Oleh Gunoto Saparie
gunotosaparie@ymail.com
Hari-hari ini sendi-sendi kehidupan masyarakat Indonesia benar-benar terpukul oleh wabah virus corona. Celakanya hal itu justru terjadi pada kuartal pertama di mana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 baru saja dilaksanakan. Tentu saja tidak mudah bagi APBN sebagai instrumen utama kebijakan fiskal untuk menyesuaikan diri, apalagi suasana ketidakpastian kemungkinan masih akan terus berlangsung dalam tiga kuartal ke depan.
Pemerintah telah melebarkan ketentuan defisit APBN yang semula berdasarkan undang-undang (UU) maksimal 3 persen, namun untuk APBN 2020, 2021, dan 2022 ditoleransikan defisit sampai 5,07%. Defisit APBN tersebut karena ada tambahan anggaran untuk menanggulangi dan mencegah dampak penyebaran virus corona. Total tambahan belanja dan pembiayaan APBN 2020 untuk penanganan wabah ini adalah sebesar Rp 405,1 triliun.
Dari angka itu Rp 75 triliun untuk bidang kesehatan, Rp 110 triliun untuk jaring pengaman sosial, Rp 70,1 triliun untuk insentif perpajakan dan stimulus kredit usaha rakyat (KUR), serta Rp 150 triliun dialokasikan untuk pembiayaan program pemulihan ekonomi nasional, termasuk restrukturisasi kredit dan penjaminan serta pembiayaan untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) dan dunia usaha menjaga daya tahan serta pemulihan ekonomi.
Kita ingat ketika awal tahun lalu, ketika anggaran mulai direalisasikan, sejumlah indikator APBN 2020 telah menjadi perdebatan. Nilai tukar rupiah menguat tajam hingga ke level Rp 13.500 per dolar AS, cukup jauh dari asumsi makro APBN di level Rp 14.400 per dolar AS. Akan tetapi, tak lama kemudian, situasi dan kondisi pun mulai berubah.
Pandemi Covid-19 yang berawal dari China mulai menyebar ke seluruh penjuru dunia, tak terkecuali Indonesia. Pertengahan Maret, pemerintah resmi mengeluarkan imbauan bekerja dari rumah dan social distancing untuk menekan penyebaran virus corona. Rupiah pun berbalik arah, ia pun melemah tajam sampai menembus batas psikologis Rp 16.000 per dolar AS pada akhir Maret.
Kita tahu, peraturan perundang-undangan membatasi deviasi indikator-indikator makro APBN dalam koridor yang relatif sempit dibanding kebutuhan di masa penuh gejolak saat ini. Pasal 182 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD atau MD3, misalnya, membatasi perubahan asumsi makro dan postur anggaran dengan deviasi maksimal 10% serta penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar 1%.
Apabila realisasi diyakini melewati batas tersebut, maka APBN harus direvisi. Di sisi lain, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara dalam penjelasan pasal 27 ayat (3) membatasi defisit anggaran di angka 3% terhadap produk domestik bruto (PDB) setiap tahunnya.
Persoalan sesungguhnya memang bukan pada perubahan drastis yang terjadi, akan tetapi pada faktor penggerak perubahan-perubahan tersebut yang sifatnya sulit diprediksi. Kita tidak bisa menebak bagaimana perkembangan isu pandemi Covid-19 yang melanda republik ini. Apalagi pemerintah, harus diakui, belum pernah memiliki pengalaman menangani wabah dengan tingkat penularan tinggi seperti ini. Bahkan pemerintah terkesan ragu dan lamban dalam menentukan metode penanganannya, apakah akan menerapkan lockdown, atau mengandalkan herd immunity, atau sebatas imbauan social distancing.
Pemerintah telah menyusun seluruh instrumen hukum dan langkah-langkah sangat penting guna memastikan percepatan aksi tanggap dalam menjamin dan melindungi kesehatan masyarakat dari pandemi virus corona. Presiden Joko Widodo mengumumkan tiga instrumen hukum sebagai fondasi, yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Covid-19, PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Covid-19, dan Keppres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19.
