fatih.04

Oleh: Moh. Fatichuddin
ASN BPS Provinsi Bengkulu (Putra Bumiayu Brebes)

LEBIH dari satu semester dunia telah merasakan dahsyatnya pandemi covid-19, para pihak belum memprediksi kapan pandemi covid-19 ini berakhir. COVID-19 telah memakan banyak korban jiwa, sampai tanggal 11 September 2020 sebanyak 28,3 juta kasus terjadi di dunia dengan tingkat kesembuhan19,1 juta dan 913 ribu jiwa meninggal. Untuk Indonesia covid-19 telah menimpa pada 211 ribu jiwa dengan 150 ribu sembuh dan 8.544 jiwa meninggal (https://news.google.com/covid19/map?hl=id&mid=%2Fm%2F02bdkx&gl=ID&ceid=ID%3Aid). Selain kesehatan dan nyawa manuisa, hampir semua sendi kehidupan juga luluh lantak dihancurkan COVID-19. berbagai negara sudah jatuh pada jurang resesi ekonomi.

Banyak pengamat ekonomi menilai bahwa kita pun akan segera mengikuti mereka masuk jurang resesi ekonomi, setelah di triwulan 2 tahun ini mengalami konstraksi 5,32 persen. Berbagai media baik cetak maupun online memuat pendapat ataupun “fatwa” para ahli ekonomi. Berbagai penilaian sektor ekonomi manakah yang mungkin menjadi penahan lajunya resesi. Berbagai strategi dikaji untuk membangkitkan lesunya ekonomi yang telah “terhipnotis” oleh virus Corona.

Siti Yuniarti (2019) menuliskan pengertian ekonomi digital secara luas diberikan oleh negara-negara tergabung dalam G20, yakni a broad range of economic activities that includes using digitized information and knowledge as the key factor of production, and modern information networks as the important activity space (berbagai kegiatan ekonomi yang mencakup penggunaan informasi dan pengetahuan digital sebagai faktor utama produksi, dan jaringan informasi modern sebagai bagian kegiatan yang penting).

Menurut Jaringan Prima, ekonomi digital adalah aspek ekonomi yang berbasiskan pada pemanfaatan dan pemberdayaan teknologi informasi dan komunikasi digital. Di Asia Tenggara, ekonomi digital sedang berkembang pesat seiring dengan besarnya potensi pasar. Ada lima teknologi yang paling potensial memicu pertumbuhan ekonomi digital di kawasan Asia Tenggara, kelima hal tersebut yaitu mobile internet, big data, internet of things, automation of knowledge, dan cloud technology.

Dari pengertian ekonomi digital dapat dikatakan bahwa keberhasilan ekonomi digital dipengaruhi oleh infrastruktur telekomunikasi, kemampuan SDM dan regulasi pemerintah terkait. Jika dilihat dengan kondisi saat pandemi COVID-19 dan ancaman resesi ekonomi sekarang ini maka ekonomi digital merupakan salah satu solusi yang mungkin dapat membantu masyarakat dalam menghadapinya. Namun demikian apakah factor-faktor yang berpengaruh sudah berpihak “positif” terhadap ekonomi digital di era COVID-19 ini?

Modal dasar dari ekonomi digital adalah adanya infrastruktur telekomunikasi yang mampu mendukung. pembangunan infrastruktur menjadi hal yang mutlak ditambah oleh geografis wilayah nusantara terdiri dari dataran dan pegunungan serta dihubungkan oleh lautan.

Sebagai ilustrasi pada Podes BPS menyebutkan pada tahun 2018 terdapat 77.172 (91,95 persen) desa/kelurahan yang telah dapat menerima sinyal telepon selular. Jumlah ini meningkat jika dibandingkan pada tahun 2011 dan 2014, dimana desa/kelurahan yang dapat menerima sinyal telepon selular hanya sebanyak 70.610 (89,82 persen) desa/kelurahan pada tahun 2011 dan 74.473 (90,61) desa/kelurahan pada tahun 2014. Namun demikian kalau diukur dari kekuatan sinyalnya tahun 2018 jumlah desa/kelurahan yang menerima sinyal kuat lebih rendah disbanding tahun 2014, yaitu 55.575 desa/kelurahan di 2018 dan 55.870 desa/kelurahan di tahun 2014. Kondisi ini perlu mendapat perhatian bagi pihak-pihak terkait, agar kekuatan sinyal yang diterima tetap kuat.

