Oleh : Tri Karjono, ASN BPS Provinsi Jawa Tengah
PERIODE kalender kuartal ketiga telah berakhir beberapa hari yang lalu. Kepastian seberapa besar indikator pertumbuhan ekonomi pada periode Juli-September ini baru akan diketahui secara pasti pada tanggal 5 November 2020 mendatang ketika Badan Pusat Statistik menyampaikan rilisnya. Artinya kepastian dari indikator angka resmi apakah Indonesia secara ekonomi masuk jurang resesi atau tidak baru akan diketahui pada saat tersebut.
Namun demikian kementerian keuangan beberapa hari yang lalu ketika merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi pada kuartal ketiga ini dari 0 persen menjadi minus, mengindikasikan bahwa pemerintah telah meyakini Indonesia masuk pada periode resesi pada tahun ini menyusul banyak negara lain yang telah menyatakan diri sebelumnya. Resesi tahun ini akan menjadi yang pertama selama dua dekade terakhir. Realisasi ekonomi nasional tahun ini terkontraksi sebesar 5,32 persen pada kuartal II.
Sementara di kuartal sebelumnya atau kuartal I masih mampu tumbuh positif 2,97 persen. Sementara pemerintah memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal III akan kembali terkontraksi pada kisaran minus 2,9 persen sampai minus 1 persen. Sehingga secara annual pada tahun ini ekonomi diperkirakan hanya akan tumbuh sekitar minus 1,7 persen hingga minus 0,6 persen.
Secara teori bahwa ekonomi suatu negara akan mengalami resesi ketika selama dua kuartal berturut-turut dalam setahun terjadi kontraksi atau pertumbuhan dibawah nol persen. Artinya terjadi perlambatan aktivitas ekonomi dalam jangka waktu yang panjang. Namun melihat data diatas tanpa menunggu hasil rilis pertumbuhan ekonomi kuartal III pun sejatinya telah mengalami resesi.
Pertumbuhan ekonomi yang biasanya tumbuh pada kisaran 5 persen, pada kuartal I telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Ini artinya sejak kuartal I sejatinya ekonomi Indonesia telah mengalami penurunan dan terus berlanjut hingga kuartal kedua dan kemungkinan besar pada kuartal III.
Sejatinya dengan berbagai dan sekian banyak macam stimulus yang digelontorkan pemerintah ditunjang dengan masyarakat dan dunia usaha telah melewati fase puncak shocknya terkait pandemi Covid-19, pada kuartal III aktivitas ekonomi diharapkan mampu menjadi titik balik dan menutup tumbuhnya ekonomi year on year 2020 pada arah positif di akhir kuartal IV nanti. Walau secara perlahan telah tampak geliatnya untuk bergerak menuju fase normalnya.
Stimulus pemerintah terhadap masyarakat secara langsung melalui beberapa program diantaranya bantuan tunai langsung, bantuan terhadap pekerja dengan pengasilan dibawah lima juta, paket sembako, program keluarga sejahtera dan sebagainya sejatinya untuk meningkatkan daya beli masyarakat yang lemah akibat pandemi. Yang pada akhirnya mampu menjadi pemicu untuk bergerak bersama dan bersinergi dengan aktivitas sisi suplaynya.
Inflasi
Daya beli masyarakat yang salah satu indikatornya ditunjukkan dari laju inflasi menggambarkan bahwa tren inflasi pada tahun ini sejak masuknya wabah ini ke dalam negeri mengakibatkan laju inflasi yang sangat rendah. Maret hingga Mei inflasi bulanan terus mengalami penurunan dari 0,10 menjadi 0,07 persen, kemudian sedikit meningkat di bulan Juni ketika era new normal dimulai. Namun sejalan dengan perkembangan kasus Covid-19 yang tidak menunjukkan gejala membaik, inflasi terkontraksi cukup signifikan di bulan Juli menjadi deflasi 0,10 persen, dan hingga September kemaren masih belum keluar dari posisi deflasi.
