Oleh : Tri Karjono
ASN BPS Prov Jateng
POLEMIK yang terjadi di masyarakat terkait rencana pemerintah melakukan impor beras sebesar satu juta ton di tahun 2021 ini diharapkan segera berakhir. Harapan ini disampaikan presiden beberapa hari yang lalu karena dianggap merugikan petani.
Perdebatan yang terjadi hampir sebulan terakhir oleh presiden diperkirakan menjadi penyebab anjloknya harga gabah di tingkat petani. Presiden memastikan bahwa tidak ada impor beras, setidaknya hingga bulan Juni mendatang. Pernyataan presiden itu dapat diartikan bahwa impor beras tahun ini akan tetap atau paling tidak tetap dimungkinkan untuk impor, tetapi sementara waktu dilakukan penundaan.
Dalam pernyataan tersebut presiden hanya menyebutkan bahwa polemiklah yang menyebabkan kerugian petani. Sementara penyebab munculnya polemik sepertinya lupa untuk disinggung. Polemik sendiri yang disinggung oleh presiden sebagai penyebab kerugian petani dimulai ketika Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan hasil Rakornas Kementerian Perdagangan tanggal 4 Maret 2021, yang menghasilkan keputusan bahwa pemerintah akan melakukan impor beras satu juta ton pada tahun ini.
Keputusan tersebut dilakukan dengan alasan untuk memenuhi Cadangan Beras Pemerintah (CBP) yang menipis setelah tiga tahun tidak melakukan impor. Di samping itu untuk jaga-jaga mengingat situasi pandemi COVID-19 penuh ketidakpastian. Di samping itu karena telanjur terjadinya nota kesepahaman dengan Thailand dan Vietnam terkait pemenuhan kebutuhan beras nasional.
Tidak Tepat Waktu
Menurut pendapat penulis, ada dua hal yang perlu menjadi perhatian sekaligus evaluasi pemerintah terkait keputusan impor beras hingga pernyataan presiden terkait permintaan penghentian polemik serta penangguhan impor beras. Kedua hal inilah yang akhirnya menjadi polemik di masyarakat.
Pertama, keputusan rencana impor pada momen yang tidak tepat. Keputusan rencana impor ini dirasa tidak tepat ketika disampaikan saat tejadi panen raya. Tanpa rencana tersebutpun biasanya harga gabah di tingkat petani saat panen raya akan mengalami penurunan. Hal ini terkait dengan suplay yang melimpah. Hukum ekonomi sederhana akan memungkinkan hal demikian.
Di samping itu, panen raya yang terjadi pada saat musim hujan seperti ini seringkali menjadi alasan bagi pedagang/penebas/tengkulak untuk menurunkan penawarannya. Ini dilakukan dengan alasan tingkat kebasahan atau kadar air gabah yang lebih tinggi dibanding saat panen di luar musim hujan.
Sehingga akan menjadi beban lebih pada tiap satuan berat gabah. Alhasil persentase susutnya hingga menjadi beras akan lebih tinggi. Kedua hal tersebut biasanya menjadi senjata bagi pembeli dan petanipun tidak berkutik, terlebih pastinya petani tidak memiliki alat pengukur kadar air.
Apalagi ditambah dengan pernyataan pemerintah yang akan melakukan impor beras, yang membuat petani dan pedagang semakin khawatir akan terjadi semakin menurunnya harga beras ketika produk impor akhirnya jadi masuk ke pasar.
Beberapa hal ini terbukti ketika berbagai sumber pemberitaan yang menyatakan terjadi penurunan harga gabah di tingkat petani yang hampir merata di berbagai wilayah sentra produksi padi, bahkan hingga dibawah Harga Patokan Pemerintah (HPP).
Tidak Tepat Data
Kedua, rencana impor beras juga akhirnya menjadi polemik ketika dikaitkan dengan kondisi data yang ada saat ini dan beberapa waktu yang lalu. Data produksi dan data potensi tidak mendukung dilakukannya impor beras saat ini. Rencana impor beras justru disampaikan ketika beberapa haris sebelumnya BPS merilis produksi beras tahun 2020 dan potensi produksi beras subround satu 2021.
