in ,

Waduk Cengklik di Kala Surut, Surganya Pemancing

Volume air Waduk Cengklik yang menyusut membuat pulau bermunculan dan banyak dijadikan lokasi andalan pemancing. Foto: yds

BOYOLALI (Jatengdaily.com) – Kabupaten Boyolali memiliki aset wisata yang berdekatan dengan pusat kota Solo, sekitar 15 kilometer. Berada di sebelah barat Bandara Adi Soemarmo, menjadikan objek ini menjadi destinasi wisata yang kian diminati, meskipun tak banyak fasilitas yang disediakan.

Hari Sabtu dan Minggu menjadi hari padat pengunjung di objek ini. Tujuan utama mereka adalah memancing. Sudah puluhan tahun keberadaan waduk tersebut adalah sebagai surganya pemancing. Bahkan di kala volume air waduk menyusut, seperti hari-hari terakhir ini, jumlah pemancing pun semakin padat.

“Kalau volume air menyusut seperti sekarang ini, kita mancingnya lebih enak. Tak harus memakai gethek untuk ke beberapa spot pancingan, dan ikannya relatif lebih mudah dipancing,” kata Agung Widodo (40) warga Solo yang hampir tiap hari Minggu memancing di Waduk Cengklik.

Dan jangan kaget, kalau banyak pemancing yang nekat ‘nyobok’ saat memancing. ‘Nyobok’ ini dilakukan pemancing dengan cara berendam di air waduk sambil memancing, dengan tujuan lebih dekat ke tengah perairan tanpa menggunakan alat lain seperti gethek dan sebagainya.

Waduk Cengklik merupakan peninggalan Belanda yang hingga kini masih bisa berfungsi untuk irigasi pertanian. Foto: yds

Bagi pengunjung yang tak bertujuan memancing, bisa menikmati pesona kindahan waduk peninggalan Kolonial Belanda ini. Dari dulu, Waduk Cengklik juga menjadi pilihan untuk menikmati sunset. Terlebih kalau cuaca cerah, kita bisa menikmati sunset dengan latar belakang pemandangan Gunung Merapi maupun Merbabu.

Sejarahnya, Waduk Cengklik dibangun Belanda hasil kerja sama dengan Pura Mangkunegaran di kisaran tahun 1926-1928. Belanda mempunyai maksud khusus dengan membangun bendungan besar tersebut, yakni sebagai tandon air untuk mengairi areal pertanian tebu di sekitarnya hingga mencakup tiga kecamatan yaitu Sambi, Ngemplak, dan Nogosari.

Kebanyakan areal pertanian saat itu adalah ditanami tebu yang hasilnya disetorkan ke Pabrik Gula Colomadu yang jaraknya cuma sekitar 5 kilometer dari waduk. Sedangkan nama Cengklik konon diambil dari nama dukuh tempat waduk berdiri yaitu Dukuh Cengklik. Saat ini Waduk Cengklik berada di Desa Ngargorejo, Kecamatan Ngemplak, Kabupaten Boyolali.

Dulu Waduk Cengklik bisa menampung air lebih banyak dibandingkan sekarang. Tahun 1970 masih mampu menampung air sebanyak 17,5 juta meter kubik, kemudian 1998, kapasitas air menurun menjadi 12,5 juta meter kubik.

Data dari Pusdataru Jateng, saat ini data teknis Waduk Cengklik hanya bisa menampung air sekitar 7,7 juta meter kubik, dengan elevasi normal 142,60 meter. Dari volume tersebut seharusnya bisa mengairi sekitar 1.576 hektare areal pertanian.

Di musim kemarau ini, volume air waduk menyusut drastis. Data Pusdataru Jateng untuk ketersediaan air waduk pada minggu ke V bulan Mei (28 Mei-3Juni 2019), volume air 5,89 juta meter kubik atau di bawah normal (7,5-7,7 juta meter kubik). Kondisi ini membuat petani setempat kesulitan mendapatkan pasokan irigasi dari Waduk Cengklik yang mempunyai luas areal sekitar 300 hektare tersebut.

Hanya saja bagi wisatawan, menyusutnya air Waduk Cengklik justru semakin jadi daya tarik. Selain menguntungkan pemancing, juga semakin banyak terlihat keindahan pulau-pulau kecil yang bermunculan. Areal yang biasanya tergenang, kini juga bisa dijadikan ladang bercocok tanam petani setempat, sehingga menambah keindahan pemandangan dan cocok untuk para pencari objek foto. yds

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Klero-Tengaran, Jalur Rawan Kecelakaan

Ngumpulke Balung Pisah, Para Profesor Baca Barzanji