in

Pekerja Perempuan Purbalingga

Oleh: Ani Widiarti
Statistisi BPS Purbalingga

DAHULU, perempuan mungkin dianggap kaum yang lemah. Tugasnya hanya mengurus suami, anak dan rumah tangga. Namun kini peran tersebut sudah bergeser seiring dengan perubahan jaman yang dinamis. Perempuan bekerja zaman sekarang adalah hal yang biasa. Motif ekonomi karena ingin membantu perekonomian keluarga, memacu keinginan perempuan untuk bisa bersaing di dunia kerja.

Selain untuk menopang ekonomi keluarga, bahkan ada perempuan yang menjadi tulang punggung keluarga. Kondisi ini dapat mengubah pandangan masyarakat terhadap perempuan. Perempuan tidak lagi dianggap sebagai pelengkap dalam rumah tangga, akan tetapi menjadi penentu kelangsungan hidup rumah tangga. Perempuan pekerja dapat menjadi mitra yang sejajar dengan laki-laki, baik dalam keluarga dan lingkungan masyarakat. Selain itu perempuan yang bekerja juga dapat meningkatkan rasa percaya diri bahwa mereka bisa berperan dalam membantu ekonomi keluarga dan juga meningkatkan skill atau kemampuan perempuan.

Perempuan yang bekerja di Purbalingga dapat dikatakan cukup luar biasa. Data Badan Pusat Statistik berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) menyebutkan bahwa pada tahun 2021, jumlah pasokan tenaga kerja perempuan yang tersedia dan mampu secara aktif untuk dapat memproduksi barang dan jasa di Kabupaten Purbalingga sebanyak 204.543 orang atau 55,42 persen dari seluruh perempuan berusia 15 tahun keatas di Purbalingga.

Angka ini biasa disebut dengan TPAK (Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja) yang menggambarkan persentase angkatan kerja terhadap penduduk usia kerja. Hal ini menunjukkan bahwa cukup besar persentase penduduk perempuan di Purbalingga yang potensial untuk memproduksi dan menghasilkan barang dan jasa secara ekonomi. Persentase ini meliputi penduduk yang saat ini bekerja maupun penduduk yang mencari pekerjaan.

Dari sekian ratus ribu perempuan 15 tahun keatas tersebut, tercatat 194.093 yang berstatus sedang bekerja pada kondisi Agustus 2021. Dengan kata lain 94,89 persen perempuan telah mendapatkan kesempatan untuk bekerja. Angka ini dikenal dengan istilah Tingkat Kesempatan Kerja (TKK). Semakin tinggi tingkat kesempatan kerja, semakin besar peluang perempuan untuk mendapatkan pekerjaan.

Meningkatnya tingkat kesempatan kerja sejalan dengan menurunnya angka pengangguran. Tercatat 10.450 perempuan Purbalingga berusia 15 tahun keatas yang tergolong sebagai angkatan kerja berstatus menganggur atau tingkat pengangguran terbuka (TPT) perempuan sebesar 5,11 persen. Sementara TPT laki-laki tercatat 6,69. Jika dibandingkan dengan TPT laki-laki, TPT perempuan lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa pada angkatan kerja perempuan yang siap berproduksi secara ekonomi, lebih banyak yang sudah termanfaatkan dan terserap dalam lapangan pekerjaan dibandingkan laki-laki di Purbalingga.

Tantangan hidup yang semakin keras menyebabkan para perempuan di Purbalingga tidak tinggal diam untuk membantu meningkatkan pendapatan keluarga. Data Sakernas juga mencatat bahwa pada tahun 2021, sebagian perempuan yaitu 41,71 % pekerja perempuan Purbalingga terserap di sektor industri.

Purbalingga yang terkenal sebagai daerah penghasil ekspor bulu mata palsu dan rambut palsu, telah membuka peluang perempuan di Purbalingga untuk mendapatkan penghasilan. Sejak beberapa tahun yang lalu telah didirikan puluhan pabrik besar investasi asing yang memproduksi barang pendukung kecantikan yaitu bulu mata dan rambut palsu.

Selain dari pabrik-pabrik besar, bulu mata palsu juga banyak diproduksi di rumah-rumah penduduk atau lebih dikenal dalam bentuk plasma. Industri plasma rambut ini tidak hanya terfokus pda satu wilayah tapi tersebar hampir merata di setiap desa/kelurahan. Tenaga kerja yang banyak dibutuhkan di sektor industri ini adalah perempuan.