Pada periode Januari sampai dengan April 2021 potensi produksi beras nasional sebanyak 14,54 juta ton. Jika dibandingkan dengan periode yang dua tahun sebelumnya, angka tersebut menunjukkan jumlah yang lebih tinggi. Di mana produksi pada tahun 2019 dan 2020 masing-masing sebanyak 13,63 juta ton dan 11,46 juta ton.
Sedangkan kebutuhan beras pada periode tersebut sebesar 9,72 juta ton. Dengan demikian potensi surplus 4,81 juta ton yang terjadi pada pada subround I/2021 juga lebih tinggi dibanding selama dua tahun sebelumnya. Jika hal tersebut yang didukung oleh perkiraan BMKG yang menyatakan tahun ini sebagian besar wilayah Indonesia lebih basah dibanding tahun 2020 yang lalu, maka sangat dimungkinkan produksi dan surplus yang terjadi selama tahun ini akan lebih tinggi dibanding tahun 2019 dan 2020.
Padahal dengan surplus yang lebih rendah pada dua tahun sebelumnya saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan plus cadangan tanpa harus melakukan impor.
Terlebih rencana tersebut disampaikan pada saat harga beras medium di pasar selama beberapa tahun ini tercatat stabil. Biasanya kran impor akan dilakukan ketika terjadi kenaikan harga atau paling tidak terjadi gejala atau potensi kenaikan harga di saat-saat yang akan datang akibat stok beras atau surplus yang terbatas untuk melakukan penetrasi pasar dalam rangka menahan laju kenaikan harga.
Menunda Belum Membatalkan
Pernyataan presiden untuk mengakhiri polemik terkait rencana impor beras sepertinya tidak serta merta akan berhenti dan mengembalikan harga gabah di tingkat petani pada level yang semestinya. Pertama, pemerintah telah membiarkan polemik ini berlangsung di tengah-tengah masyarakat.
Hampir satu bulan bukan waktu yang pendek untuk menjadikan situasi penolakan ini semakin berkembang. Dampak keputusan impor beras yang tidak segera disikapi oleh pemerintah telah terbukti telah berdampak dan berpengaruh pada harga gabah di tingkat petani. Alhasil kesejahteraan petani menjadi menurun, ketika harapan panen raya akan menghasilkan keuntungan yang lebih justru mengalami kerugian.
Penurunan harga gabah ini telah dimulai sejak bulan Februari yang lalu sebesar 3,31 persen dibanding bulan Januari dan nilai tukar usaha pertanian tanaman pangan menurun 0,99 persen menjadi 99,78 persen (kurang dari 100).
Kedua, istilah penundaan dan bukan pembatalan yang disampaikan pemerintah sepertinya akan tetap menjadi kekhawatiran dan tidak akan berpengaruh signifikan terhadap terdongkraknya harga gabah di tingkat petani. Bagi pedagang yang tidak yakin bahwa gabah yang dibeli saat ini hingga akhir Mei akan terjual pada periode itu pula, akan berspekulasi dengan tetap membeli gabah dengan harga yang rendah.
Hal ini untuk jaga-jaga jika pemerintah pada akhirnya benar-benar melakukan impor pada bulan Juni. Sehingga ketika gabah yang dibeli pada sebelum Juni dan terjual pada bulan Juni atau setelahnya akan tetap mendapatkan keuntungan.
Evaluasi Diri
Berkaca dari hal ini dan juga kasus sebelumnya yaitu terkait dengan Perpres investasi industri minuman keras yang menuai polemik di masyarakat dan akhirnya pemerintah menganulir sendiri apa yang telah ditetapkan, sepertinya pemerintah dan siapapun pengambil kebijakan harus lebih berhati-hati ketika akan membuat keputusan.
Ini menjadi sebuah pengalaman berharga bagi kita semua untuk mengevaluasi diri. Menyandarkan diri pada data, pendapat para ahli dan psikologi masyarakat sebelum mengambil keputusan menjadi sangat penting. Jatengdaily.com-yds
GIPHY App Key not set. Please check settings