in

Ulama dan Tantangannya


Oleh Ahmad Rofiq
IMAM (Jalaluddin) As-Suyuthy dalam Al-Jami’ al-Shaghir dengan lafadh “Dua golongan manusia apabila keduanya baik, maka baiklah manusia, dan apabila rusak keduanya, maka rusaklah manusia, Ulama’ dan Umara’”. Meskipun hadits tersebut, dha’if, akan tetapi dalam realitas sosial politik di Indonesia dan berbagai belahan dunia, kontennya masih sangat relevan.

Ulama dibutuhkan ilmu, fatwa, nasehat, dan taushiyahnya, Umara, sebagai pelaksana yang secara langsung diberi kewenangan oleh peraturan perundangan untuk melayani, melindungi, mengayomi rakyatnya, dan bahkan wajib mensejahterakannya. Umara yang secara harfiyah bentuk jamak dari amir, artinya diperintah.

Maka Umara idealnya, seperti ungkapan bijak “amiiru l-qaumi huwa khaadimuhum wa aakhiruhum syurban” artinya “pemimpin suatu kaum (pada hakikatnya) adalah pelayan mereka dan paling akhir minumnya”. Ketika rakyat yang menjadi tanggungjawabnya, sudah kenyang dan berkecukupan minumnya, barulah pemimpin minum.

Menjadi ulama di zaman yang suasana politik cenderung agak panas, baik karena “gesekan” politik, atau karena sergapan liberalisasi di satu sisi, dan ekstrimisme di sisi lain, dan juga maraknya politik identitas, dituntut untuk terus memiliki kesabaran ekstra, dan juga konsistensi dan keistiqamahan dalam membimbing umat (ri’ayah al-ummah).

Ulama, memang tidak dilarang berpolitik, tetapi jika terjun dalam politik praktis, akan bisa menjadi semacam “jejaring laba-laba” yang bisa menyulitkan diri mereka sendiri, karena dapat dipastikan, ilmu, fatwa, nasehat, dan taushiyahnya, tidak akan dengan mudah diterima oleh Umara.

Karena itulah, Hujjatul Islam Imam Abu Hamid Al-Ghazali dalam Ihya’ ‘Ulumiddin, Juz 2 halaman 238 menyatakan: “Tidaklah terjadi kerusakan rakyat itu kecuali dengan kerusakan penguasa, dan tidaklah rusak para penguasa kecuali dengan kerusakan para ulama.” Pada halaman 357 disebutkan:

“Kerusakan rakyat itu karena kerusakan penguasa, dan rusaknya penguasa itu karena rusaknya para ulama. Dan rusaknya para ulama itu karena “dikuasai” kecintaan pada harta dan kedudukan. Barang siapa yang terpedaya akan kecintaan terhadap dunia tidak akan kuasa mengawasi hal-hal kecil, bagaimana pula dia hendak melakukannya kepada penguasa dan perkara besar? Semoga Allah menolong kita dalam semua hal.”

Rasulullah saw wanti-wanti kepada kita: “Akan datang suatu zaman di mana orang yang berpegang teguh pada agamanya laksana orang yang menggenggam bara api” (HR. At-Tirmidzi). Selain itu, Rasulullah saw juga menegaskan: “Akan datang suatu zaman pada manusia yang ketika itu seseorang tidak peduli lagi tentang apa yang didapatnya apakah dari barang halal ataukah haram”? (Riwayat Al-Bukhary).

Kemungkaran dan kemaksiyatan makin merajalela, beberapa tempat ditutup, mereka mencari cara lain? Bahkan “menjajakan” di jalanan? Perjudian meskipun secara formal ditutup, akan tetapi judi online juga menggasak dan meruntuhkan iman, apalagi bagi yang menang, iming-iming uang sangat menggiurkan. Kemajuan iptek tidak kalah adiktif dan membuat kecanduan, tidak peduli, apakah fisik dan penglihatan anak sanggup mengikuti apa tidak.

Tentu masih banyak sekali tantangan yang harus dihadapi ulama dan dicarikan solusinya. Angka kemiskinan di negeri ini masih tinggi. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), persentase angka kemiskinan periode September 2019-Maret 2020 mencapai 9,78 persen atau sebesar 26,42 juta jiwa (Sep 8, 2020). Ini diperparah oleh dampak pandemic Covid-19. Mereka hidup dalam “kekumuhan” yang sempit, kotor, dan menjadi sisi “gelap” perkotaan, karena di kota konon lebih mudah mendapatkan rizki. Akankah mereka ini terus ada, dipertahankan? Mereka seharusnya dijamin dan dipelihara oleh Negara.

Mereka ini menjadi bagian dari tanggung jawab dari “jihad ekonomi” Ulama, umara, dan aghniya’. Rasulullah saw me-wanti-wanti, agar kita peduli melalui zakat, infaq, dan sedekah. Karena keadaan fakir nyaris menjadikan mereka kufur. Para pengurus Muallaf Center dan Rumah Muallaf di daerah Kabupaten/Kota, perlu lebih serius, bukan saja memberikan perhatian kepada para mereka yang belum lama dipertemukan kembali dengan hidayah Allah, namun mereka yang dalam kondisi “rawan” untuk tercerabut dari hidayah Allah, juga perlu mendapat perhatian serius.

Bukankah jihad bi l-amwal ini tidak kurang dari sembilan kali disebutkan dalam Al-Qur’an (QS. An-Nisa’ (4): 95, Al-Anfal (8): 72, At-Taubah (9): 20, 41, 44, 81, 88, Al-Hujurat (49): 15, Al-Shaff (61): 11). Jadi kalau beberapa waktu lalu, ada adzan dengan mengganti kalimat hayya ‘ala sh-shalah diganti dengan hayya ‘ala l-jihad dengan pekik takbir mengangkat parang dan golok atau senjata tajam lainnya, dapat dipastikan mereka ini tidak faham agama.

Jihad yang utama dalah jihad bi l-amwal, jihad dengan harta, melalui infak, sedekah, dan zakat yang wajib, wakaf, dan lain sebaginya, untuk menyelamatkan akidah mereka, mensejahterakan, dan membahagiakan mereka. Kebahagiaan dan kesyukuran, akan dapat menyadarkan mereka untuk terus dekat dan mendekatkan diri kepada Allah, karena dekat dan merasa dibimbing oleh para Ulama. Allah a’lam bi sh-shawab.

Prof. Dr. Ahmad Rofiq, MA. alumnus Madrasah Tasywiqu th-Thullab Salafiyah (TBS) Kudus, Guru Besar Hukum Islam Pascasarjana UIN Walisongo Semarang, Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) Provinsi Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Anggota Dewan Pakar Masyarakat Ekonomi Syariah (MES) Pusat, Anggota Dewan Penasehat Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) Pusat, Ketua Dewan Pengawas Syariah (DPS) Bank Jateng, dan Ketua DPS Rumah Sakit Islam (RSI) Sultan Agung (SA) Semarang. Jatengdaily.com–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Janjian Kencan Lewat Media Online Sesama Jenis, Pria ini Bawa Barang Berharga Milik Pasangannya

Enam Jago Partai Golkar Libas Kotak Kosong di Jateng