in ,

‘Audisi’ Fatwa Astrazeneca

Oleh Ahmad Rofiq

KETIKA Komisi Fatwa MUI Pusat mengeluarkan Fatwa No. 2/2021 tentang Vakcin Covid-19 produk sinovac China, 11 Januari 2021 terlepas pemerintah sudah lama sebelumnya mengumumkan pelaksanaan vaksinasi tahap pertama 13/1/2021, masyarakat dapat menerima fatwa tersebut. Meskipun kata sebagian survey, masih ada masyarakat yang masih enggan, apalagi memang ketersediaan vaksin produk sinovac ini hanya mampu memasok 28,6 persen kebutuhan vaksin covid-19 di Indonesia.

Tentang vaksin Astrazeneca, MUI mengeluarkan Fatwa No: 14/2021 tentang Hukum Penggunaan Vaksin Covid-19 Produk AstraZeneca bertanggal 16 Maret 2021. Ada lima dictum ketentuan hukum dalam fatwa ini:

1. Vaksin Covid-19 produk AstraZeneca hukumnya haram karena dalam tahapan proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi.
2.Penggunaan Vaksin Covid-19 produk AstraZeneca, pada saat ini dibolehkan (mubah) karena:

a. Ada kondisi kebutuhan yang mendesak (hajah syar’iyyah) yang menduduki kondisi darurat syar’iy (dharurah syar’iyyah);
b. ada keterangan dari ahli yang kompeten dan terpercaya tentang adanya bahaya (risiko fatal) jika tidak segera dilakukan vaksinasi Covid-19
c. ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci tidak mencukupi untuk pelaksanaan vaksinasi Covid-19 guna ikhtiar mewujudkan kekebalan kelompok (herd immunity).
d. ada jaminan keamanan penggunaannya oleh pemerintah; dan e. pemerintah tidak memiliki keleluasaan memilih jenis vaksin Covid-19 mengingat keterbatasan vaksin yang tersedia.

3. Kebolehan penggunaan vaksin Covid-19 produk AstraZeneca sebagaimana dimaksud pada angka 2 tidak berlaku jika alas an sebagaimana dimaksud angka 2 huruf a, b, c, d, dan/atau e hilang.

4. Pemerintah wajib terus mengikhtiarkan ketersediaan vaksin Covid-19 yang halal dan suci. 5. Umat Islam wajib berpartisipasi dalam program vaksinasi Covid-19 yang dilaksanakan oleh pemerintah untuk mewujudkan kekebalan kelompok dan terbebas dari wabah Covid-19.

Sependek pengetahuan saya, dictum hukum Fatwa tersebut di atas, sudah sangat jelas. Karena diktum haram itu, karena dalam proses produksinya memanfaatkan tripsin yang berasal dari babi. Sementara itu, dalam diktum berikutnya, penggunaan vaksin AstraZeneca tetap dibolehkan, karena alasan kondisi hajat syar’iyah yang kedudukannya seperti dharurat syar’iyyah. Ini sejalan dengan kaidah al-hajat tanzilu manzilata dh-dharirah artinya “kebutuhan itu menduduki kedudukan dharurat”.

Sementara keadaan darurat membolehkan adanya keringanan, diperbolehkannya menggunakan produk yang dalam situasi normal dilarang. Adh-dharurat tubihu l-mahdhurat artinya “keadaan darurat itu membolekan sesuatu yang dilarang”.
Menariknya, Ketua Umum MUI Provinsi Jawa Timur, 22/3/2021 selang empat hari, mengeluarkan fatwa bahwa vaksin AstraZeneca hukumnya halal (kompas.com, 22/3/2021).

Ini tentu sangat menyentak dan mengagetkan, karena masyarakat menjadi melihat tidak ada koordinasi antara MUI Pusat dan MUI Provinsi Jawa Timur.
Seandainya, yang mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan fatwa MUI Pusat, itu adalah organisasi kemasyarakatan NU, Muhammadiyah, atau ormas Islam lainnya, tentu sangat bisa difahami karena memang sudah sangat jelas perbedaannya. Kalau yang berbeda itu antara MUI Pusat yang notabene sudah melahirkan ratrusan fatwa, mengapa kemudian MUI Jawa Timur, mengeluarkan fatwa sendiri yang bertentangan dengan MUI Pusat. Rasanya seperti sedang “Audisi” Fatwa AstraZeneca antara MUI Pusat dan MUI Provinsi Jawa Timur.

Sesungguhnya perbedaan pendapat – dan juga pendapatan – dalam pendapat hukum Islam – atau baca fiqh – itu soal biasa, akan tetapi jika kemudian sudah dalam format dan wujud fatwa, ini yang perlu ada “fatwa tersendiri”. Soal siapa yang memiliki kewenangan mengeluarkan fatwa terhadap “Audisi Fatwa” Vaksin AstraZeneca ini, bisa menunggu “fatwa” yang lebih tinggi, sehingga bisa diterima semua fihak.
Menariknya, Plt Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal, memastikan, bahwa BPJPH Kementerian Agama tidak akan mengeluarkan sertifikat halal untuk produk vaksin Covid-19 AstraZeneca. Sebagai gantinya, BPJPH menerbitkan surat keterangan tidak halal (Jawapos.com, 21/3/2021).
Ada perbedaan antara halal yang berlaku dalam situasi normal, dengan vaksin haram namun tetap dibolehkan karena kondisi hajat syar’iyah. Yang terakhir hukumnya, menjadi “tidak berdosa” (falaa itsma ‘alaihi). Karena kebolehan ini berlaku dalam situasi hajat atau dharurat. Kalau hajat dan dharurat, sudah tidak ada maka, kebolehan menjadi larangan. Seperti kaidah “maa yubaahu fi dh-dharurat laa yubaahu fii ghairi dh-dharurat” artinya “sesuatu yang dibolehkan dalam keadaan darurat, maka tidak dibolehkan dalam keadaan tidak darurat”.

Semoga masyarakat bisa memilih dan mengikuti fatwa mana yang lebih diyakini, karena kalau sudah yakin, maka tidak hilang dengan kerahu-raguan”. Allah a’lam bi sh-shawab.

Prof. Dr. H. Ahmad Rofiq, MA., Ketua Forum Antarumat Beragama Peduli Kesejahteraan Keluarga dan Kependudukan (FAPSEDU) Jawa Tengah, Guru Besar UIN Walisongo, Wakil Ketua Umum MUI Jawa Tengah, Direktur LPPOM-MUI Jawa Tengah, Ketua II Bidang Pendidikan YPKPI Masjid Raya Baiturrahman, Ketua Bidang Pendidikan Masjid Agung Jawa Tengah, dan Koordinator Wilayah Indonesia Tengah MES Pusat.Jatengdaily.com–st

Written by Jatengdaily.com

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

GIPHY App Key not set. Please check settings

Pembangunan Landmark Lapangan Pancasila Simpang Lima Kota Semarang Selesai Juni 2021

2.654 Karya Inspiratif Ikuti Gerakan Peduli Lingkungan yang Digelar SIG