Ini menunjukkan bahwa dari sisi suplai cukup tetapi daya beli masyarakat yang diharapkan meningkat oleh berbagai bantuan langsung belum mampu meningkatkan nilai tawar dan memberi daya tarik bagi aktivitas produsen untuk meningkatkan barang produksinya.
Ini tak lepas dari akibat pembatasan aktivitas utamanya aktivitas ekonomi yang mengakibatkan turunnya pendapatan masyarakat yang cukup tajam, terutama masyarakat yang bekerja dibidang informal. Jikapun sebagian masyarakat memiliki dana maka masih akan ragu untuk membelanjakan diluar skala prioritasnya ketika pandemi belum jelas kapan akan berakhir.
Perlu diketahui bersama bahwa konsumsi rumah tangga selama ini memiliki porsi terbesar bahkan bisa disebut dominan dalam membentuk nilai Produk Domestik Bruto (PDB) sisi pengeluaran sebagai indikator pertumbuhan ekonomi dengan sebesar tidak kurang dari 57,85 persen (kuartal II), selebihnya berturut-turut adalah pembentukan modal tetap bruto, ekspor, konsumsi pemerintah, lembaga non profit yang melayani rumah tangga (LNPRT) serta sebagai pengurang adalah impor.
Kinerja ekspor impor yang juga sebagai salah satu bagian struktur dalam membangun PDB pengeluaran juga belum menunjukkan kondisi seperti saat pra pandemi walau telah menunjukkan pergerakan membaik pada tiga bulan terakhir. Hingga bulan Agustus total ekspor mengalami penurunan sebesar 6,51 persen dibanding delapan bulan pertama tahun 2019.
Pada sisi impor jika dibandingkan dalam waktu yang sama juga mengalami penurunan sebesar 18,06 persen. Dengan demikian sebenarnya dari neraca perdagangan luar negeri terlihat bahwa tahun 2020 ini terjadi kondisi neraca perdagangan yang lebih baik hingga mencapai surplus 11.050 miliar US$ dibanding tahun 2019 yang deficit 2.057 US$. Tetapi situasi impor Indonesia yang selama ini mayoritas merupakan bahan baku industri dan barang modal menjadi kurang menguntungkan bagi aktivitas industri manufaktur dalam negeri.
Dengan dominannya pengaruh pengeluaran rumah tangga pada struktur ekonomi, sementara daya beli rendah, aktivitas ekspor-impor yang belum pulih akibat sangat tergantungnya pula dengan situasi global utamanya mitra dagang serta PMTB juga tergantung oleh aktivitas investasi yang jelas tak bisa diharapkan banyak saat ini dan dalam waktu dekat. Maka konsumsi pemerintah perlu dimaksimalkan pada sisa waktu tahun anggaran ini yang sempat mengalami kontraksi 44,01 persen pada kuartal I sehingga menyebabkan variabel ini year on year masih tumbuh negatif 6,19 sampai kuartal II. Walau sebenarnya peran variabel ini secara individu hanya sekitar 10 persen dalam pembentukan PDB, namun efek dominonya diharapkan mampu jauh lebih tinggi.
Dari sekilas kondisi diatas merupakan sebuah kewajaran ketika pemerintah telah melempar handuk menyatakan diri bahwa resesi ekonomi telah melanda ketika bel waktu normal belum berakhir yaitu saat nilai PDB diumumkan. Namun demikian status resesi tidaklah harus membuat kita panik, karena kondisi seperti ini terjadi dan dialami oleh masyarakat pada skala global. Kepanikan hanya akan membuat masalah baru. Fokus pada percepatan penanganan Covid-19 dan peningkatan kepatuhan masyarakat dalam menghambat potensi penyebarannya akan menjadi garansi lebih cepatnya keluar dari situasi ini. Jatengdaily.com-yds
GIPHY App Key not set. Please check settings