap tahun selalu berpuasa, tetapi tidak memperlihatkan adanya perubahan yang signifikan dalam hidup keseharian. Sebenarnya perubahan apa yang diharapkan dari orang berpuasa? Barangkali beberapa butir di bawah akan sedikit memandu kita memahami perubahan apa saja yang diharapkan dari mereka yang berpuasa.

Pertama : Keimanan kepada Allah SWT seharusnya semakin meningkat. Menahan lapar dan dahaga dengan puasa itu kita lakukan karena keimanan, percaya bahwa Allah Maha Kasih dan Maha Sayang, maka puasa itu pasti masih dalam batas kemampuan kita, dan pasti hanya mendatangkan kebaikan. Keimanan kepada Allah itu mestinya  akan merefleksi dalam kehidupan yaitu adanya saling percaya di antara sesama manusia dalam kehidupan mereka. Sudahkah demikian? Semoga, hanya saja yang akhir-akhir ini sering nampak adalah justru sikap saling curiga, padahal rasa curiga sering berujung pada ketidakpercayaan. Dan ketidak percayaan kepada yang lain inilah awal sengketa dan berbagai musibah yang sering mengikutinya.

Kedua : Kepatuhan kepada perintah Allah. Perintah puasa telah kita laksanakan dengan penuh kepatuhan. Logikanya seusai Ramadan kepatuhan itu juga nampak dalam mengikuti aturan yang kita sepakati demi tidak terganggunya hubungan  antarsesama anggota masyarakat.

Amanah, jujur dan tidak bohong merupakan buah dari kepatuhan ini.  Bagaimana keberadaan nilai luhur ini?

Coba kita simak berita-berita di berbagai media, berapa banyak pelanggaran terhadap aturan itu terjadi, bahkan meskipun sudah diikrarkan dalam sumpah.  Tidak berlebihan kalau dikatakan sejak pagi sampai malam khabar mengenai  pelanggaran itu senantiasa menjadi sarapan pagi dan pengantar tidur malam. Pantas orang bertanya, mana puasamu, mana perobahanmu

Ketiga : Kesabaran atau pengendalian emosi.  Kesabaran itu memang terjadi saat kita berpuasa. Detik demi detik kita bersabar menunggu datangnya waktu maghrib. Sesudah Ramadan adakah kita menjadi sabar dan peramah atau kita tetap menjadi pemarah seperti predikat yang sudah terlanjur kita sandang? Tidak bisa kita pungkiri,  kini marak ujaran kebencian, penyebaran berita hoax, konflik bahkan tindak kekerasan yang sering disebabkan oleh hal yang bersifat sepele. Padahal Rasulullah sudah mengabarkan bahwa dengan puasa kita akan sehat dan beliaupun sudah wanti-wanti  “jangan marah, jangan marah”. Dokter juga  sudah selalu mengingatkan dampak negatif marah terhadap kesehatan tubuh kita. Dalam pergaulan kekinian antar kita, banyak masalah yang belum terselesaikan, masih tersisa persoalan kemarin yang membuat kita seakan saling berhadapan.  Pendekatan untuk menyelesaikan ini, hanya dapat dilakukan bila tiada lagi kesan berhadapan, tiada lagi emosi dan kemarahan

Kelima  : Kepedulian sosial.

Kita menyadari betapa ketimpangan masih mewarnai kehidupan kita. Kemiskinan dan pengangguran masih cukup tinggi, dua hal yang menyebabkan  banyak kelaparan terjadi Padahal akibat kelaparan orang bisa melakukan apa saja untuk mempertahankan hidupnya. “Kadal faqru an yakuna kufran, kefakiran itu berbatas tipis dengan kekafiran”  Lapar dan dahaga kita rasakan sekitar 14 jam setiap hari selama satu bulan. Tidak berbekas ? Lantas kemana puasa kita ? Rasulullah bersabda “betapa banyak orang berpuasa tidak beroleh apapun kecuali sekedar rasa lapar dan dahaga” . Mungkinkah alamat hadits itu  kita ? Semoga uluran tangan kita menumbuhkan kepedulian sosial kita. Semoga zakat kita, zakat harta maupun zakat fitrah yang kita keluarkan menjadi solusi masalah ketimpangan ini. Percayalah dua setengah persen harta yang kita bayarkan itu tidak membuat kita miskin, bahkan selain menjadi suci  harta kita justru akan bertumbuh dan berkembang sesuai makna zakat itu sendiri. Dengan kepedulian itu Interaksi sosial akan menjadi lebih sinergis karena sekat ekonomi akan menipis. Kita semua meyakini  bawa sinergitas adalah kebutuhan mutlak kita.  Kita membutuhkan orang lain dan itu akan terjadi bila tiada sekat seperti adanya ketimpangan itu. Bukankah tak mungkin kita hidup sendiri, begitu pula tak satupun kebutuhan hidup yang mampu kita penuhi sendiri.

Keenam : Banyak membaca Alquran, banyak belajar. Membaca Alquran, hati akan menjadi tenang. itu janji Allah.  Dengan hati tenang kita akan menjadi sehat, kepala menjadi dingin dan fikir akan menjadi fresh. Ya membaca Alquran apalagi dengan suara kita dan kita mendengar bacaan kita itu, kita akan menjadi sehat, jasmani dan ruhani. Di samping itu sejatinya membaca Alquran sekaligus adalah belajar. Kita dibiasakan membaca, apa saja yang akan menjadi bekal dalam kehidupan kita.

Ketujuh, terakhir yang disampaikan di tulisan ini adalah bahwa kita mengakhiri Ramadan dengan saling bersilaturahim dan bermaafaan. Kebiasaan yang mesti terus kita pupuk dan kembangkan.  Marah, dendam, dan segala macam ganjalan perasaan, kita sudahi, kita lupakan. Yang ada adalah berjabat tangan, saling mohon dan memberi maaf. Betapa beruntungnya kalau setiap muslim dapat mengisi Ramadan dengan amalan-amalan yang mampu mewujudkan dan mempertahankan nilai luhur bulan suci itu. Mari kita pancangkan dan luruskan  niat. Hari ini barulah hari kedua Ramadan 1440 H. Masih cukup waktu. Semoga. Amin

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Dua Mantan Bos BKK Pringsurat Dituntut 16,5 Tahun Penjara

DJ Bella Rosalina & Queen Beauty Berbagi