Oleh Gunoto Saparie
PERENCANAAN pembangunan ekonomi Indonesia mengikuti rencana pembangunan jangka panjang (RPJP) 20 tahun yang dimulai dari 2005 hingga 2025. RPJP ini dibagi dalam 5 tahun rencana pembangunan jangka menengah, yang disebut sebagai rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN), dengan target sasaran atau prioritas yang berbeda-beda.
Saat ini rencana pembangunan ekonomi berada pada fase terakhir dari rencana jangka pembangunan jangka panjang dengan target indikator makro, yakni indeks pembangunan manusia (IPM) sebesar 72,51, pertumbuhan ekonomi sebesar 5,2-5,5%, tingkat kemiskinan 8,5-90%, rasio gini sebesar 0,375-0,380, dan tingkat pengangguran terbuka sebesar 4,8-5,1%.
Tentu saja untuk membiayai seluruh rencana kerja tersebut pemerintah membutuhkan anggaran yang sangat besar. Apalagi pada saat pandemi covid-19 ini, pemerintah membutuhkan anggaran tambahan yang lebih besar untuk menjaga kestabilan perekonomian dengan memberikan bantuan kepada masyarakat.
Sumber-sumber pendapatan nasional pemerintah yang berasal dari pajak, nonpajak, dan hibah tidak dapat mencukupi untuk seluruh kebutuhan anggaran tersebut. Oleh karena itu, untuk menutupi kekurangan anggaran tersebut, pemerintah menetapkan kebijakan berupa kebijakan defisit anggaran.
Sesungguhnya kebijakan ini adalah hal biasa dilakukan dalam suatu pemerintahan, apalagi jika utang negara tersebut untuk membiayai belanja produktif. Akan tetapi, selalu muncul pertanyaan, jika utang tersebut benar-benar digunakan untuk hal-hal yang bersifat produktif, mengapa utang negara dari tahun ke tahun terus meningkat?
Kita tahu, dalam menerbitkan utang, pemerintah tidak dapat memutuskan sendiri. Ada mekanisme anggaran negara, di mana keputusan target penerimaan, belanja, dan pembiayaan ditetapkan bersama wakil pemerintahan, termasuk nominal pembayaran utang negara.
Sisi positif dari peningkatan utang negara adalah tersedianya dana investasi untuk mempercepat proses pembanguan nasional. Sedangkan sisi negatifnya adalah daya serap utang tersebut yang belum maksimal dan pastinya menambah beban kewajiban pemerintah di APBN tahun-tahun selanjutnya.
Dalam kaitan ini, kemungkinan penyebab jumlah utang negara terus meningkat adalah karena pemerintah ingin ada percepatan proses pembangunan nasional, sehingga dana yang diperlukan pun sangat besar. Dalam penganggaran pembangunan nasional, belanja produktif yang mengalami peningkatan beberapa kurun waktu belakangan ini antara lain Belanja Infrastruktur, Belanja Pendidikan, Belanja Kesehatan, Belanja Perlindungan Sosial, dan Dana Alokasi Khusus (DAK) Fisik dan Dana Desa.
Posisi Utang LN
Bagaimanakah posisi utang luar negeri (ULN) Indonesia. Posisi ULN kita pada akhir Agustus 2021 tercatat sebesar 423,5 miliar dolar AS atau tumbuh 2,7% (yoy), lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan bulan sebelumnya sebesar 1,7% (yoy). Perkembangan tersebut terutama disebabkan oleh peningkatan pertumbuhan ULN sektor publik (pemerintah dan Bank Sentral).
ULN Pemerintah tumbuh lebih tinggi dibandingkan bulan sebelumnya. Posisi ULN Pemerintah di bulan Agustus 2021 sebesar 207,5 miliar dolar AS atau tumbuh 3,7% (yoy), sedikit meningkat dari pertumbuhan bulan sebelumnya 3,5% (yoy). Perkembangan ULN tersebut disebabkan oleh masuknya arus modal investor asing di pasar Surat Berharga Negara (SBN) seiring berkembangnya sentimen positif kinerja pengelolaan SBN domestik. Sementara itu, posisi ULN Pemerintah dalam bentuk pinjaman tercatat mengalami penurunan seiring pelunasan pinjaman yang jatuh tempo sebagai upaya untuk mengelola ULN.