Faktor selanjutnya yang berpengaruh adalah kemampuan dari penduduk dalam pemanfaatan teknologi informasi. Statistik Telekomunikasi Indonesia 2018 (BPS) menuliskan persentase penduduk Indonesia tahun 2018 yang memiliki/menguasai telepon seluler mengalami kenaikan sejak tahun 2015. Tahun 2018 angka presentase mencapai 62,41 persen, sedangkan di 2015 tercatat 56,92 persen. Daerah perdesaan mengalami kenaikan yang signifikan, meski masih di bawah wilayah perkotaan, yiatu 53,61 persen untuk perdesaan dan 69,66 persen untuk perkotaan.

Jika diukur dari media lain yang mungkin menjadi pendukung ekonomi digital yaitu computer, maka pada tahun 2018 tercatat 20,05 persen rumah tangga di Indonesia memiliki/menguasai computer. Dengan di perkotaan mencapai angka 28,43 persen dan pedesaan 9,93 persen. Perbedaan angka diantara perdesaan dan pekotaan seharusnya menjadi perhatian tersendiri bagi pemerintah atau lembaga-lembaga terkait.

Potensi Positif
Secara kelembagaan ekonomi digital sangat mungkin memiliki potensi positif, ditambah dengan sudah adanya kelembagaan informasi di daerah. Keberadaan dinas-dinas komunikasi, informatika dan statistik sangatlah penting dalam rangka mengembangkan ekonomi digitas. Di dalam lengkungan masyarakt perlu kiranya dibentuk/diberdayakan kelembagaan yang bersifat gotong-royong mengingat masih banyaknya penduduk yang tidak memiliki/menguasai telepon seluler ataupun computer.

Pandemi COVID-19 yang melanda saat ini menjadi catatan tersendiri bagi ekonomi digital. Pemberlakukan masyarakat yang harus tinggal di rumah menjadikan ekonomi digital lebih “dikenal”. Minimnya peluang penduduk melakukan transaksi secara langsung, menjadi peluang tersendiri bagi dunia usaha berbasis digital. Namun demikian dalam prosesnya sangat diyakini akan menghadapi berbagai tantangan dan hambatan. Pemanfaatan software, program aplikasi yang tinggi menyebabkan permintaan akan kebutuhan tersebut meningkat, sedangkan tenaga ahli dalam “spesialisasi” hal tersebut mungkin masih terbatas.

Selain terbatasnya programmer dalam menghasilkan aplikasi tantangan lain adalah kemampuan masyarakat dalam pemanfaatan aplikasi yang sangat rendah. Kondisi ini dapat berakibat negative dengan munculnya “modus” penipuan-penipuan. Sosialisasi pemanfaatan aplikasi yang tepat sangat dibutuhkan, media sosial dapat membantu untuk meningkatkan kemampuan masyarakat dan mengurangi resiko penipuan.

Tantangan yang lain adalnya kemungkinan tingginya tingkat persaingan dalam ekonomi digitial. Tidak bertemunya antara penyedia/penjual dan tidak dirasakan/terlihatnya produk akan memunculkan persaingan lebih terbuka. Tinggi rendahnya harga suatu produk akan sangat berpengaruh terhadap kelangsungan proses bisnis berbasis digital. Keraguan terhadap kualitas produk menjadi tantangan tersendiri bagi ekonomi digital. Istilah “ada harga ada rupa” sangat mungkin menjadi pertimbangan baik bagi konsumen maupun produsen/pelaku usaha digital.

Potensi dan tantangan yang mengiringi ekonomi digital hendaknya menjadi perhatian pemerintah. Regulasi-regulasi yang dihasilkan oleh pemerintah diharapkan dapat mendukung pelaksanaan ekonomi digital. Konsumen terlindungi dari adanya penipuan-penipuan, rendahnya kualitas produk dan ketidakwajaran harga dari produk. Penyedia/produsen mendapat kepastian lancarnya proses bisnis dan aman dari sisi hukum. Pemerintah juga melakukan peningkatan dalam ketersediaan infrastruktur telekomunikasi. Peningkatan aktivitas baik secara jumlah konsumen maupun produk dari proses bisnis ekonomi digital tidak menyebabkan “lambat/lelet”nya sinyal yang diterima.

Hal lain yang mungkin berpengaruh negatif adalah pelanggaran etika/aturan budaya, sehingga perlu adanya intervensi pemerintah agar proses ekonomi digital tetap dalam koridor etika budaya ketimuran.

Kunci keberhasilan ekonomi digital adalah terjadinya sinergi dari para pelaku ekonomi digital dan pemerintah. Ekonomi digital dapat menjadikan wabah pandemi corona ini menjadi “keuntungan” dan bukanlah mustahil jika ekonomi digital ini menjadi solusi masyarakat/negara dalam menghadapi ancaman resesi ekonomi akibat pandemi COVID-19. Jatengdaily.con-yds

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Exit mobile version