Oleh Gunoto Saparie
PENANDATANGANAN enandatanganan conditional merger agreement (CMA) tiga bank syariah Badan Usaha Milik Negara (BUMN) telah dilakukan pada 12 Oktober 2020. Ini berarti, keinginan kita untuk memiliki bank syariah raksasa di Indonesia lewat skema merger bank syariah plat merah bakal kesampaian. Keinginan itu, kita tahu, bertahun-tahun hanya menjadi wacana.
Penandatanganan CMA dilakukan Direktur Utama PT Bank BRIsyariah Tbk Ngatari, Direktur Utama PT Bank BNI Syariah Abdullah Firman Wibowo, dan Direktur Utama PT Bank Syariah Mandiri Toni EB Subari, yang kini menjabat Direktur PT Bank Mandiri Tbk.
Berdasarkan prospektus skema merger yang terbit seminggu kemudian, PT Bank Mandiri Tbk (BMRI) selaku induk BSM bakal menguasai 51,2% kepemilikan bank hasil merger. Sementara itu, PT Bank Negara Indonesia (BBNI) sebesar 25,0%, PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI) 17,4%, DPLK BRI-Saham Syariah 2% dan publik 4,4%. Sedangkan Kementerian BUMN akan menjadi pemegang saham pengendali terakhir (ultimate shareholder).
Ketiga bank syariah plat merah yang akan dimerger tersebut bergabung dalam satu entitas dengan nama sementara PT Bank BRISyariah Tbk. Sebelumnya sempat beredar kabar nama bank syariah hasil merger akan menjadi Bank Amanah. Bank hasil merger akan tetap jadi perusahaan terbuka dan tercatat di Bursa Efek Indonesia dengan kode saham BRIS, mengacu pada entitas PT Bank BRISyariah Tbk. Sesuai rencana, target efektif penggabungan bank hasil merger akan selesai pada 1 Februari 2021.
Sejak bank syariah pertama berdiri di Indonesia pada tahun 1991 sampai hari ini memang belum ada yang mampu memiliki aset lebih dari Rp115 triliun. Oleh karena itu, penandatanganan CMA boleh dikatakan merupakan awal dari proses bersejarah lahirnya bank umum syariah nasional berkaliber global. Pionir bank syariah di Indonesia yang berdiri pada tahun 1991, PT Bank Muamalat, misalnya, hanya memiliki aset Rp48,65 triliun dengan modal inti hanya sebesar Rp3,34 triliun per kuartal II-2020.
Sedangkan Bank Syariah Mandiri yang notabene menduduki posisi pertama sebagai bank syariah terbesar di Nusantara, pada periode yang sama ternyata hanya mampu memiliki aset sebesar Rp114,4 triliun dengan modal inti cuma Rp9,44 triliun.
Mengacu pada Pasal 1 butir 25 UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, merger adalah “penggabungan dari dua bank atau lebih, dengan cara tetap mempertahankan berdirinya salah satu bank dan membubarkan bank-bank lainnya dengan atau tanpa melikuidasi.” Berdasarkan definisi ini, maka merger merupakan proses peleburan satu bank atau lebih ke dalam bank lain di mana satu bank tetap mempertahankan identitasnya dengan melakukan pengambilalihan kekayaan, tanggung jawab, dan kuasa atas bank yang meleburkan diri tersebut.
Alasan Merger
Ada beberapa alasan mengenai merger atau penggabungan bank berplat merah ini. Langkah penggabungan ini dilakukan untuk memperkuat bank syariah di Indonesia dalam menghadapi perdagangan bebas ASEAN. Di samping itu, merger ini juga dinilai menjadi salah satu solusi peningkatan pangsa pasar penbankan syariah yang lesu. Bukankah kinerja bank syariah selama ini memang terkesan lamban?
Memang cukup rasional argumentasi pemerintah untuk melakukan merger bank BUMN syariah. Apalagi dalam menghadapi persaingan masyarakat ekonomi ASEAN. Bank syariah Indonesia diharapkan bisa bersaing dengan bank syariah negara tetangga yang berskala besar seperti Maybank Syariah dan CIMB Syariah. Bank syariah yang kecil-kecil tentu saja akan menghadapai kesulitan untuk berkompetisi.
Akan tetapi, patut diingat, bahwa merger bank-bank syariah bukanya tidak memiliki beberapa kelemahan. Beberapa kelemahan dari penggabungan bank syariah ini antara lain menyangkut tingkat fleksibilitas dalam pengelolaan keuangan. Perusahaan yang lebih kecil akan cenderung lebih lincah terhadap pengelolaan uang karena tidak terbebani dengan biaya overhead yang lebih besar.
Hal ini berbeda dengan perusahaan-perusahaan besar yang tentunya memiliki beban biaya operasional yang cenderung lebih besar. Selain itu tentu saja hal ini berdampak pula pada pengurangan karyawan, yang tentu saja hal ini akan menjadi pekerjaan rumah pula.
Kita ingat kasus sebelumnya yang barangkali dijadikan pengalaman, yaitu ketika Bapindo, BBD, dan Bank Exim bergabung dan terbentuklah Bank Mandiri, di mana banyak karyawan yang terpaksa di rumahkan. Hal yang sama juga terjadi ketika lima bank swasta bergabung membentuk Bank Permata. Dampak dari merger ini berimbas ke semua level, mulai dari karyawan biasa hingga posisi direktur.
Dalam sejarah perbankan di Indonesia kita mencatat terjadinya beberapa kali merger. Pada masa Orde Baru, tanggal 15 Mei 1972, Bank Umum Niaga Indonesia yang berkedudukan di Medan melakukan merger ke dalam Bank Sejahtera. Begitu juga dengan Bank Putera Multikarsa yang melakukan merger ke dalam Solida Bank berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan No Kep-125/KM.17/1997 tanggal 31 Maret 1997.
Merger juga terjadi pada masa reformasi dengan bergabungnya empat bank (BBD, BDN, Bank Exim, dan Bapindo) menjadi Bank Mandiri pada tahun 1998. Bank Mandiri ini terbukti berhasil memainkan perannya dalam kancah perbankan secara nasional.
Oleh karena itu, upaya merger ini boleh dibilang merupakan buah simalakama. Di satu sisi, langkah itu akan memperkuat bank syariah BUMN. Karena selain modal dan asetnya akan bertambah besar, juga tentu akan lebih efisien. Akan tetapi, di sisi lain, apabila merger dilakukan besar kemungkinan akan terjadi pengangguran jumlah karyawan dalam jumlah besar.*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah. Jatengdaily.com–st