Pembangunan ekonomi suatu negara tidak dapat hanya dilakukan dengan berbekal tekad yang membaja dari seluruh rakyatnya untuk membangun, namun lebih dari itu harus didukung pula oleh ketersediaan sumber daya ekonomi, baik sumber daya alam, sumber daya manusia, dan sumberdaya modal. Ini berarti, tanpa adanya daya dukung yang cukup kuat dari sumber daya ekonomi yang produktif, maka pembangunan ekonomi mustahil dapat dilaksanakan dengan baik.
Persoalannya, kepemilikan terhadap sumber daya ekonomi ini oleh negara-negara Dunia Ketiga tidaklah sama. Ada negara yang memiliki kelimpahan pada jenis sumber daya ekonomi tertentu, tetapi ada pula yang kekurangan. Pada banyak negara Dunia Ketiga, di mana umumnya memiliki tingkat kesejahteraan rakyat yang relatif masih rendah, mempertinggi tingkat pertumbuhan ekonomi memang sangat mutlak diperlukan untuk mengejar ketertinggalan di bidang ekonomi dari negara-negara industri maju.
Oleh karena itu, menilik masih relatif lemahnya kemampuan partisipasi swasta domestik dalam pembangunan ekonomi, mengharuskan pemerintah untuk mengambil peran sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi nasional.
Sumber daya modal merupakan sumber daya ekonomi yang paling sering didatangkan oleh pemerintah negara-negara sedang berkembang untuk mendukung pembangunan nasional. Hal ini terjadi karena adanya keterbatasan sumber daya modal dalam negeri. Sumber daya modal yang didatangkan dari luar negeri, di mana umumnya dari negara-negara industri maju, wujudnya bisa beragam, seperti penanaman modal asing, berbagai bentuk investasi portofolio, dan pinjaman luar negeri.
Memang, datangnya modal dari luar negeri tersebut dapat digunakan untuk mendukung program pembangunan nasional pemerintah, sehingga target pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan pendapatan per kapita masyarakat meningkat. Namun pada sisi lain, diterimanya modal asing tersebut dapat menimbulkan berbagai masalah dalam jangka panjang, baik ekonomi maupun politik, bahkan pada beberapa negara-negara yang sedang berkembang menjadi beban yang seolah-olah tak terlepaskan.
Pada banyak negara yang sedang berkembang, ketidaktersediaan sumber daya modal seringkali menjadi kendala utama. Dalam beberapa hal, kendala tersebut disebabkan rendahnya tingkat mobilitas modal di dalam negeri. Beberapa penyebabnya antara lain pendapatan per kapita penduduk yang umumnya relatif rendah, di mana mengakibatkan tingkat MPS (marginal propensity to save) rendah. Di samping itu, pendapatan pemerintah dari sektor pajak, khususnya penghasilan, juga rendah.
Indonesia merupakan salah satu negara Dunia Ketiga. Sebelum terjadinya krisis moneter di kawasan Asia Tenggara, Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi cukup tinggi. Hal tersebut sejalan dengan strategi pembangunan ekonomi yang dicanangkan oleh pemerintah pada waktu itu, di mana menempatkan pertumbuhan ekonomi cukup tinggi sebagai target prioritas pembangunan ekonomi nasional. Sayangnya tingkat pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Pada awalnya, ULN Indonesia lebih banyak dilakukan oleh pemerintah. Pinjaman pemerintah tersebut diterima dalam bentuk hibah serta soft loan dari negara-negara sahabat dan lembaga-lembaga supra nasional, baik secara bilateral maupun multilateral (IGGI dan CGI). Selanjutnya seiring dengan semakin berkembangnya perekonomian Indonesia, pinjaman luar negeri bersyarat lunak menjadi semakin terbatas diberikan, sehingga untuk keperluan-keperluan tertentu dan dalam jumlah yang terbatas, pemerintah mulai menggunakan pinjaman komersial dan obligasi dari kreditur swasta internasional.