Dengan hanya bermodal ketrampilan tangan, para ibu-ibu bisa mempergunakan waktunya untuk menghasilkan uang tanpa mereka harus meninggalkan anak dan keluarganya. Meskipun pendapatan yang mereka terima jauh dari kata cukup, namun ini masih banyak dilakukan para perempuan terutama di pedesaan untuk menambah pendapatan suami yang rata-rata juga minim. Untuk para laki-laki lebih banyak di sektor pertanian dan konstruksi.

Jika dilihat berdasarkan status pekerjaannya, para perempuan pekerja ini juga lebih banyak yang berstatus sebagai buruh/karyawan yaitu sebanyak 45,74 persen dan 16,79 persen berstatus sebagai pekerja keluarga.

Untuk pekerja dengan status buruh, sebagian besar adalah buruh/karyawan di industri bulu mata/rambu palsu baik yang merupakan karyawan pabrik maupun pekerja industri rumahan. Industri lain yang juga banyak dilakukan penduduk di wilayah pedesaan adalah industri gula dimana industri rumahan ini biasanya hanya melibatkan anggota keluarga sebagai pekerjanya dan disini para istri/anak biasanya membantu para suami sebagai pekerja keluarga. Sektor pertanian juga cukup banyak menggunakan tenaga kerja perempuan sebagai pekerja keluarga.

Hal yang cukup menarik dari para pekerja perempuan di Purbalingga adalah bahwa para pekerja ini lebih didominasi oleh pekerja dengan tingkat pendidikan SMP kebawah. Pekerja perempuan yang berpendidikan SD kebawah sebesar 48,96 persen sedangkan pekerja yang berpendidikan SMP sebesar 23 persen. Sementara itu pekerja yang berpendidikan SMA tercatat hanya 10,52 persen.

Masih rendahnya tingkat pendidikan para pekerja perempuan di Purbalingga memunculkan kemungkinan bahwa sektor industri yang dominan sebagai pekerjaan utama perempuan di Purbalingga tidak terlalu membutuhkan skill atau keahlian tertentu. Perempuan dengan tingkat pendidikan dan ketrampilan minimum pun masih dapat menghasilkan di sektor ini.

Memang secara kenyataan, produksi bulu mata palsu lebih banyak membutuhkan ketelatenan, ketelitian dan keuletan pekerjanya. Pekerjaan ini tidak terlalu membutuhkan skill yang tinggi sehingga siapapun punya kesempatan yang sama untuk bisa masuk di sektor ini.

Kondisi ini juga bisa kita saksikan bahwa mobilitas orang untuk dapat bekerja sebagai karyawan pabrik bagian produksi bulu mata palsu cukup tinggi. Orang bisa dengan mudah keluar masuk dari pekerjaannya dan berpindah ke pabrik lain atau keluar dari pekerjaan demi mengurus rumahtangga. Demikian juga yang terjadi di industri bulu mata palsu rumahan. Asalkan ada kemauan, para perempuan dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan ini.

Dampak negatif yang ditimbulkan secara tidak langsung dari banyaknya pabrik bulu mata palsu di Purbalingga adalah kecenderungan para perempuan muda untuk tidak melanjutkan sekolahnya ke jenjang yang lebih tinggi. Mereka cenderung lebih memilih untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan daripada melanjutkan sekolah. Dengan bekal pendidikan SMP bahkan hanya SD, mereka sudah bisa memperoleh uang sendiri. Dari uang yang dihasilkan tersebut, mereka sudah dapat membeli telepon seluler/HP, mampu membeli kendaraan bermotor sendiri meskipun secara kredit dan sebagian bisa diberikan kepada orangtua untuk mencukupi kebutuhan keluarganya.

Sedangkan dampak negatif terhadap para perempuan yang sudah berkeluarga antara lain adalah berkurangnya waktu dan perhatian terhadap anak (untuk perempuan yang sudah memiliki anak) yang dapat menyebabkan anak dapat terjerumus kepada hal-hal negatif, memperbesar peluang terhadap resiko terjadinya kegagalan rumahtangga (perceraian) dikarenakan istri sibuk bekerja sehingga suami ada kecenderungan kurang diperhatikan oleh istri.Jatengdaily.com-st

Written by Jatengdaily.com

Pemkot Semarang akan Penggal Jalan Pemuda dengan Nama Ki Narto Sabdo

Songsong 2022, Wamenag Minta Waspadai Omicron dan Sambut Tahun Toleransi