Akan tetapi, ada satu aturan yang sangat perlu dicermati sekaligus dikawal di tengah wabah corona ini. Regulasi itu adalah Perppu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan. Perppu ini memang sangat penting untuk dikeluarkan, bahkan Presiden Jokowi pun mengklaim bahwa Perppu ini akan menjadi dasar bagi pemerintah, otoritas perbankan, dan otoritas keuangan untuk malakukan upaya luar bisa dalam menjamin kesehatan masyarakat, menyelamatkan perekonomian nasional, serta stabilitas sistem keuangan.
Akan tetapi, Perppu yang akan menggolontorkan dana sebesar Rp405,1 triliun dari APBN 2020 itu memiliki satu kelemahan. Hal itu karena ada satu materi muatan penting yang lupa dimasukkan ke dalam Perppu tersebut. Materi muatan itu adalah tentang perihal penagaturan sistem pengawasan dan pelaporan pertanggugjawaban keuangan negara. Padahal dalam adagium hukum keuangan, pengawasan dan pertanggungjawaban merupakan nafas dari APBN. Mengapa dalam substansi norma Perppu tersebut tidak ada satu pun frasa/klausul yang menyebutkan soal pengawasan dan pelaporan pertanggugjawaban keuangan negara dalam penanganan pandemi Covid-19?
Memang, dalam Pasal 13 disebutkan bahwa penggunaan anggaran dalam rangka pelaksanaan kebijakan keuangan negara dan langkah-langkah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 12 dilaporkan pemerintah dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Namun pasal itu tanpa memasukkan unsur-unsur pengawasan dan pelaporan pertanggungjawaban keuangan serta peran dari masing-masing lembaga pengawas keuangan dalam mengawasi penggunaan dana yang sifatnya darurat ini.
Kalau kita mengacu pada ketentuan Pasal 27 ayat (4) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara disebutkan bahwa dalam keadaan darurat pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran. Ini berarti, ketika pemerintah telah menyatakan kondisi dalam keadaan darurat kesehatan, maka RUU Perubahan APBN harus segera dilakukan sekaligus mempertanggungjawabkan dan menyampaikan Laporan Realisasi Anggaran.
Memang, sebuah kebijakan pasti ada implikasi atau risiko yang tidak bisa dihindari. Begitu juga Pasal 27 ayat (1) yang menyebutkan bahwa biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara termasuk kebijakan di bidang perpajakan, kebijakan belanja negara termasuk kebijakan di bidang keuangan daerah, kebijakan pembiayaan, kebijakan stabilitas sistem keuangan, dan program pemulihan ekonomi nasional, merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara.
Kemudian ayat berikutnya dari pasal itu menyebutkan bahwa anggota KSSK, Sekretaris KSSK, anggota sekretariat KSSK, dan pejabat atau pegawai Kementerian Keuangan, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, serta Lembaga Penjamin Simpanan, dan pejabat lainnya, yang berkaitan dengan pelaksanaan Perppu, tidak dapat dituntut baik secara perdata maupun pidana jika dalam melaksanakan tugas didasarkan pada iktikad baik dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pasal 27 ayat (3) menyatakan bahwa segala tindakan termasuk keputusan yang diambil berdasarkan Perppu ini bukan merupakan objek gugatan yang dapat diajukan kepada PTUN.
Kita berharap, celah ini tidak dimanfaatkan oleh para penjahat yang ingin membobol uang negara tanpa bisa dijerat hukum. Mereka melihat peluang karena biaya yang telah dikeluarkan pemerintah dan/atau lembaga anggota KSSK dalam rangka pelaksanaan kebijakan pendapatan negara bukan merupakan kerugian negara. Kita perlu mengambil langkah-langkah preventif, seperti yang juga diingatkan oleh Ketua KPK Firli Bahuri agar tak ada yang melakukan tindak pidana korupsi di tengah wabah virus corona ini.
*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Jawa Tengah. Jatengdaily.com-st
GIPHY App Key not set. Please check settings