Meskipun telah terjadi perubahan pada struktur ULN Indonesia, utang luar negeri pemerintah masih menjadi hal perlu diperhatikan mengingat dampaknya terhadap APBN sangat besar.
Menutup Defisit APBN
Dalam jangka pendek, pinjaman luar negeri memang dapat menutup defisit APBN. Hal ini jauh lebih baik dibandingkan dengan kalau defisit APBN tersebut harus ditutup dengan pencetakan uang baru, sehingga memungkinkan pemerintah untuk melaksanakan pembangunan dengan dukungan modal yang relatif lebih besar, tanpa disertai efek peningkatan tingkat harga umum yang tinggi.
Dengan demikian, pemerintah dapat melakukan ekspansi fiskal untuk mempertinggi laju pertumbuhan ekonomi nasional. Meningkatnya laju pertumbuhan ekonomi berarti meningkatnya pendapatan nasional, di mana memungkinkan untuk meningkatkan pendapatan per kapita masyarakat, apabila jumlah penduduk tidak meningkat lebih tinggi. Dengan meningkatnya perdapatan per kapita berarti meningkatnya kemakmuran masyarakat.
Akan tetapi, dalam jangka panjang, ternyata ULN dapat menimbulkan permasalahan ekonomi pada banyak negara debitur. Di samping beban ekonomi yang harus diterima rakyat pada saat pembayaran kembali. Selain itu juga beban psikologis dan politis yang harus diterima oleh negara debitur akibat ketergantungannya dengan bantuan asing.
Memang, meningkatnya ULN dari sisi ekonomi akan dapat berdampak negatif dan positif. Dampak negatif tersebut adalah meningkatnya pembayaran cicilan utang pokok dan kenaikan pembayaran bunga utang, di mana dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Akan tetapi, ULN yang dilakukan dalam upaya membiayai belanja pemerintah secara teori dapat mendorong pertumbuhan ekonomi baik dari sisi permintaan maupun penawaran.
Dari sisi empiris dalam ekonomika juga dikenal konsep debt led growth. Bahwa utang pemerintah dapat mendorong pertumbuhan ekonomi. ULN mampu menjadi salah satu motor pembangunan ekonomi, khususnya dalam mendorong pertumbuhan ekonomi, penciptaan lapangan kerja, mengurangi kemiskinan, dan mengurangi ketimpangan pendapatan.
Hal ini terjadi, karena ULN dimanfaatkan untuk pembangunan sektor publik, misalnya pembangunan jalan, sekolah, rumah sakit, dan sebagainya. ULN tidak digunakan untuk pengeluaran rutin, misalnya gaji pegawai, subsidi dan sebagainya. ULN juga dikenakan tingkat bunga yang lebih rendah dari tingkat bunga internasional. Sebagai acuan tingkat bunga internasional adalah London Interbank Offered Rated (LIBOR), yaitu suku bunga antarbank utama di kota London.
Selain itu, ULN masa tenggang yang diberikan jangka panjang. Masa tenggang adalah kelonggaran waktu yang diberikan untuk mulai mencicil utang pokok dan tingkat bunga. ULN pada umumnya diberikan masa tenggang antara 20 sampai dengan 30 tahun. Ini berarti, berarti utang yang ditandatangani hari ini mulai dibayar dengan cicilan utang pokok dan bunga setelah 20 sampai dengan 30 tahun kemudian.
Sumber ULN juga tidak hanya mengandalkan sumber utang luar negeri, namun bersumber pula dari dalam negeri. Pemberi pinjaman atau utang terbesar kepada pemerintah Indonesia, baik secara bilateral dan multilateral, adalah Bank Dunia, Jepang, Bank Pembangunan Asia (ADB), Perancis, Jerman, dan Islamic Development Bank (IDB). Sumber domestik dilakukan pemerintah dengan menjual SBN kepada masyarakat domestik.
ULN memang memiliki mempunyai manfaat yang lebih besar dari beban biaya yang muncul. Isu ULN tidak pada tataran perlu utang atau tidak, namun bagaimana utang tersebut dikelola dengan baik. Oleh karena itu, ULN perlu dikelola dengan baik, kebocoran dapat ditekan seminimal mungkin, sehingga dampak positif atau manfaat utang pemerintah terhadap perekonomian akan lebih optimal.
Demikianlah, maka ULN sesunggguhnya merupakan hal yang baik kalau dikelola dengan baik. Setiap rupiah utang yang dilakukan pemerintah dimanfaatkan untuk membiayai kegiatan yang sifatnya produktif dan investasi dalam jangka panjang seperti membangun infrastruktur, membiayai pendidikan dan kesehatan yang dalam jangka panjang akan menghasilkan dampak berlipat untuk generasi mendatang.
Ketertinggalan infrastruktur dan masalah konektivitas akan menimbulkan tingginya biaya ekonomi yang harus ditanggung oleh masyarakat hingga rendahnya daya saing nasional. Inilah yang menjadi dasar pemerintah mengakselerasi pembangunan infrastruktur demi mengejar ketertinggalan dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Meskipun akhir-akhir ini ULN meningkat, namun tidak melanggar amanat Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara di mana defisit APBN masih terjaga kurang dari 3% terhadap PDB dan rasio utang kurang dari 60% dari PDB. Amanat dari UU tersebut merupakan batasan dalam pengelolaan utang pemerintah yang bertujuan untuk mengantisipasi risiko pemerintah dalam berutang.
Pada tahun 2045 nanti Indonesia diproyeksikan menjadi salah satu dari 7 negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Salah satu faktornya adalah Indonesia memiliki bonus demografi. Hal ini akan berhasil apabila ditunjang dengan penyiapan dan investasi sumber daya manusia serta pembangunan infrastruktur.
Kita berharap, agar dalam mengelola ULN, pemerintah tetap hati-hati, kredibel, dan akuntabel untuk mendukung belanja prioritas, yang antara lain mencakup sektor administrasi pemerintah, pertahanan, dan jaminan sosial wajib (17,8% dari total ULN Pemerintah), sektor jasa kesehatan dan kegiatan sosial (17,2%), sektor jasa pendidikan (16,4%), sektor konstruksi (15,4%), serta sektor jasa keuangan dan asuransi (12,5%). Posisi ULN Pemerintah aman karena hampir seluruh ULN memiliki tenor jangka panjang dengan pangsa mencapai 99,9% dari total ULN Pemerintah.
ULN harus dikelola dengan baik, agar bermanfaat bagi rakyat Indonesia. Tambahan utang harus menjadi lebih kecil kalau dibandingkan tambahan manfaat yang diperoleh. Inilah yang disebut utang dikelola dengan baik, terjaga, dan hati-hati. Kita patut lega ketika melihat bahwa dari rata-rata defisit Indonesia selama 10 tahun terakhir termasuk yang paling kecil di dunia.
Dibandingkan dengan negara lain, rata-rata defisit Indonesia sebesar -1,6% per PDB dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 5,6%, sedangkan Turki, Meksiko, dan Brazil memiliki rata-rata defisit sebesar -2,1%, -3,3% dan -4,3% dengan pertumbuhan ekonomi sebesar 4,8-%, 2,2%, dan 2,1%. Ini berarti, pertumbuhan ekonomi Indonesia mampu tumbuh dengan relatif tinggi dengan defisit yang kecil.
*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Wilayah Jawa Tengah.Jatengdaily.com-st